Bab 48 Kembali Hadir
Alisha melamun di tempatnya. Buku pelajaran yang masih terbuka, tidak lagi menarik minatnya sekarang. Tiba-tiba saja ia merasa bosan, karena sudah hampir dua jam mempelajari buku penuh rumus tersebut.
Pikirannya kini kembali berkelana, berusaha mencari-cari jawaban atas semua kebimbangannya beberapa hari ini. Seharusnya ia tidak seperti ini. Seharusnya kalau Alden kembali menjauh, ia bisa bersikap biasa saja sebelum kenal lebih jauh dengan cowok itu, Tapi nyatanya, kenapa tidak?
Dan bukankah seharusnya dia senang jika Alden memang menghilang dikarenakan ada urusan dengan si Karla Karla itu? Bukankah hal tersebut akan mengingatkan kembali akan kesepakatan yang pernah dibuat? Bisa saja Alden akan kembali berpaling kepada Karla, dan meminta perjodohan mereka dibatalkan.
Bukankah selama ini, hal tersebut yang Alisha harapkan? Tetapi, kenapa seperti ada sesuatu yang tak rela di hatinya jika hal tersebut benar-benar terjadi? Bukankah itu akan menguntungkan dirinya? Ia bisa jadi kembali menaruh harapan pada Yuda. Apalagi ada perubahan sikap pada Yuda sekarang. Seharusnya, dia merasa senang. Ya… seharusnya. Tapi tetap saja, kenyataanya tidak.
Suara ketukan pintu menyadarkan Alisha dari lamunannya. Ia lalu menolehkan kepala untuk melihat mamanya yang masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas susu.
“Sudah belajarnya, Sha?” tanyanya sambil berjalan menuju Alisha.
“Iya sudah, Ma.”
Mama lalu menyerahkan gelas susu tersebut. “Nih minum dulu susunya.”
Tanpa banyak protes lagi, Alisha menerimanya dan meminum sedikit. Lalu ditaruhnya gelas di atas meja.
Mama duduk di pinggir ranjang, menghadap ke arah Alisha. “Kamu lagi mikirin apa?” tanya mamanya langsung.
Alisha cukup terkejut ketika mamanya bertanya begitu. Terlihat sekali kah kalau ia sedang banyak pikiran sekarang? Alisha lalu menatap mamanya dengan penuh pertimbangan.
“Kalau lagi ada yang mengganjal di hati kamu, coba cerita ke Mama. Kita sama-sama cari solusinya,” ucap mamanya dengan tersenyum lembut. Ada bimbang yang dapat ia lihat dengan jelas di anak perempuan semata wayangnya itu. Bimbang yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Alisha menggigit bibir bawahnya sebentar. “Alisha lagi bingung, Ma,” mulainya.
“Bingung kenapa?” tanya mamanya dengan nada halus, mencoba lebih dekat agar Alisha mau bercerita dengan nyaman.
“Alisha akhir-akhir ini bingung sama diri sendiri. Tentang perjodohan Alisha….” Alisha sengaja menggantung ucapannya.
“Ah iya, perjodohan kamu. Kenapa? Bukannya Alden itu anak baik-baik? Ada apa?”
“Alisha sebenarnya dari awal gak ada niat sama perjodohan ini,” ucapnya pelan.
“Ya, Mama sudah duga.” Jelas saja, mana mungkin Alisha mau dengan mudahnya menuruti sebuah perjodohan, ya sama seperti papanya dulu yang menolak dijodohkan dengan Tante Riani. Tapi tentu kasus Alisha sekarang berbeda dengan yang dulu.
“Tapi… akhir-akhir ini kok Alisha merasa ragu ya? Seharusnya Alisha senang kalau Alden bakal dekat lagi sama perempuan lain. Dengan begitu kan mungkin aja Alden mau batalin perjodohan ini dan Alisha bisa terus sama Yuda. Tapi… kenapa Alisha sama sekali gak merasa senang?”
Mama tersenyum maklum. “Memangnya kenapa kamu merasa gak senang?” pancingnya.
“Karena Alden tiba-tiba ngilang gitu aja,” jawab Alisha langsung.
“Nah bagus dong kalo gitu, kamu bisa ambil kesempatan ini buat bisa terus sama Yuda.”
“Tapi rasanya kayak ada sesuatu yang hilang, Ma.”
