Bab 51. Move On
"Hah?" bingung Popon dengan kalimat ajakan Cahyo yang terkesan ... horor. Dimensi lain? Maksudnya dimensi alam dedemit? Diajak mati gitu?
Sesakit-sakit hatinya Popon karena dikhianati, dicampakkan, ditendang seakan tak bisa diperas lagi harga dirinya, sedikit pun tak terpikir untuk mengakhiri nyawanya.
"Lah, malah bengong. Mau nggak?" tanya Cahyo memastikan.
"Dimensi lain? Kita mau kelarin hidup terjun ke sungai sama mobil kreditanku ini?" Kini giliran Cahyo yang melongo.
"Khayalanmu, Mbak ... ekstrim!"
BRUMMMMM
Mobil melaju dengan kecepatan penuh. Popon hanya bisa berdoa pasrah jika ia diambil nyawanya saat ini. Setelah ia menjerit, mencakar dan menggiti Cahyo agar berhenti membawanya serta menemui malaikat pencabut nyawa, nyatanya usaha Popon sia-sia. Adegan Popon terpelanting karena Cahyo semakin melajukan mobilnya secepat ibu-ibu rebutan minyak saat promo, membuatnya pasrah saja.
Popon memejamkan mata dan memeluk dirinya erat-erat untuk menenangkan totol-totol yang sedang berjamaah meminta petunjuk agar Cahyo berubah pikiran. Kasihan si toh-toh tersebut. Masih perjaka dan perawan seperti pemiliknya. Haruskah mereka mati sebelum merasakan belaian penuh cinta kasih? Miris sekali.
Si jambul pun tak lagi berdiri kokoh karena terlalu gemetaran untuk menyangga kekokohannya. Jambul NKRI terkulai lemas, menyatu dengan rambut Popon.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"
"Turun, Mbak. Buka matanya juga."
Popon membuka perlahan matanya dengan sedikit menggerakkan jari-jarinya. Mengintip di sela-sela untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan di dalam sungai atau di akhirat. Buktinya, ia masih bisa melihat kaca mobilnya yang gelap. Iya gelap. Kan memang sudah malam.
"Kita ... di akhirat ya?" tanya Popon menoleh pada Cahyo yang membuka kaca mobil dan mengeluarkan rokok dari sakunya. Biasanya bagi seorang laki-laki yang tidak biasa merokok setiap harinya, akan memilih merokok begitu pikirannya kalut atau stres. Seingat Popon, Cahyo tidak pernah merokok. Tapi sekarang?
Apakah setelah sampai di akhirat, rokok masih diperjual belikan ya?
"Di pom bensin, Mbak. Aku kebelet pipis tadi. Makanya buru-buru cari tempat ini. Ngarepin aku bawa bunuh diri?" Cahyo berdecak dengan imajinasi Popon.
"Lah, tadi kamu bilang mau ke dimensi lain? Kan aku langsung nangkepnya kamu mau ngajak aku ketemu malaikat Izrail."
Cahyo membuka pintu mobil kemudian turun untuk membeli minuman. Sementara itu, Popon yang masih syok hanya bisa termangu menatap beberapa laki-laki berseragam merah yang berdiri tegak sambil memamerkan moncong. Ah, itu loh yang buat ngisi bensin.
"Ini, minum dulu. Pasti haus habis teriak-teriak sama pingsan juga." Popon menerima botol air mineral dari Cahyo. Membuka plastik penutup dengan giginya yang tajam. Sesekali membaui apakah ada bekas yang tidak ia perkirakan seperti sianida, mungkin.
"Maksudnya ke dimensi lain itu ... mau aku ajak ke hotel. Kita tidur dulu di sana. Habisin malam ini berdua biar nggak stres."
BYURRRR
Uhukk!
"Jorok banget sih, Mbak. Tersiksa bener jalan sama mbak!" kesal Cahyo seraya menyeka wajahnya yang basah karena semburan Popon. Sialan! Mana bau pula.
"Ke hotel? Berdua?" ulang Popon meyakinkan. Yang ia tahu kalau ada laki-laki yang mengajak seorang perempuan ke hotel, pasti mereka kan melakukan malam penuh kenikmatan yang biasa disebut One Night Stand (ONS). Lalu, apakah Cahyo akan mengajak Popon untuk saling menggauli di malam yang begitu dingin karena hujan tiba-tiba turun tanpa permisi?
"Elah ... pakek ngelamun segala. Pesan kamarnya yang ranjang dobel. Mesti deh, pikirannya aneh duluan. Pinter dikit dong, Mbak otaknya tu. Masa habis putus dari pacarnya langsung mendadak o'on. Aku aja langsung cerdas maksimal," cibir Cahyo.
