Bab 60 Sesosok Mayat
Kembang api meledak lagi menghias malam, membuat kota yang gelap sekilas jadi terang. Baik Maria maupun Nolan menatap ke atas dengan kagum, menghitung berapa kali letusan-letusan kecil yang datang setelah ledakan kembang api besar.
Nolan ada di Bjork Selatan, tidak bergabung dengan keramaian orang-orang elit di sebelah utara. Sebenarnya meski selalu marah-marah, ia sedikit menanti ajakan dari Jose.
“Enggak pergi main ke sebelah utara?” tanya salah satu adiknya di depan rumah. Kedua bola matanya berbinar memantulkan cahaya kembang api.
Nolan menggeleng sambil tertawa. “Orang-orang menyebut apa yang mereka lakukan sebagai pesta. Tapi di sana, mereka cuma berusaha menutupi kegelisahan sambil memboroskan uang. Para borjuis yang tidak bisa menghargai apa pun, bahkan nyawa mereka sendiri.”
Ibunya mendehem di belakang dengan nada menegur, membuat Nolan menoleh sedikit sambil berkilah, “Apa? Mereka toh tidak akan paham apa yang aku bilang barusan.”
Wanita paruh baya itu mendekat, menopangkan tangannya di atas kepala Nolan, lalu membelai dengan lembut. “Bukan masalah mereka, Nolan. Tapi kamu. Kenapa kamu selalu marah?”
“Kenapa enggak boleh marah?” balas Nolan tak gentar.
“Enggak semua hal baik diekspresikan dengan kemarahan,” sahut ibunya, bergantian mengusap rambut adik-adiknya, meski beberapa dari mereka mengelak dengan sebal. Orang dewasa mungkin suka mengusap-usap rambut anak kecil, tetapi anak-anak biasanya membenci diperlakukan seperti itu. “Kalau kamu cemas, takut, gembira, kamu boleh kok menunjukkan semua hal itu dengan jujur. Enggak perlu ditahan dalam bentuk kemarahan.”
“Aku memang marah,” ketus Nolan cepat. “Bukan sedang senang, malu, atau takut. Aku marah karena aku marah.” Ia menarik siku adiknya yang mau meloncati selusur serambi rumah. Mereka sekarang sedang berkumpul di teras yang terbuat dari kayu, dengan pagar pendek melintang melingkari serambi. Adik-adiknya senang duduk di atas situ, tetapi Nolan harus menjaga supaya tidak ada yang lari ke hutan pada jam-jam kabut bisa muncul.
Ibunya cuma memperhatikan tingkah Nolan sambil menggigit bibir bawah, menyesal karena tidak memberikan perhatian serta ajaran yang lebih baik lagi untuk anak itu. Nolan tumbuh dalam dunia orang-orang dewasa yang cuma tahu arti kepedihan hidup.
Saat Nolan kecil, ia biasa mendengarkan orang-orang dewasa di sekitarnya membicarakan soal betapa menyedihkannya hidup di Bjork selatan, betapa tidak adilnya pemerintah, bahwa mereka diperlakukan dengan tidak semena-mena, bahwa orang di sebelah utara melakukan pemborosan besar-besaran, serta keluhan-keluhan lain.
Nolan hidup dengan mendengar teriakan protes dan juga seruan-seruan meminta keadilan yang tidak ditindak lanjuti baik oleh yang meminta maupun mendengar, membuat hati kanak-kanak gadis itu jadi mengeras.
Kebaikan hatinya tidak bisa diekspresikan dengan jelas. Yang bisa ia lakukan hanya marah dan tersinggung di setiap keadaan, membuat benteng pertahanan agar dirinya tidak bisa dilukai.
Yang diinginkan oleh ibunya hanya agar Nolan bisa melihat kembang api dengan senyum gembira. Melihat dunia dengan pandangan yang berbeda, menenangkan dirinya sendiri dan menikmati apa yang akan dan sudah terjadi. Hanya itu.
“Kamu enggak main sama laki-laki dari utara itu?” tanya ibunya, mencoba mencairkan suasana. Tetapi Nolan malah membuang muka sambil mendengus.
Padahal, dia kelihatan senang setiap kali habis jalan-jalan dengan anak itu, pikir ibunya. Ia tidak berharap banyak pada pertemanan Jose dengan Nolan. Tidak seperti para wanita di Bjork selatan, ia sama sekali tidak menganggap putrinya punya masa depan dengan orang utara. Tetapi ia hanya ingin melihat Nolan bahagia. Meski sebentar saja.