“Kamu suka sama Yuda; Yuda yang statusnya sebagai sahabat kamu?”
Awalnya Alisha ingin mengangguk yakin, tapi yang terjadi adalah ia yang mengangguk ragu.
“Terus, apa kamu juga suka sama Alden?”
Sontak Alisha melebarkan matanya. Menyukai Alden? Selama ini, tidak pernah terlintas di pikirannya tentang ia yang menyukai cowok itu. “Alisha… gak tau,” jawabnya bimbang sendiri.
“Alisha, sebenarnya gak penting siapa yang kita suka. Yang penting itu, siapa yang bisa bikin nyaman. Coba kamu tanya sama hati kamu, di antara mereka, siapa yang benar-benar bikin kamu nyaman?” tanya mamanya yang langsung membuat Alisha terdiam.
***
Seharian ini, selama ada waktu senggang di sekolah, Alisha kembali sibuk memikirkan pertanyaan mamanya. Ya, dia sendiri bingung siapa yang selama ini membuatnya nyaman. Keduanya mempunyai tempat berbeda di hati Alisha. Yuda sudah lama ia kenal, dan tentu Alisha nyaman bersamanya. Sementara Alden, orang yang baru memasuki kehidupannya, serta berhasil menjungkir balikkan hidupnya, dia juga merasa nyaman.
Argh, Alisha bingung sendiri memikirkannya. Permasalahan hati memang selalu bisa mengusiknya. Tidak seperti soal-soal yang ada di buku pelajaran, persoalan hati ini sangat memusingkan untuk Alisha.
Bunyi bel istirahat membuat Alisha menyudahi pemikirannya. Dilihatnya Lani yang mulai bersiap akan keluar kelas.
“Mau nemuin Kak Intan?” tanyanya.
“Iya, persoalan kami kan belum selesai,” jawab Lani sambil mengambil dua proposal yang sama seperti kemarin dari dalam tas.
“Jangan ngamuk ya, Lan. Tahan emosi,” ingat Alisha. Okelah kalau kemarin ia sempat sedikit gila untuk menyarankan hal konyol pada Lani. Tapi sekarang, emosinya sudah stabil.
“Iya, Sha, tenang aja. Gue udah melakukan meditasi kok buat ngatur emosi gue, jadi udah menyiapkan mental untuk ngadepin tuh orang,” canda Lani lalu bergegas pergi meninggalkan kelas.
Sepeninggal Lani, Alisha juga beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin pergi ke kantin.
“Hai!”
Baru saja Alisha akan melangkahkan kakinya keluar kelas, seseorang mengejutkannya. Seseorang yang selama ini menjadi fokusnya, seseorang yang beberapa hari ini selalu dicari kehadirannya oleh Alisha. Dan sekarang, seolah tak merasa bersalah, orang tersebut berdiri dengan santai di depan Alisha.
“Alden! Gak bisa apa kalo datang itu gak ngejutin?” sebal Alisha. Tapi, meskipun begitu, ada rasa senang yang menyusup di hatinya. Senang karena akhirnya bisa kembali berinteraksi dengan orang ini.
“Sayangnya gak bisa,” cengirnya. “Lo gak kangen nih sama gue?” tanyanya sambil memasang senyum manis.
Seketika Alisha jadi salah tingkah. “E-enggak kok. Minggir gih, gue mau lewat,” ucapnya berusaha menyembunyikan perasaan.
Alden biarkan Alisha lewat, lalu ia pun ikut berjalan di samping Alisha.
“Yah, padahal gue kangen sama lo. Udah sengaja juga beberapa hari ini nahan diri buat gak nemuin lo,” ujar Alden kalem yang sanggup membuat Alisha tiba-tiba berdebar.
Alisha berusaha menormalkan ekspresinya. “Emangnya kenapa?” tanyanya setenang mungkin, karena nyatanya ia sangat penasaran dengan alasan Alden yang tiba-tiba tidak suka muncul lagi di hadapannya, membuat ia beberapa hari ini menjadi misuh-misuh sendiri.
“Karena ini,” lalu tiba-tiba Alden menjulurkan sebuah kertas tepat di depan muka Alisha. Kertas tersebut dari tadi ia sembunyikan di belakang punggung.
Alisha menghentikan langkah dan mundur sedikit untuk melihat apa isi kertas tersebut.
