
Bab 44
Titik Terburuk
Aku adalah orang terakhir yang bisa memejamkan mata tadi malam, namun tetap menjadi yang pertama bangun. Di luar gua, sisa malam masih tampak, hingga menciptakan suasana biru gelap. Walau samar, aku bisa mendengar suara langkah kaki dari ruang pribadi Bim. Dia sepertinya sudah bangun.
Semalam, Veyar bilang dia akan pergi ke suatu tempat. Saat aku bertanya nama tempat tersebut, dia hanya mengernyitkan bahu, lalu pergi begitu saja. Hingga sekarang, dia belum kembali. Karena Dov dan Giltae tidak kebagian tempat tidur, mau tidak mau mereka harus tiduran di lantai. Bim meminjami mereka masing-masing selembar selimut berbahan kain katun tebal agar terhindar dari sengatan dingin gua. Berkat kebaikan Bim, kedua laki-laki remaja itu bisa tidur dengan nyenyak -suara ribut burung pagi dan hempasan daun yang tertiup angin hanya berhasil membuat mereka menggeliat.
Aku bangkit, lalu berdiri di ambang mulut gua sambil melamun. Aroma air dan angin sejuk menyapa tubuh. Saat sedang meregangkan tubuh, mataku menangkap bayangan hitam di tengah-tengah sungai.
“Tuan Veyar?”
Tidak ada sahutan.
“Tuan Veyar? Apa yang sedang Anda lakukan?”
Siluet itu berhenti menyibak-nyibak permukaan air, lalu berdiri tegak. Dari bentuk tubuhnya, aku rasa sosok itu bukanlah Veyar.
Beberapa detik berjalan senyap.
“Kau ribut sekali. Sekarang ikan-ikan itu malah kabur,” protes seorang perempuan. Dia bergerak mendekati gua. Ketika sosok itu sudah berada sekitar satu meter di depanku, cahaya dari dalam gua menerpa tubuhnya.
Rambut hitam sepinggangnya terurai bebas. Wajah bulat telur itu jadi tampak oval karena kedua sisi pipinya ditutup rambut yang tergerai ke depan bagaikan tirai. Matanya besar dan teduh. Pakaian yang dia kenakan memiliki bentuk dan motif sama dengan Bim –pakaian hitam longgar dengan jubah penutup.
“Apa kau teman Bim?” tanyaku agak ragu.
Dia menggaruk-garuk sisi kepalanya. “Teman? Bukan. Aku adiknya. Namaku Sae.”
Mereka tidak mirip.
Dia semakin mendekat, aku harus mundur karena terdesak. “Jadi kau Silvery? Veyar bercerita macam-macam tadi malam.”
Oh, jadi Veyar pergi menemui gadis ini.
“Kita seumuran, jadi tidak perlu sungkan.” Sae menggosok-gosok hidung mancungnya. “Veyar bilang kau mau mengambil Batu Pijar?”
Aku menggangguk. “Iya.”
“Bagus!” Kali ini Sae menghentakkan kaki kanannya ke tanah berair. Air terciprat, dan mengenai bagian depan pakaianku.
“Bagus?” timpalku, sembari mengibas-ngibas bagian baju yang basah.
Dia tersenyum aneh. “Kakakku memang benci berbaur dengan manusia biasa, tapi aku beda. Hidup di kota adalah impian terbesarku.”
“Apa hubungannya?”
Sae berhenti tersenyum, dan kembali memasang raut datar. “Batu yang kami jaga saat ini adalah batu terakhir. Kalau kau membawanya pergi, kami bisa bebas dari tanggung jawab.”
“Batu terakhir? Kau yakin?”
“Iya. Kakakku yang bodoh itu terlalu naif dan lembut. Dia tidak mau kabur seperti anggota klan lainnya. Malang sekali.”
Selain aneh, Sae adalah gadis lancang. Entah mengapa, aku suka dengan sifatnya itu.
“Bagaimana denganmu? Kenapa kau tidak ikut kabur?” tanyaku.
Sae mengikat rambutnya. “Aku punya dua alasan. Pertama, kakakku sangat mencintai tugas turun-temurun sebagai Penjaga batu, hingga tidak bisa meninggalkan gua. Kedua, aku menyayangi saudaraku itu. Walau bodoh, dia tetaplah keluargaku. Selain aku, Bim tidak punya siapa-siapa lagi.”
“Dilema?”