Nolan sendiri tidak pernah memikirkan soal kebahagiaan atau percintaan. Sekarang, pikirannya disibukkan dengan kisah pelayan dari Bjork utara. Ia percaya hal-hal yang mistis bisa saja terjadi. Ia percaya bahwa mungkin saja perempuan bernama Lina itu tidak bohong atau berhalusinasi.
Mungkin dia memang sedang bersama Mila.
Atau tepatnya, hantu Mila.
Ia belum tahu pasti identitas mayat yang ditemukan tadi pagi, tetapi Nolan menebak bahwa wanita itu pasti Mila. Siapa lagi yang bisa mati dengan waktu yang secocok itu?
Mila mungkin saja menampakkan diri karena meminta dirinya ditemukan. Tetapi saat memikirkan itu, Nolan menggeleng cepat. Lebih masuk akal kalau Mila sebenarnya ingin mengajak Lina ke dunia lain.
“Ibu percaya pada hantu?” tanya Nolan cepat.
Ibunya menoleh, heran pada pembelokan topik yang tiba-tiba itu. “Ibu rasa, kita tidak bisa menaruh kepercayaan pada hantu.”
“Maksudku, apa Ibu percaya bahwa hantu itu ada?” Nolan segera mengoreksi pertanyaannya. Ia mengangkat tubuhnya, duduk di atas selusur sambil menghadap rumah, menghadap ibunya yang sedang bersandar di dinding kayu. Adik-adiknya masih ribut melihat kembang api, tetapi mereka kini juga memasang telinga. Pembahasan tentang hantu selalu menarik.
“Mungkin saja,” Ibunya mengangkat bahu. “Ibu belum pernah bertemu satu. Tapi yang jelas, kita tidak bisa memungkiri bahwa di dunia ini ada dimensi lain. Kita enggak sendirian.”
“Apa itu dimensi?” tanya Loma dengan suara kanak-kanaknya.
“Ruang dan waktu,” jawab Nolan cepat, kemudian melanjutkan, “Pernah dengar cerita tentang orang yang ditarik pergi sama hantu orang lain?”
“Maksudmu, Bibi Henna?”
Nolan mengangguk cepat, baru saja teringat soal bibinya yang satu itu. Bibi Henna pernah bercerita bahwa pada sore hari saat ia dalam perjalanan pulang dari pasar, jalan tiba-tiba tertutupi kabut. Tidak tebal. Ia masih bisa melihat jalan. Kemudian ada seseorang datang dan menawarkan diri untuk menuntunnya melewati kabut. Bibi Henna yang senang mendapat teman seperjalanan tentu saja menerima tawaran tersebut. Sialnya, dia bukan dituntun melewati kabut tetapi malah dituntun terjun ke dalam sungai.
Berkat beberapa pedagang yang juga pulang dari pasar, Bibi Henna selamat. Namun sejak saat itu ia tidak pernah mau lagi pulang pasar terlalu malam. Apalagi setelah ditelisik dan diselidiki oleh beberapa orang, wajah dari lelaki yang menuntun Bibi Henna adalah wajah orang yang dikabarkan meninggal karena tenggelam di sungai saat hujan badai.
Cerita itu dibahas ulang lagi oleh Nolan dan ibunya, membuat adik-adiknya seketika diam dan menyimak. Mereka sudah sering mendengar cerita itu, tetapi tetap saja selalu berbisik-bisik tegang di sela cerita.
“Menurut Ibu, sebenarnya itu bukan roh orang yang mati.” Ibunya berkata, melipat kedua tangan di depan dada. Sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai tanah dengan pelan. “Mungkin saja itu makhluk lain yang jahat. Seperti, semacam siluman. Makhluk seperti itu kadang menyamar jadi manusia. Mereka juga bisa disentuh dan bisa dibunuh, tapi jelas bukan manusia.”
“Memangnya ada siluman di Bjork?” tanya Nolan, menoyor kepala-kepala adiknya yang ribut bertanya apa artinya siluman.
“Entahlah, mungkin ada. Apalagi kita di dekat hutan.” Ibunya mengedikkan bahu. “Alam memberi banyak energi. Air juga. Makanya kehidupan sering berkumpul di dekat air mengalir. Air yang mengalir mengalirkan banyak energi, baik positif ataupun negatif. Kadang, orang bilang, roh-roh manusia sering berkumpul di dekat sungai. Kalau tidak salah, di beberapa tempat, persinggahan kematian juga berbentuk sungai. Dewa kematian mengayuh sampan. Semacam itu. Dalam kisah mitologi juga banyak yang melibatkan sungai, kan?”