"Hujan. Ayo kita cari hotel deket sini. Aku males pulang ke rumah. Kepikiran Lastri mulu. Tenang aja, aku jinak kok. Nggak usah pasang tampang takut-takut tapi mau gitu."
Popon ingin menjitak kepala Cahyo yang sudah mempermainkan jantung dan harga dirinya. Salahkan saja imajinasi Popon yang kadang-kadang terlalu berlebihan.
Semalam saja. Cukup semalam Cahyo dan Popon menginap di hotel. Sayang uangnya kalau lama-lama. Setelah semalaman mereka menonton film komedi yang disediakan pihak hotel, kemudian karaoke sambil lompat-lompat di atas kasur milik hotel yang pantulannya mengalahkan dada perawan yang kenyal-kenyal gurih, Cahyo dan Popon mengakhirinya.
Menjelang siang, keduanya keluar dari hotel dan kembali menuju rumah masing-masing dengan hati yang lumayan lega. Setelah malam yang penuh haru biru karena setelah karaoke keduanya menangis pilu mengenang kisah cinta masing-masing yang kandas. Pagi tadi setelah bangun tidur perasaan mereka sudah cerah ceria. Keduanya memutuskan untuk move on. Karena terjebak masa lalu itu nggak enak. Nyesek dan menyakitkan.
"Anterin aku dulu kan?" tanya Popon memastikan.
"Iya. Kan motorku juga di rumahmu, Mbak."
Mobil melaju menuju rumah Popon. Sebelum sampai, keduanya mampir dulu ke warung nasi padang. Tidak dimakan di tempat. Karena Mona sudah menelpon Popon dan saat ini sudah menunggu di depan rumahnya. Nasi padang sudah dibungkus sebanyak tiga. Kata Cahyo, untuk Mona satu. Kasihan sudah menunggu kedatangan bosnya, sendirian di sana.
Setiba di rumah, Popon disambut pelukan erat oleh Mona yang menangis berderai-derai. Entah karena mata Mona terkena irisan bawang merah atau karena gas air mata sampai-sampai air mata tersebut begitu bercucuran. Lebih deras dari pipis sapi milik Emak Tumini di kampung halaman.
"Aku khawatir banget, Jeng. Aku kemarin dapat kabar di facebook. Katanya ada korban meninggal bernama Popon. Aku langsung hubungi Jeng tapi nggak aktif. Jeng kemana saja sih? Gajiku belum lunas loh."
Sialan! Ujung-ujungnya bahas gaji. Kirain beneran khawatir sama keadaan bos berjambulnya.
Ponsel Popon memang baru aktif siang ini saat perjalanan pulang. Semalaman ia matikan agar tidak mengganggu kesyahduan melepas masa lalu bersama Cahyo.
"Mbak, laper nggak?" Mona menoleh begitu sebungkus nasi disodorkan padanya.
"Eh, iya sih ... kok tahu sih, Mas." Mona tampak malu-malu langsung menyerobot bungkusan nasi yang ia tahu bahwa itu adalah nasi padang. Siapa yang menolak rejeki sih.
"Tahu. Mbak kan nunggu kita lama di sini. Ya sudah, selamat menikmati ya." Kedipan Cahyo untuk Mona disambut kejang-kejang oleh jiwa jomblo yang bernaung di tubuh Mona.
Popon sudah mandi. Tubuhnya bersih dan wangi. Kini giliran toh-toh cantiknya ia baluri dengan minyak telon dan bedak bayi. Baru saja pantatnya akan duduk, bel rumahnya berbunyi. Sudah jam tujuh malam, kira-kira siapa yang bertamu? Pak RT?
Popon segera memakai baju yang sedikit layak. Masa iya dia keluar hanya memakai handuk yang dilitkan menjadi kemben? Bisa diterkam bulat-bulat nanti dia.
Begitu pintu terbuka, sebuah punggung langsung menyapanya. Tanpa tahu siapa pemilik punggung yang aduhai kokohnya, Popon berjalan dan melemparkan tubuhnya memeluk punggung erat.
Popon kangen dengan punggung ini. Popon juga kangen sama dadanya. Pokoknya Popon kangen sama yang punya. Wangi parfum langsung menggelitiki hidung Popon.
"Kangen banget ya sama aku? Langsung dipeluk aja." Tangan Popon yang melingkar di perut laki-laki dalam pelukannya, digenggam. Rasa hangat menyelimuti perasaan keduanya. Tak bertemu beberapa pekan, mengobarkan rasa rindu yang terselip diam-diam.
"Hem."
Satu bab lagi tamat. Itu siapa ya kira-kira?