Bab 57 - No Turning Back
Langkah Dera terhenti ketika ia mendengar suara Raka memanggilnya. Dera memutar tubuh dan dilihatnya kakaknya itu berdiri di sisi jalan yang gelap hingga Dera tidak melihatnya tadi.
“Kakak nggak bakal maksa kamu pulang,” Raka berkata ketika Dera sudah akan masuk ke rumah Lyra. Dera terpaksa menahan langkahnya dan kembali menatap kakak sulungnya itu.
“Jadi Kakak mau apa ke sini?” tuntut Dera.
“Kakak besok pagi mau balik, jadi Kakak mau liat kamu bentar,” jawab Raka seraya tersenyum.
Sesaat, Raka tampak seperti kakaknya yang selalu memanjakannya.
“Kakak mau ngomong sama kamu bentar aja,” Raka berkata lagi. “Bentar aja, Kakak janji.”
“Aku bakal nemenin Dera,” Dhika tiba-tiba sudah berada di samping Dera dan menggenggam tangannya.
“Aku cuma mau ngomong bentar sama Dera,” Raka menekankan kalimatnya seraya menatap Dhika tajam.
“Ada hal penting yang mau Kak Raka omongin sama kamu, Ra. Sebentar aja,” pinta Raka.
Dera tak tega juga melihat kakaknya sampai meminta seperti itu.
“Aku pergi sendiri nggak pa-pa, Ka,” ucap Dera seraya melepaskan tangan Dhika.
“Tapi, Ra …”
“Dia kakakku,” sela Dera. “Bahkan meskipun aku marah sama Kak Raka, dia tetep kakakku, keluargaku. Ntar aku bakal langsung balik ke sini begitu Kak Raka selesai ngomong. Aku nggak bakal ikut Kak Raka pulang ke rumah juga karena aku beneran masih marah sama Kak Raka.”
Dhika masih tampak akan menolak, jadi Dera menambahkan,
“Please?”
Dhika mendesah berat, dan akhirnya mengangguk kecil. Dera tersenyum seraya menggumamkan terima kasih, sebelum ia berpamitan pada Prita dan Lyra, lalu berjalan ke arah Raka.
Dera menoleh ke belakang dan dilihatnya Dhika dan yang lain masih berdiri di depan gerbang rumah Lyra, Dera melemparkan senyum untuk menenangkan mereka. Terkadang, mereka memang terlalu mengkhawatirkan Dera dengan sedikit terlalu berlebihan.
Raka membawa Dera ke kafe dekat pabrik tempat yang biasa didatangi ia dan teman-temannya. Begitu Dera duduk, Raka memesankan coklat hangat untuk Dera, tapi setelahnya, Raka tak lagi berbicara.
“Tadi katanya Kakak mau ngomong sama Dera,” singgung Dera akhirnya.
Raka menarik napas dalam, mengangguk. “Ini tentang Dhika.”
Mata Dera menyipit. “Kalo Kakak bawa Dera ke sini cuma buat ngejelek-jelekin Dhika, mending Kakak nyerah, deh,” sengit Dera.
Raka menggeleng. “Justru, Kakak mau ngasih tau kamu apa yang dia sembunyiin dari kamu.”
Dera mengerutkan kening bingung mendengarnya. Apa Dhika menyembunyikan sesuatu dari Dera?
Seolah bisa mendengar tanya dalam kepala Dera itu, Raka mengeluarkan sebuah amplop coklat dari saku jaketnya, membaliknya, membuat isi amplop itu berserakan di atas meja kafe. Awalnya Dera bingung, apa foto-foto yang ada di meja itu, tapi kemudian ia menangkap gambar Dhika.
Dera menahan napas melihat Dhika memasuki sebuah rumah sakit. Rumah sakit. Apakah ia sakit? Atau, adakah temannya yang sakit? Apa yang terjadi? Dhika tak pernah sekali pun menyebut tentang rumah sakit pada Dera. Jadi … ini apa?
“Dhika belum siap buat balik ke posisinya semula,” Raka berkata. “Dia masih trauma karena masa lalunya, karena temennya dulu.”
Dera menggeleng. “Dia udah mutusin buat ngelanjutin impiannya itu lagi. Dia …”
“Karena kamu,” sela Raka.
Dera mengernyit ketika dadanya tersengat rasa sakit yang menyesakkan.