Nolan menatap ibunya dengan kagum, bertanya-tanya dari mana semua pengetahuan itu. “Ibu tahu banyak hal, ya.”
Ibunya menepuk dada dengan bangga, bersamaan dengan meletusnya satu kembang api lagi. Mereka semua menatap ke atas langit dengan wajah merona karena pantulan cahaya.
“Tapi, mungkin saja memang ada roh-roh yang tidak tenang,” Ibunya melanjutkan dengan suara pelan, tidak mau mengganggu keceriaan anak-anaknya yang lain yang masih kecil. “Kadang mereka meminta ditemani. Kadang kematian yang tidak wajar membuat mereka sangat menderita, mereka terjebak dalam dunia yang gelap. Tidak tahu harus pergi ke mana. Beberapa dari mereka bisa menampakkan diri, mengharapkan doa dari kita yang masih hidup di dunia ini.”
“Kenapa mereka tidak berdoa sendiri?” tukas Nolan skeptis. “Kalau bisa menampakkan diri sendiri, harusnya bisa berdoa sendiri.”
“Kamu pernah melihat sesuatu yang sangat menyeramkan? Sesuatu yang membuat kaget sampai tidak bisa bergerak sedikit pun?”
Nolan teringat pada penampakan Hantu Hitam ketika ia memancing dengan Jose. Waktu itu ia tersandung dan jatuh, dan hanya bisa diam terpaku. Tidak bisa menggerakkan jari sedikit pun.
“Atau, pernah mengalami kram tidur? Orang bilang istilah lainnya ‘tindihan’, ada juga yang bilang kram tidur. Kelumpuhan yang dialami tubuh karena kesadaran pikiran dan tubuh tidak sinkron. Kita akan terjaga, tetapi tubuh terasa sangat berat. Katanya, kita jadi bisa melihat beberapa ilusi. Tapi, Ibu sih belum pernah mengalami.”
“Lalu?” balas Nolan cepat, “Apa hubungannya?”
“Waktu kamu mengalami kelumpuhan seperti itu, sulit buatmu untuk bicara, kan? Mungkin, roh-roh itu merasakan hal yang sama. Mereka bisa muncul, tapi tidak bisa bicara. Sulit melakukan doa. Makanya, mereka membutuhkan bantuan kita. Ibu tahu, kau kadang tidak berdoa dengan benar. Rasanya malas dan ngantuk, kan? Tapi waktu ada orang berdoa dengan dilafalkan keras, kamu jadi bisa ikut membatin dan menyelesaikan doa. Namanya dituntun. Mereka juga butuh tuntunan seperti itu.”
Nolan tidak begitu yakin ia memahami apa yang dikatakan ibunya. Terkadang, ibunya memberi penjelasan dengan cara seperti orang-orang utara bicara, membuatnya penasaran apakah dulu ibunya berasal dari sebelah utara.
Ia menatap ke atas, kembang api lain meluncur, membentuk kata Bjork yang indah, disertai bunga-bunga api yang mencolok. Bibir Nolan bergerak lembut, memberi senyum yang manis.
Senyum itu membeku di tempat ketika matanya menangkap ke arah bukaan jalan di hutan.
Hutan terletak di sebelah kanan rumahnya. Meski jaraknya jauh, tetapi ia tetap bisa melihat dengan jelas bukaan jalan yang disebabkan masuknya mobil pemadam kebakaran tadi pagi.
Hanya sekilas saja Nolan melihat, karena malam segera gelap setelah kembang api menghilang.
Tetapi ia yakin tidak salah lihat.
Ada sesuatu yang bergerak-gerak di sana, seperti sosok yang bergelenyar. Seperti agar-agar yang membal pejal. Nolan mengusap matanya yang sedikit buram karena pengalihan cahaya. Ia mengerutkan dahi, mencoba menatap lebih jelas.
Ya, sekarang ia bisa melihatnya dengan lebih jelas. Makin dilihat, sosok itu jadi makin mewujud. Mata. Hidung. Mulut. Semuanya terbentuk dalam bayang samar hitam.
Seluruh tubuh Nolan menegang. Jantungnya berdegup sangat kencang. Sosok itu kembali membal, tersembunyi di balik sesemakan belukar.
Itu seperti bentuk wanita yang dilihatnya mati di seberang sungai.
Mila.
***
Previous | Index | Next