Bab 58 Aggravating
Jose balas tersenyum, sementara Krip diam-diam melirik laci kedua pada meja kasir, memastikan tempat senjatanya berada.
“Kau memang mengagetkanku, Tuan Bannet,” Jose berkata, “Apakah sudah jadi kebiasaanmu untuk datang tanpa suara?”
“Kadang-kadang aku memang bisa sepelan angin, tidak terdengar bagi orang yang cukup lengah.”
Nada suara itu begitu menusuk, membuat Jose sadar bahwa pembicaraannya pasti didengar barusan. Telinganya memanas. “Aneh,” balasnya sambil tersenyum. “Kudengar, pencuri juga memiliki keahlian serupa.”
William menatap dengan mata sayu yang mengancam, mendekat selangkah pada mereka. “Kudengar, putra keempat dari keluarga Argent biasa merayap sehening malam di atap-atap kota dan tembok-tembok batu,” bisiknya seraya tersenyum, “seperti pencuri.”
Jose segera mengangkat tangan ke depan mereka, bukan karena tersinggung dengan serangan balik itu, tetapi karena melihat kilatan di mata Krip. Meski tahu bahwa informan keluarga Argent pasti tidak akan bertindak gegabah, ia tetap khawatir kalau tiba-tiba pria paruh baya itu mengeluarkan pistol dan mengancam William dengan senjatanya.
“Bukan aku yang mencuri dengar pembicaraan orang lain,” ucap Jose. “Sebaiknya kau ingat itu.”
“Setidaknya, aku melakukan itu dengan tidak sengaja,” William menandaskan. “Dan aku tidak sedang menggosipkan orang lain.”
“Oh, kau salah paham, Tuan Bannet,” Jose bangkit dari duduknya, memutari meja konter, lalu berdiri berhadapan dengan William. “Aku cuma penasaran, siapa yang datang ke rumahku saat aku tidak ada, dan untuk keperluan apa. Karena kebetulan aku tidak menyadari keberadaanmu di sini, aku tidak mungkin bertanya langsung padamu, apa yang kau lakukan di sana, kan?”
“Oh, dan kau memutuskan untuk bertanya pada pemilik toko kelontong?”
Jose melirik Krip, menyadari bahwa pria itu bisa berada dalam bahaya. “Dengan siapa aku bicara, sepertinya penting sekali bagimu, ya?”
“Penasaran saja. Biasanya, orang akan bertanya pada kepala pelayan atau orang di rumah, bukan pria tua yang tinggal satu kilo dari rumahnya.”
“Dia pemasok untuk dapur rumah,” Jose mengedikkan bahu. “Dan hanya dia yang ada di toko ini untuk kuajak bicara. Omong-omong soal pelayan, aku turut berduka soal pelayanmu.”
William memberi senyum yang aneh, sekilas membuat bulu kuduk Jose merinding.
“Aneh sekali, apa kabar demikian cepat tersebar di Bjork? Padahal aku sudah berpesan pada Inspektur Robert agar berita ini jangan sampai tersebar.”
“Tuan-tuan,” potong Krip cepat. Wajahnya masam dan galak. “Kalau tidak ingin beli sesuatu, sebaiknya keluar saja.”
“Perlakuanmu berbeda dengan Tuan Argent,” tukas William.
“Yah, tentu saja, pelanggan memang harus dibedakan!”
Jose menatap kilasan benci dan merendahkan di mata William. Lagi-lagi pandangan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Perutnya bergolak mual. “Tuan Bannet, kalau ada yang kau inginkan di sini, bawa saja. Anggap sebagai tanda persahabatan.”
“Harga persahabatanmu murah sekali,” sindir William setelah melihat sekilas pada isi toko. “Anak keempat sih, apa boleh buat.”
Seluruh tubuh Jose mulai dingin, meski telinganya terasa panas. Ia memberi senyum lebar saat berkata dengan manis, “Harga selalu berbanding lurus dengan hal yang ditawarkan, bukan?”
“Kau menawarkan hal yang murah padaku?”
“Bukan aku yang menganggap murah apa pun yang ada di antara kita, bukan?”
William tertawa. “Sepertinya kau salah paham soal sesuatu. Memangnya pernah ada sesuatu sampai kau berani menyebut ‘kita’?”
“Aku merasa heran,” Jose tersenyum masam. “Sir William, Lord Bannet yang sangat populer itu mau jauh-jauh datang ke toko kelontong murahan, untuk menghina putra keempat yang tidak berarti. Membuatku berpikir, jangan-jangan jadi putra keempat tidak seburuk itu.”