“Gue dapet nilai 85 di ujian pra UTS! Wow, ini nilai mtk terbesar yang pernah gue dapat, Sha,” ucap Alden girang. “Ya meskipun gue agak bete sama Pak Ruben yang pake acara ngadain ujian pra UTS segala,” gerutunya kemudian. “Tapi gue tetap senang karena bisa dapat nilai yang bagus. Dan ini juga salah satunya karena lo yang udah mau bantu ngajarin gue. Makasih, Sha.” Alden menatap Alisha dengan mata berbinar.
Sebuah senyum muncul di bibir Alisha. “Selamat!”
Akhirnya, setelah menyimpan tanda tanya, Alisha dapat juga mengetahui alasan di balik menghilangnya cowok tengil ini. Ada rasa senang yang melingkupinya karena tahu Alden menghilang dikarenakan sibuk belajar, bukan karena sibuk dengan si Karla itu. Tapi, tetap saja pikiran tentang Karla masih mengusiknya. Bisa saja selama ini Karla juga sering berhubungan dengan Alden, yang mungkin saja tidak diceritaan oleh Alden.
Alden pura-pura cemberut bete. “Selamat? Lo cuma ngasih gue satu kata itu? Padahal gue udah rela belajar di perpus segala, sengaja gak nemuin lo dulu buat bisa buktiin kalo gue bisa dapat nilai gede karena usaha gue sendiri. Tapi lo cuma ngasih ucapan selamat….”
Tuh kan, nih cowok kalau dibaikin mulai betingkah. Tapi, bukankah beberapa hari ini, tingkah Alden yang Alisha rindukan?
“Terus lo mau apa?”
Alden kembali memsang tampang cerianya. “Gue mau pulang sekolah nanti, lo nemenin gue jalan. Gimana, mau kan? Pokoknya harus mau, oke?”
Pemaksaan. Untuk apalagi Alden nanya mau atau enggak kalau pada akhirnya ada kata harus. Tapi, bukan penolakan yang Alisha tunjukkan, Alisha malah bilang “Oke” dengan sebuah senyuman tipis. Biarlah pertanyaan tentang Karla ia simpan dulu dalam hati.
***
Alden keluar dari lapangan, segera ia mengikuti langkah Yuda yang berjalan menuju belokan koridor. Sudah cukup ia menahan untuk tak bersitatap dengan cowok itu. Sekarang sepertinya waktu yang pas, ya sebenarnya tidak terlalau pas juga sih. Karena kelasnya sekarang sedang ada jam pelajaran olahraga. Ya, selesai waktu istirahat tadi, kelas XI IPA 5 memang ada jam peljaran olahraga. Tapi untuglah sekarang waktunya cukup longgar, sehingga ia bisa sempat untuk menghilang dulu dari lapangan.
Alden kini menyandarkan punggungnya tepat di belokan koridor, sengaja ia menunggu Yuda yang tadi ia lihat masuk ke ruang guru. Memang beberapa hari ini ia seolah sibuk dengan dunianya sendiri, tapi tak menutup jalan agar tetap bisa mengawasi beberaoa orang yang menjadi targetnya. Ada Dimas dan Dito yang bisa ia minta untuk menjadi pengamat. Dan dari informasi yang ia terima, ada sesuatu yang perlu diluruskan.
Tak berapa lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul.
Gue mau ngomong sebentar sama lo,” ucap Alden langung saat Yuda melintas di depannya.
Yuda hentikan langkah dan balas menatap Alden. “Apaan?”
“Cuma mau ngomong, kalo jadi cowok itu jangan plin-plan,” tegas Alden.
Yuda sontak mengernyit tak suka. Apa banget dah Alden ini. Tiba-tiba muncul langsung ngomong yang bikin emosi.
“Maksud lo apa?”
Alden mengangkat bahu acuh tak acuh. “Gue rasa lo tau apa maksud perkataan gue,” jawabnya kalem. Lalu tak ingin berlama-lama lagi, Alden melangkah pergi. Tapi baru selangkah, ia kembali berbalik menatap Yuda yang bergeming di tempatnya.
“Dan oh ya satu lagi, lo itu harus belajar ngebedain rasa sayang sebagai sahabat, sama rasa sayang ke orang yang disuka. Keduanya itu beda, Yud, dan lo mesti paham itu.”