Bab 40. Kebenaran.
Bertahun- tahun Helen menunggu kedatangan Atariz, sampai ia lelah. Lelah dan menyerah dan sekarang pria itu kembali. Kembali disaat dirinya sudah hampir menyerah. Helen menghapus air matanya yang keluar. Marasa dirinya dibodohi selama ini.
Ternyata, pria itu diam-diam mengawasinya. Mengawasinya secara tidak langsung. Diam- diam pria itu ternyata masih berada didekatnya hanya jarak saja yang memisahkan mereka. Dan yang membuat Helen semakin terluka adalah pernyataan Atariz.
‘Abang mencintai kakakmu Helen, Bimo.’
Seketika tangisannya semakin pecah. Atariz mencintainya. Mencintai gadis yang selama ini tidak pernah menganggap kehadirannya. Mencintai gadis yang bahkan membencinya seumur hidupnya. Membenci wajah jelek dan culunnya pria tu. Helen menekuk kedua kakinya. Merebahkan kepalanya disana.
Ia tidak tau selama ini Atariz menyukainya. Ia sungguh tidak tau.
Helen hanya merasa Atariz adalah benalu dalam hidupnya sampai pria itu menghilang begitu saja, disanalah Helen merasa kehilangan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang selama ini membuatnya nyaman, tiba- tiba hilang dan raip begitu saja.
Heln menangis semakin kencang ketika tau ialah penyebab pria itu pergi. Dialah yang secara langsung menyuruh pria itu pergi. Mengatakan hal- hal aneh yang membuat pria itu menjadi mengikuti semua kegilaannya.
Helen mengakui ia tidak menyukai seorang publik figur, ia hanya mengatakan kepada Atariz karena ia pikir Atariz tidak mungkin menjadi seorang artis tapi nyatanya pria itu berhasil. Ia menjadi seorang publik figur yag terkenal dan itu berkat perkataan gila Helen. Helen menyesal! Sungguh menyesal.
Pintu kamar Bimo tiba- tiba saja terbuka, menampilkan Bimo yang tengah tersenyum bahagia namun senyum itu mendadak hilang ketika melihat Helen dengan setumpuk surat dari Daniel di atas ranjangnya. Bimo berlari cepat menuju kakaknya kemudian memeluk kakaknya dengan erat.
Helen segera menumpahkan semua kesedihannya dan penyesalannya di dada Bimo. Hanya ini yang ia inginkan saat ini, sebuah sandaran dan itu ia dapatkan dari keluarganya.
“Kenapa bim?” isaknya. “Kenapa selama ini loe sembunyiin ini dari gue? Kenapa?” Bimo mengelus punggung Helen.
“Maaf kak, tapi gue terpaksa menyembunyikan ini dari loe!”
Helen melepaskan pelukan Bimo, mengusap air matanya lalu menatap Bimo tajam. Ia memukul kepala Bimo keras membuat pria itu mengaduk kesakitan.
“Tega ya loe buat gue kayak gini! Bertahun- tahun gue mendam perasaan bersalah dan kehilang dia, tapi disini! Loe malah asik kasih kabar ke dia bagaimana kehidupan gue tanpa dia. Loe pikir gue apa ha!”
Bimo menunduk. Ia tau, jika Helen marah akan percuma dibantah karena ujung- ujungnya ia akan disalahkan.
“Gue selalu menunggu pria itu kembali kesini dan gue akan mengatakan agar ia tidak pergi lagi dari sisi gue, tapi nyatanya ngak! Loe adik gue atau ngak sih! Jadi selama ini, hadiah yang gue dapet dihari ulang tahun gue adalah pemberiannya semuannya? Hadiah yang bahkan beberapa udah gue kasih ke orang lain, hiks! Loe tega tau ngak Bim!”
“Maaf kak,” ucap Bimo pelan.
“Gue ngak butuh maaf loe! Gue hanya butuh penjelasan loe!”
“Ok! Ok! Bimo akan ceritaain semuanya tapi kakak jangan marah sama bang Daniel, dia ngak bersalah.”
“Cih! Loe bahkan manggil dia Daniel, sebegitu tidak tau kah gue dengan dia? Apa hanya gue yang seperti ini? Jangan katakan Bunda dan Ayah juga tau Daniel adalah Atariz yang selama ini gue cari!”
Bimo hanya mengangguk menjawab pertanyaan Helen. Helen mendesah tak percaya, “Astaga! Gue yang paling dibodohi disini! Sungguh!”
“Kak...” tatap Bimo iba. Ia tak tega menatap Helen yang seperti ini. Ia tidak tega.