Krip menangkap gelagat dingin di antara dua pria itu. Ia sendiri biasanya tidak hilang kendali, selalu bisa bersikap luwes menghadapi ‘pelanggan’ seperti apa pun. Namun sejak William datang barusan tanpa bisa ia ketahui kehadirannya, sesuatu bangun dalam diri Krip. Rasa ngeri yang tinggi. Kini ia merasa mengerti bagaimana perasaan kucing pada saat terancam bahaya.
William menggerakkan tangannya, membuat Jose dan Krip sedikit tersentak, tetapi lelaki itu hanya mengusap rambut pirangnya yang keemasan, lalu tertawa kecil. “Kau benar, Tuan Argent, aku memang tidak datang ke sini untuk itu. Waktuku tidak seluang itu. Hanya saja, siapa teman yang bersamamu saat datang ke pesta tempo hari? Maria? Maria dari keluarga Garnet? Wanita yang cantik, bukan?”
Darah Jose seperti membeku. Ia melangkah ke depan, merenggut kerah baju William yang ternoda, lalu mengguncangnya. “Aku tidak tahu kau ini sebenarnya siapa atau apa,” gumamnya dingin, “kalau macam-macam padanya, kuremukkan kau. Kuremukkan sampai lebur jadi abu.”
William mengerjap-ngerjap kaget. Bahkan Krip pun merasakan keseriusan dan rasa dingin yang menjalar lewat ancaman Jose. Majikannya serius.
“Kenapa kau ini? Memangnya dia tunanganmu atau apa?” William tertawa, menepis tangan Jose pada kerahnya. “Aku tidak datang untuk bertengkar, sudah kubilang barusan. Cuma menyampaikan salam dari Nona Garnet yang manis. Dia akan bersamaku malam ini, tidak bisa memenuhi janji denganmu untuk bermain di festival.”
Jose mengerutkan kening. Ia tidak punya janji dengan Maria. Ia bahkan lupa bahwa hari ini ada festival kota. Tetapi Jose sadar, inti yang mau dikatakan William bukan itu. Pria itu hanya ingin menyampaikan ancaman, bahwa Maria ada bersamanya. Mata William menyalurkan rasa dingin yang menakutkan. Rasa dingin yang sama dengan yang dirasakan Jose setiap kali melihat Marco pulang membawa para pekerja sewaktu kecil.
Jose mengetahui arti pandangan mata itu.
Itu mata yang tidak memiliki belas kasih. Tidak ada empati. Tidak ada cinta.
Itu mata yang kosong.
Mata seorang pembunuh.
***
“Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Kau tidak memanggil polisi?” tanya Rolan. Matanya menelusuri foto-foto yang diambil Marco di ruang kerjanya yang berantakan.
“Tentu saja kita akan panggil polisi. Lalu, menurutmu apa yang sebaiknya kita katakan? Bahwa kita mengikat Tuan Wallace di kursi, meninggalkannya, lalu tahu-tahu dia mati sementara dua pekerja kita pingsan?”
“Maksudku Robby,” sahut Rolan sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot. “Sayang sekali, ruangannya sudah dibersihkan. Aku benar-benar ingin tahu seperti apa keadaannya.”
“Kau punya foto dalam genggamanmu.”
“Itu beda. Ada banyak hal yang bisa ditemukan kalau menyaksikan secara langsung. Foto bisa memberi impresi palsu. Foto tidak bisa memberi aroma.” Rolan mengusap rahangnya. “Kau tahu, inilah yang membedakan antara ilmu pasti dengan agama, kan? Agama membuat orang percaya sebelum melihat secara langsung. Sementara fakta mengharuskan kita melihat dulu sebelum percaya.”
Marco memutar bola matanya. “Setahuku, yang namanya percaya itu ada karena tidak tahu. Karena tidak tahu kepastian, maka yang bisa dilakukan manusia hanya percaya. Kalau sudah melihat secara langsung, kau tidak bisa lagi berkata soal percaya, melainkan tahu. Jadi kalimat sebenarnya adalah: fakta mengharuskan kita melihat dulu sebelum tahu.”
“Semantik,” tukas Rolan tak peduli.
“Bahasa memang soal semantik,” cetus Marco.
“Jadi, menurutmu kenapa dia malah memperkeras suara bantingan dan penghancuran pada saat George mengetuk pintu?” Rolan menggali. Matanya memperhatikan posisi pecahan vas pada foto nomor satu.