“Karena dia mau bantuin kamu sama keinginanmu buat jadi webtoonist itu, dia nemuin temen-temennya, dan maksa dirinya ngelawan ketakutan akan masa lalunya, bahkan meski dia belum siap. Kamu liat sendiri, dia pergi ke rumah sakit. Dia ketemu sama psikiater di rumah sakit itu. Kondisinya lumayan parah. Tapi kamu juga kayaknya sama sekali nggak tau tentang itu, kan?” urai Raka.
Dera menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang sudah di ujung matanya.
“Anak itu cuma butuh waktu, Ra. Tapi karena kamu, dia maksain dirinya sampe kayak gini. Gimana kalo nanti sakitnya itu tambah parah? Gimana kalo dia nanti sampe nggak mau lagi balik ke tempatnya itu? Kakak udah mastiin sama psikiaternya, ketakutan dia itu parah,” ucap Raka lagi.
“Kakak lagi-lagi nyelidikin dia,” tuduh Dera dengan suara bergetar.
Raka mendesah berat. “Kalo nggak gini, kamu mungkin nggak bakal pernah tau, Ra. Menurutmu, dia bakal ngasih tau kamu tentang masalah kayak gini?”
Tidak. Dhika tidak akan pernah menceritakan masalah ini pada Dera.
“Aku yang makasih, karena kamu ada di sampingku di saat terberatku.”
Kata-kata Dhika seketika terngiang di telinga Dera. Saat terberatnya. Dera bahkan tak tahu, separah apa ketakutan Dhika itu, dan ia membiarkan Dhika sibuk menghiburnya karena masalahnya dengan kakaknya.
“Kamu … mungkin bisa jadi penghalang masa depan anak itu,” ucap Raka lagi.
Kata-kata Raka itu seolah mengiris hati Dera.
“Dia pergi ke sini buat nenangin diri, dan suatu saat ntar, begitu dia siap, dia pasti bakal balik lagi. Tapi karena kamu … dia harus ngambil jalan tersulit buat balik. Entah apa jalan itu bakal berakhir baik, atau justru, ngebawa dia pergi makin jauh. Dia …”
“Kak,” Dera menyela kalimat Raka. “Kakak tau nggak, kenapa Dera sampe bisa jadi penghalang masa depan orang lain gitu?”
Raka tampak terkejut karena pertanyaan dadakan Dera itu.
“Karena sejak Dera kecil, Kakak selalu milihin jalan itu buat Dera. Kakak nggak pernah ngebiarin Dera ngelakuin apa pun, Kakak sengaja buat Dera jadi beban buat Kak Raka, Kak Dimas sama Kak Angga. Karena Kakak, sekarang Dera nggak bisa ngelakuin apa pun buat Dera sendiri. Dera nggak bisa ngelindungin orang-orang yang Dera sayang, dan Dera bahkan harus ngerepotin mereka kayak gini. Bahkan Dhika juga …” Dera menunduk ketika air matanya jatuh. “Semua ini karena Kak Raka!” seru Dera seraya menatap kakaknya itu marah.
“Sekali aja, Dera pengen bisa bantuin mereka kayak mereka selalu bantuin Dera. Tapi Dera nggak pernah bisa, Kak. Pada akhirnya, Dera pasti bakal bikin mereka khawatir. Bahkan di saat kayak gini, pas Dhika harus ngehadapin masalah seberat itu, dia ngekhawatirin Dera. Di saat terberat dia kayak gini, nggak ada yang bisa Dera lakuin buat dia,” isak Dera.
“Kamu nggak perlu ngelakuin apa pun buat orang lain, Ra,” Raka berkata, ia menatap Dera panik, bingung. “Kamu nggak harus …”
“Karena Kakak kayak gini!” teriak Dera. “Makanya Dera nggak punya kehidupan sendiri. Selama ini, hidup yang Dera jalanin, itu kehidupan yang Kakak pengen. Bahkan sekali pun, apa Kakak pernah mikirin apa yang Dera pengen? Bahkan sebelum Dera sempet ngasih tau apa yang Dera pengen, Kakak udah nentuin semuanya buat Dera. Nggak pernah sekali pun Kakak ngasih Dera kesempatan. Nggak pernah sekali pun Kakak tanya, apa Dera bahagia sama kehidupan Dera.”
Akhirnya Dera mengatakan juga semua yang selama ini ia pendam. Karena ia tak ingin menyakiti kakaknya, karena ia terlalu takut ia akan menyakiti kakaknya, ia selalu menelan semua kata-kata itu.