***
Davit tersenyum menatap wanita yang berada di depannya, wanita yang tadi malam sudah ia tandai. Lina tengah masak di dapur minimalisnya. Setelah pergelutan panasnya dengan Davit tadi malam, Lina menjadi seseorang yang lebih pemurung, tapi tidak bagi Davit.
Ia merasa berbunga- bunga sekarang. Semangatnya semakin berkobar mengingat kejadian semalam. Diam- diam tanpa sepengetahuan Lina, ia membuang semua benihnya di dalam rahin Lina. Berharap benih- benih itu bisa berkembang seperti yang ia harapkan.
“Kau masak apa?” tanya Davit. Pagi ini ia sudah segar lengkap dengan kaos polo yang ia ambil dari mobilnya dan celana training hitam kesukaannya. Davit duduk di meja kecil yang hanya memiliki dua kursi. Lina tengah sibuk mempersiapkan sarapan pagi. Hanya omelet yang bisa ia siapkan pagi ini, karena ia belum belanja bulanan.
“Omelet.” Jawab Lina singkat.
“Oh!”
Tidak tau apa lagi yang akan diperbincangkan, Davit hanya diam dan menatap Lina. Gadis itu sepertinya sudah mandi hanya saja pakaian yang ia pakai seakan menggoda Davit. Bagaimana tidak, gadis itu tampil dihadapannya hanya memakai kemeja putih yang Davit yakini di balik kemeja itu hanya ada bra dan celana dalam tanpa embel- embel tank top dan celana pendek.
Davit menelan air ludahnya pelan. “Stop Davit! Hentikan pikiran mesum mu!” desisnya. Tapi sungguh, Lina membuat sesuatu di bawah sana menjadi bangkit. Davit tidak pernah seperti ini dulu. Ia selalu berhasil mengontrol semua nafsunya kecuali tadi malam.
Catat!
Ia benar- benar lepas kendali tadi malam, tapi ia sangat beruntung karena ia mengambil milik Lina untuk pertama kalinya dan ia sangat bersyukur dengan hal itu.
“Makanlah,” Lina meletakkan sepiring omelet di depan Davit kemudian berlalu. Sebelum gadis itu menjauh, Davit menangkap pergelangan tangan Lina. “Kau tidak makan?” tanyanya.
“Tidak, aku belum kenyang.” Lina hendak melepaskan cengkraman Davit namun terlambat. Ia sudah ditarik Davit sehingga dengan terpaksa ia duduk di atas pangkuan Davit.
“Kenapa?” tanya Lina to the point.
“Suapi.” Ucap manja Davit. Dengan terpaksa Lina mengikuti kemauan Davit. Ia ingin siksaan ini cepat berakhir.
Satu suap, dua suap Lina lalui dengan lancar, sampai suapan keempat Davit menolak. “Untuk kau!”
“Aku?”
“Ya, kau belum makan sama sekali jadi kau juga harus makan juga.”
Lina menggeleng, Davit yang menatap itu tidak habis akal. Diambilnya sendok yang Lina pegang kemudian memasukakn potongan omelet itu ke dalam mulutnya. Lina menatap Davit heran. Dia pikir Davit akan menyuapinya, nyatanya tidak. Namun hal yang tidak diduhga Lina terjadi.
Davit meraih kepala Lina mendekat, kemudian menyatukan bibir mereka. Mendorong omelet itu masuk ke dalam mulut Lina. Davit tersenyum senang melihat hasil kejahilannya. Ia kemudian mendekatkan lagi wajahnya. Mengecut bibir Lina yang berlepotan saus omeletnya.
“Manis.” Ucapnya jahit.
“Apa yang kau lakukan!” ucap Lina setelah mendapat kesadarannya. Ia memukul bahu Davit pelan membuat pria itu mengaduh tapi sedetik kemudian tertawa.
“Aku hanya ingin kau makan,”
“Tapi tidak begini juga!”
“Aku tau kau akan susah aku suapi, jalan satu- satunya ya hanya ini.” Davit masih tertawa sedangkan Lina menatapnya tajam. Davit terdiam, ia tiba- tiba menatap Lina dalam. Gadis ini terlihat sangat cantik jika berada di atasnya. Dengan wajah marah itu malah membuat Davit menjadi bergairah.
Diraihnya pinggang Lina mendekat kearahnya. Lina terkejut ketika ia merasakan puncak gairah Davit yang ternyata sudah bangun dari tadi.
“Kau!” teriaknya.
Davit mendekat, berbisik pelan di telinga Lina, “Apa kau tidak keberatan kalau aku mengulangi keindahan semalam?” Lina menganga tak percaya. Sebelum ia menjawab pertanyaan Davit, tiba- tiba saja tubuhnya telah ditidurkan diatas meja makannya.
Ia memekik pelan sebelum desahan menggantikan suara diruangan itu.