“Dia mencari sesuatu, itu jelas.” Marco mengusap kumis. “Suara-suara itu hasil dari keadaan yang coba ia ciptakan. Kamuflase. Dia pasti mau menyamarkan apa yang sedang dia cari.”
“Dan yang dia cari adalah ...?”
“Tentu saja kalung itu.”
Rolan tersenyum sekilas, sudah bisa menebaknya. “Jadi, kalungnya ditemukan?”
“Tidak, masih berada di tempat penyimpananku. Dia tidak menemukannya.” Marco mengayunkan tumitnya, melangkah pasti menuju Rolan. Ia mencabut selembar foto dari jari dokter itu, kemudian menunjukkan bentuk laci-laci yang tertutup. “Lucu, bukan? Semuanya berantakan, tapi laci-laci tertutup rapat.”
“Bukannya itu berarti bahwa siapa pun yang membunuh Tuan Wallace, dia cuma sedang ingin mengamuk?”
Marco menggeleng pelan. “Dia berusaha menyembunyikan suara geseran laci. Kalau seseorang benar-benar ingin mengamuk, untuk apa dia menutup kembali laci yang sudah dibukanya?”
“Menutup kembali?” ulang Rolan. Ia merebut kembali foto barusan dari tangan Marco.
“Aku selalu meletakkan barang-barang dengan konsisten. Bahkan letak pulpen dalam laci juga tidak sembarangan,” Marco tersenyum, meraih selembar foto lagi dari atas meja dan menyerahkannya pada Rolan. “Meski isi dalam laci ini rapi, tetapi itu bukan susunanku. Ada yang mengacak-acaknya.”
“Wow,” cuma itu yang bisa diucapkan Rolan. Ia memang tahu bahwa Marco adalah tipe orang yang perfeksionis. Ia sering melihat pria itu mengatur ulang apa-apa yang tergeletak di atas mejanya. Tetapi sama sekali tidak menyangka bahwa semua pengaturan itu dilakukan dengan niat untuk mengetahui kalau ada yang menyentuh barang pribadinya. “Dan, sepertinya kau sudah punya dugaan siapa yang melakukan itu?”
“Sir William yang tampan itu tentu saja,” Marco memutar bola mata. “Kau ingat Wallace sempat gembira mendengar kedatangan tamu yang datang, yang mana adalah Sir William sendiri. Menurutmu itu kebetulan?”
“Menurutku, Tuan Wallace tidak mungkin tahu yang datang adalah Lord Bannet.” Rolan menampik. “Lagi pula, dia malah mati, lho. Memangnya, untuk apa Tuan Wallace dibunuh?”
“Mungkin Sir William berpikir Wallace membocorkan sesuatu yang penting?”
“Misalnya?”
“Dia kelihatan tahu soal kalung itu. Tidak hanya sekali dia mengamuk hendak menyerangku,” Marco mengempaskan tubuhnya di depan Rolan, mengamati ruangannya yang sudah terlihat lebih rapi.
Mayat Wallace sudah disembunyikan di pondok kecil yang terpisah dari rumah utama. Tempat itu jarang disambangi dan hanya dibersihkan seminggu sekali. Digunakan Marco kalau sedang kumat ingin melukis. Setelah mengamankan tubuh mati Wallace, George segera memanggil para pelayan dan melakukan pembersihan kilat. Seorang perusuh masuk. Hanya itu yang dikatakan George sebagai penjelasan untuk para pelayan yang penasaran.
Tidak ada yang bertanya lebih jauh. Jangankan Marco yang berurusan dengan banyak orang-orang dunia bawah, Edgar bahkan pernah mendapat serangan yang lebih mengerikan saat berurusan dengan peminjam yang tidak mampu membayar. Jadi, meski para pelayan terheran-heran memikirkan siapa yang nekat menghancurkan kamar kerja Marco, mereka tetap bekerja tanpa banyak tanya.
“Dan menurut laporanmu,” Marco membolak-balik buku tua yang didapatnya dari Rolan, menatap deretan kalimat yang dicatat dengan tulisan tangan. “Ritual darah memang memerlukan benda pengorbanan, bukan hanya manusia. Dari mana kau dapat buku catatan ini?”
Rolan merapikan kembali foto-foto di tangannya. “Ada banyak hal gelap di Bjork. Hal-hal yang mungkin tidak kau tahu, yang bakal menjungkirbalikkan logikamu tentang kehidupan.”
***
Previous | Index | Next