Dia mengangkat kedua bahunya. “Kira-kira begitu.”
“Aku tidak melihatmu sejak kemarin. Apa kau tinggal di gua lain?”
“Ah, soal itu. Gua ini hanya pos penjagaan. Rumah kami sebenarnya berlokasi sekitar tiga kilometer dari sini. Hari ini harusnya adalah jatah jagaku.”
Tentu saja. Harusnya aku tahu itu karena tidak mungkin makhluk hidup bisa tinggal di tempat tidak sehat macam ini. Di depan, Sae lekat mengamatiku. Dia sepertinya memikirkan sesuatu.
“Ada apa?”
“Aku dengar Bim sempat menolak membantu kalian, lalu berubah pikiran dalam hitungan menit. Aku bisa pastikan kalau itu bukan Bim.”
“Maksudmu?”
“Cuma ada dua kemungkinan yang ada di kepalanya. Pertama, dia sedang mengujimu. Kedua, dia sedang menjadikanmu bahan uji coba. Bim itu setia pada Arghar sekaligus licik pada makhluk lain. Kalian bukan manusia pertama yang Soana ijinkan menyentuh Batu Pijar.” Sae tersenyum geli. “Kalau jadi kau, aku akan memilih mundur.”
Bicara apa dia? Dua kemungkinan itu terdengar sama persis.
Aku mengepalkan tangan dengan erat. “Kita lihat saja nanti.”
Sae mengangkat kedua alisnya. “Itu terserah kau. Aku hanya memberi saran gratis. Kau boleh menerima atau menolaknya.” Sae masuk ke dalam gua. Saat melewatiku, dia kembali mengatakan sesuatu yang sangat tidak ingin kudengar. “Asal kau tahu saja. Aku bahkan belum bisa memasukkan ujung kaki ke dalam danau. Semoga berhasil.” Dia menepuk punggungku keras, lalu menyelinap masuk ke ruangan Bim.
Pandanganku mendadak buram dan mengecil. Aku harus mengusapnya dan mengerjap beberapa kali agar bisa melihat dengan benar. Kegelepan sudah menghilang, dan digantikan sinar lembut mentari pagi yang disertai embun tipis. Aku menggelengkan kepala keras-keras untuk menepis serbuan sifat pengecut.
“Kita sudah berjanji untuk mencoba. Jadi, jangan sampai mundur!” bentakku sambil memukul pelan kepala. Lumayan berhasil.
*****
Sae meminjamiku selembar baju terusan hitam polos selengan, longgar dan agak tipis. Dia bilang, baju itu adalah miliknya saat melakukan ‘pendekatan’ dua tahun lalu. Sae juga bilang, aku bisa memiliki baju tersebut karena agak kekecilan untuknya. Iya, Sae memiliki postur cukup tinggi, mirip Seffina.
“Apa kau sudah siap?” tanya Bim.
“Iya,” jawabku sok hebat. Jujur saja, rasa siap itu tidak pernah benar-benar muncul.
“Aku ada di sini,” kata Dov menambahkan.
Mereka berdiri di belakangku, menunggu dengan was-was. Soka bahkan sudah memegang potongan kayu pajang sebesar lengan orang dewasa. Dia berjanji akan langsung menyodorkan kayu itu, jika aku mendadak meminta bantuan.
“Ingat,” kata Bim, “kau baru boleh masuk ke dalam danau atau keluar dari sana hanya saat ada perintah dariku.”
“Iya.”
Detik-detik paling mengerikan dalam hidupku terasa lambat dan menyebalkan. Sekujur tubuhku menggigil dalam suhu panas rasa takut. Kuatur napas dengan baik untuk menenangkan diri. Sejauh ini tidak berhasil, tapi tetap kulakukan.
“Sekarang masuklah dengan perlahan,” perintah Bim.
Akhirnya! Suara hewan hutan dan desir angin mendadak lenyap. Yang terdengar saat ini adalah detak jantungku sendiri. Suaranya sangat jelas, seolah-olah jangtungku sudah berpindah tempat ke dalam batok kepala.
Rasa gugup membuatku tidak bisa mengikuti perintah Bim dengan benar. Aku memasukkan kaki kanan dengan tergesa-gesa, lalu disusul kaki kiri. Belum ada reaksi apa-apa sejauh ini, hanya kehangatan air yang terkena terpaan matahari terik tengah hari.
Aku bergerak maju dengan perlahan dan terseok-seok oleh dasar danau yang lemah dan lembek. Mendapatkan kejutan rasa sakit bukanlah harapan, tapi otakku terus bertanya-tanya kapan Arghar akan mulai ‘memerasku’.
Beberapa saat kemudian, angin hangat, lembab dan beraroma aneh mendadak berhembus dari arah depan. Aroma tersebut kuat dan menusuk, aku harus menutup hidung. Karena terlalu fokus menahan napas, keseimbangku terganggu. Aku jatuh terduduk, hingga tubuhku terendam sampai dada.
“Sil!” seru Giltae dan Dov hampir bersamaan.
Aku mengangkat tangan sebagai tanda kalau semuanya baik-baik saja.
Iya, aku baik-baik saja, setidaknya untuk sesaat. Beberapa detik kemudian, tubuhku seakan-akan sedang diraba oleh tangan-tangan tak tampak! Aku segera bangkit. Kubuka mata lebar-lebar, menyapu pandangan ke sekeliling, berusaha mengenali sosok yang baru saja membelai tubuhku.
Agak samar, tapi aku bisa mendengar Bim bergumam, “sudah mulai,” katanya.
Aku ingin melangkah lagi, tapi kakiku tidak mau menurut. Mereka tertanam kokoh!
“Bim?” seruku serak.
“Belum!” balas Bim.
Dan…tulang keringku baru saja dihantam menggunakan benda keras! Rasa sakit yang amat sangat langsung menyebar hingga ke ubun-ubun. Aku kembali luruh ke bawah. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya.
Setiap bagian tubuh yang masuk ke dalam air akan mengalami terpaan siksaan dari Arghar.
Belum sempat tubuhku sembuh dari pukulan pertama, kali ini kedua tanganku seolah-olah telah dipelintir ke belakang dengan sekali hentakan keras.
AARRGHHHH…..
“BELUM!” teriak Bim lagi.
Di tengah kesakitan yang luar biasa, aku masih bisa mendengar keributan dari atas tanah. Aku tidak tahu persis apa sedang terjadi, karena mereka berada di belakang. Mungkin Giltae sedang berusaha menerobos masuk, atau Dov yang memohon agar segera membiarkanku keluar dari air.
“Tahan Sil! Sedikit lagi!” seru Bim.
AARRRGHHHH…..
Tubuhku tidak banyak bergerak, tapi aku berani bersumpah kalau sesuatu baru saja menghempasku ke dinding batu berpermukaan tidak rata. Setelah dibenturkan dengan keras, badanku lolos mendarat ke atas tanah penuh pasak runcing. Salah satu pasak berhasil menembus dan merobek perutku!
Aku mohon, bunuh saja aku…
“BIM! CEPAT KELUARKAN DIA!” Itu suara Giltae.
Mereka terus berdebat.
Aku tidak pingsan apalagi mati, tapi terus disiksa dengan brutal. Selain hempasan dan tusukan, hawa panas yang membakar mulai ikut serta menyelimuti tubuh.
Entah berapa lama serangan itu terjadi, yang jelas tubuhku mendadak terangkat ke atas. Kali ini bukan hanya imajinasi, melainkan benar-benar terangkat. Ah, tidak! Lebih tepatnya, diangkat oleh seseorang.
Bim. Dia membopong dan membawaku keluar dari air. “Kau hebat,” katanya hampir berbisik. Aku tidak bisa memahami maksud perkataannya karena terlalu sibuk dengan rasa sakit.
Rasa sakit memang berkurang, tapi tidak banyak. Selama ini aku selalu berusaha tetap hidup, walaupun ajal sudah jelas berada di depan mata –seperti saat ditawan Altho, misalnya. Tapi sekarang, siksaan mengerikan ini sudah meruntuhkan sifat persistensiku. Aku ingin mati saja!
“Kau pasti bisa,” bisik Bim lagi. Sementara itu, suara langkah kaki mereka bertebaran di dalam gua. Kami sedang menuju ruangan. “Bertahanlah. Kau bukan manusia biasa, jadi semuanya pasti baik-baik saja.”
Air mataku mengalir pelan menyusuri pelipis, lalu masuk ke dalam telinga. Rasa sakit mulai menjalar hingga ke dalam hati. Ini aneh karena jutaan jenis emosi menyerangku sekaligus; sedih, bahagia, haru, putus asa, kesepian, takut dan lainnya.
Aku semakin ingin meninggalkan dunia ini!
Daftar Isi