“Dan karena Kakak,” ucap Dera di tengah tangisnya, “Dera bahkan nggak bisa ngelakuin apa pun buat temen-temen Dera, orang-orang yang peduli dan sayang ama Dera, selain ngerepotin mereka. Buat pertama kalinya, Dera tau apa yang Dera pengen, tapi sekarang, Dera harus ngelepasin itu juga, dan itu karena Kakak!”
Dera bangkit dari duduknya dan berlari keluar dari kafe, tak menghiraukan panggilan Raka di belakangnya. Dera mempercepat langkahnya ke arah rumah Lyra, dengan air mata terus mengalir tanpa bisa dihentikannya. Di jalan masuk perumahan itu, Dera harus menggigit bibir untuk menahan tangisnya tatkala melihat Dhika menunggunya.
Pria itu tampak cemas ketika melihat Dera, tapi Dera tidak menghentikan langkah dan berjalan melewatinya. Bahkan ketika Dhika berusaha menahannya, Dera menepis tangan Dhika dengan kasar.
Begitu ia masuk ke rumah Lyra, ia melewati Lyra dan yang lain yang ada di ruang tamu dan pergi ke kamar yang ia tempati bersama Prita. Ia menyambar buku sketsanya di atas meja di kamar itu, dan merobek halaman pertamanya. Ketika ia hendak merobek halaman berikutnya, buku itu diambil paksa darinya.
Dera mendongak, dan dilihatnya Dhika sudah berdiri di sana, menatapnya khawatir, bingung, takut.
“Aku nggak mau lagi nerusin omong kosong tentang impian ini,” Dera berkata di tengah tangisnya. “Aku nggak bisa …”
Kalimat Dera terputus tatkala Dhika menarik Dera dalam peluknya.
“Jangan ngomong kayak gitu, Ra,” Dhika berkata.
“Trus aku harus gimana, Ka? Kalo kamu kayak gini, aku harus gimana?!” teriak Dera kesal.
Dhika melepaskan pelukannya dan menatap tepat ke mata Dera, berusaha mencari alasan akan sikap Dera ini. Dera menepis tangan Dhika yang masih memegangi lengannya.
“Gimana bisa aku ngelanjutin hal yang nyakitin kamu?” ucap Dera.
Dhika mengerutkan kening tak mengerti.
“Kamu mutusin buat ngelanjutin impianmu itu lagi karena aku, padahal kamu sendiri belum siap buat itu,” sebut Dera.
Dhika tampak terkejut, wajahnya seketika pias.
Dera berharap Dhika menjawab tidak, berharap Dhika akan membantah, tapi ekspresinya mengatakan sebaliknya. Dera menangis semakin keras, hatinya terasa begitu sakit.
“Apa kamu tau betapa takutnya aku kalo aku beneran jadi penghalang buat masa depanmu? Apa kamu tau betapa sakitnya aku pas aku tau apa yang aku lakuin ke kamu bahkan tanpa aku sadari?” Hati Dera semakin terasa sakit ketika melihat sorot luka di mata Dhika yang tertuju padanya kini.
“Sori,” Dhika akhirnya berkata, sebelum ia kembali memeluk Dera, lebih erat kini. “Sori, karena aku nggak ngomong ke kamu sejak awal. Sori, karena ngebiarin kamu tau dengan cara kayak gini. Tapi kamu sama sekali bukan penghalang buat masa depanku, Ra. Kamu tujuanku. Sekarang, kamu tujuanku, Ra.
“Aku baik-baik aja, karena ini toh jalan yang aku pilih. Aku udah mutusin. Dan apa pun yang terjadi, aku nggak bakal balik lagi. Aku udah netapin tujuanku. Jadi kamu juga, jangan lantas balikin badanmu dari aku kayak gini, Ra. Kalo kamu nolak aku kayak gini, aku harus gimana, Ra? Kamu tujuanku, kalo kamu nolak aku juga, apa yang harus aku lakuin?”
Kata-kata Dhika itu mengejutkan Dera. Apa maksudnya itu? Tujuan Dhika adalah … Dera?
Dera membeku di tempatnya ketika mendengar kalimat Dhika berikutnya,
“Aku cinta sama kamu, Ra. Aku sayang sama kamu, aku peduli sama kamu, dan aku nggak bakal bisa kalo nggak ada kamu di sampingku. Sekarang aku nggak bisa kalo nggak ada kamu, jadi tolong, jangan pernah lagi berusaha ngambil jalan di mana nggak ada aku dan kamu. Aku cinta kamu, Nadera.”
Apa katanya? Cinta? Tunggu. Apa? Dhika mencintainya? Ini … apa?
Sinopsis Cerita
Daftar Isi
Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya