Bab 64 Monster Hitam
Nolan merayap masuk ke dalam hutan karena ia merasa melihat mayat Mila bergerak-gerak. Mayat. Tentu saja mayat, kalau bukan hantu. Ia tidak pernah melupakan wajah wanita yang meninggal itu. Ia bahkan masih ingat pada bentuk pakaian dan juga panjang rambutnya.
Yang ia lihat memang wanita yang sama dengan yang ia temukan meninggal siang tadi saat bersama Jose. Didasari oleh rasa penasaran sekaligus kenekatan, Nolan merayap pergi dari rumah setelah adik-adiknya tidur. Ia harus memastikan bahwa makhluk yang dilihatnya, entah siluman atau hantu, tidak akan mendekati rumahnya. Sebuah pisau dapur yang dibungkus koran ia selipkan di belakang punggung.
Ia sangat hapal pada hutan sebelum sungai, sehingga tidak masalah baginya untuk menjelajah tanpa ketahuan. Sebenarnya ia hanya ingin memastikan keadaan sekitar, lalu pulang. Tetapi saat sedang menyibak semak-semak, Nolan melihat gerombolan orang yang mencurigakan. Lima pria besar yang kelihatan seperti orang kaya. Radar kebenciannya pada orang elit segera menyala, dan Nolan membuntuti mereka atas dasar ketidaksukaan karena melihat orang-orang utara di wilayahnya.
Namun ketika melihat mereka merayap menyusuri sungai dan menyeberang ke hutan di seberang, Nolan mulai menyiapkan dirinya dengan lebih serius. Ia beranggapan, apa pun yang akan terjadi selanjutnya, kemungkinan besar menyangkut sebuah rahasia yang sangat besar.
Dan Nolan benar.
Ia melihatnya. Makhluk hitam itu.
Si Hantu Hitam.
***
“Menurutmu, suatu saat nanti Bjork akan bisa tenang?” Maria bertanya. Tangannya menggenggam tangkai permen kapas berwarna merah muda. Bentuknya seperti awan mendung.
“Tentu,” sahut Jose pelan, kini tidak terlalu yakin. Saat masuk ke dalam Gedung Diskusi tadi, ia mendengar kabar bahwa Dave masih belum ditemukan, malah ada satu orang Baron yang hilang. Baron adalah gelar bangsawan yang terendah. Gelar-gelar semacam itu sebenarnya tidak terlalu diperhitungan lagi dalam dunia bisnis maupun kehidupan modern di Bjork, tetapi tetap merupakan salah satu tolok ukur. Bjork memang kota yang sangat timpang. Di satu sisi menerima segala perkembangan kemajuan, tetapi di sisi lain juga masih sangat kolot dan primitif.
Orang-orang yang hilang bukannya berkurang, tetapi justru makin banyak. Padahal polisi patroli makin ketat menjalankan tugas. Satu hal yang disimpulkan oleh Jose dengan gampang adalah, ada yang tidak beres dengan kepolisian di Bjork.
Sebenarnya pemikiran itu sudah muncul agak lama, tetapi Jose menyingkirkannya karena berpikir bahwa pamannya yang memegang kendali atas kepolisian. Namun mendengar pembicaraan dua pamannya tadi siang, ia jadi berubah pikiran. Sepertinya ada konflik internal.
“Kenapa melamun?” Maria menyenggol lengan Jose. “Omong-omong, Inspektur Robert hari ini tidak kelihatan, ya. Padahal kupikir dia akan berkeliaran seperti tahun lalu.”
“Mungkin dia sibuk,” sahut Jose kalem, tetapi diam-diam ikut mencari keberadaan sosok berkumis Stalin itu.
“Mungkin juga. Keadaan tambah parah, kan, akhir-akhir ini? Kudengar kau menemukan mayat perempuan di sebelah selatan? Tidak cerita padaku, eh?”
Jose tertawa, “Marry, aku bahkan tidak berpikir untuk menjadikan hal sesuram itu jadi bahan pembicaraan dengan orang lain.”
“Aku kan bukan orang lain.”
“Aku tahu, maksudku bukan seperti itu.”
“Ya, ya, cuma bercanda. Aku tahu, kok maksudm,” Maria menggigit permen kapasnya, meninggalkan jejak lekat yang berwarna lebih tua pada makanan yang seperti awan itu. “Kita memang dalam keadaan yang menyedihkan, ya. Bahkan pembicaraan tentang mayat dan orang hilang sekarang jadi normal.”
“Karena, bisa dibilang, kita sudah hampir terbiasa pada kejadian ini. Kalau ada orang hilang, kita bahkan sampai tidak kaget lagi.”
“Karena sudah banyak kejadian,” Maria menanggapi. “Sama seperti kabar tentang bom di daerah perang. Tidak akan seramai dan sehebat kalau ada bom di daerah tenang dan damai seperti Bjork.”
“Tenang dan damai,” Jose melambungkan bola air yang sempat dibelinya tadi. “Itu cuma judul buku saja. Tidak ada dalam kenyataan.”
“Tergantung persepsimu tentang tenang dan damai itu sendiri, kan?”
“Tentu saja dilihat dari kacamata obyektif dong. Kalau apa-apa dilihat secara subyektif, yang ada cuma pertikaian dan mau menang sendiri.”
Maria tertawa. “Kau benar. Sudah lama kita tidak berdebat seperti ini.”
Jose mengulaskan senyum lembut. Bola mata hitamnya menatap Maria dengan teduh. “Aku tidak tahu kau sekangen itu padaku.”
Ucapan itu segera dibalas dengan pukulan ringan di bahu.
“Omong-omong, kau sudah dengar? Katanya, empat hari lagi ada gerhana, lho.”
“Gerhana apa? Matahari? Bulan?”
“Matahari. Masa kau belum baca atau dengar beritanya, sih? Kan sudah heboh sejak bulan lalu?”
Jose menggeleng. Matanya menatap pada kerumunan orang-orang yang lalu lalang. Meski mereka tertawa dan bercanda, ia bisa melihat ada sorot mata yang sama. Kecemasan.
“Gerhana matahari?” Jose mengerutkan kening dengan heran. “Maksudmu, siang jadi gelap?”
“Tidak, gerhana matahari itu ketika bintang-bintang jatuh dari langit dan berubah jadi sereal,” Maria menyahut sarkastis. “Tentu saja siang akan jadi gelap, Jose! Kau ini bagaimana, sih? Namanya saja gerhana!”
Jose mengusap rambut depannya dengan gugup. Gerhana bisa jadi merupakan titik balik dalam sebuah peristiwa. Dalam hati ia menghitung hari.
***
Ada tubuh-tubuh mati. Nolan hampir muntah saat melihat tubuh-tubuh yang sudah menggembung itu. Ia merasa mengenali salah satunya. Meski bentuknya sudah banyak berubah, Nolan masih ingat anak itu. Salah satu pelayan di rumah keluarga Argent. Anak muda yang mengantarkan pakaian padanya.
Apa-apaan ini sebenarnya? Nolan merapatkan kedua tangan pada mulut, mencegah agar dirinya tidak menjerit.
Tubuh-tubuh ditelentangkan di atas tanah, membentuk formasi tertentu. Kemudian lima orang pria di dalam hutan menyalakan lilin yang berwarna hitam. Kelimanya merentangkan tangan ke arah langit, kemudian berteriak-teriak kompak dalam bahasa yang aneh. Makin lama makin keras. Makin cepat dan keras. Rapalan itu berlangsung selama hampir setengah jam, sampai mereka hampir menjerit. Nolan heran kenapa ia tidak pernah mendengar suara gema jeritan mereka.
Setelah menatap lagi ke sekeliling, ia baru sadar bahwa penyebabnya pasti pepohonan yang tumbuh merapat di sekitarnya. Daun-daun dan batang pohon mencegah suara itu sampai ke luar.
Bersamaan dengan jeritan yang merupa jadi pekikan panjang, tubuh-tubuh mati itu berkedut-kedut, seperti jantung yang hidup. Kemudian merayap seperti ulat menuju titik tengah, dan lumer.
Benar-benar lumer.
Nolan melihatnya seperti cokelat yang meleleh karena panas. Ia menahan napas. Angin dingin menyusup melewati benang-benang pakaian, membuatnya menggigil.
Kelima tubuh yang menggembung dan berkedut itu kini meletup jadi satu, membentuk gumpalan tinggi besar yang berwarna hitam dan menyebarkan bau gosong yang aneh. Baunya seperti aroma asap yang timbul setelah memadamkan nyala pada lilin.
Itulah kelahiran Hantu Hitam yang sering dilihat Nolan. Ia menelan ludah. Kakinya gemetaran dan lututnya terasa lemas. Punggungnya seperti disiram dengan air es. Rasa dingin menyergapnya dalam belitan yang kuat.
Ia melihat, dari sosok hitam menjijikan yang bangkit terhuyung itu, keluar asap berwarna putih yang meliuk-liuk. Hantu Hitam itu seperti menguap.
Sekarang Nolan menyadari dari mana munculnya kabut aneh yang selalu menyelimuti Bjork bagian selatan. Orang-orang itulah dalangnya. Pembuatan si Hantu Hitam.
Kesadaran itu membuat Nolan merasa sangat marah. Jantungnya berdegup ngeri, tetapi kepalanya panas. Tangannya yang gemetaran meraih ke belakang punggung, menyentuh gagang pisau dapur yang ia selipkan di sana.
Sebelum pergi, tentu saja ia sempat mengambil senjata. Sebuah pisau besar yang dibungkus agar tidak melukai kulit punggungnya.
Namun membuka kertas koran yang melapisi pisaunya ternyata tidak gampang. Suara kertas yang bergesekan membuat bunyi nyaring di hutan yang sepi.
Nolan berhenti bergerak karena kaget pada suara yang ia timbulkan sendiri. Suasana mendadak sangat hening. Seluruh tubuhnya kaku. Punggungnya disergap rasa dingin yang luar biasa, dan kakinya tersengat. Udara panas yang busuk menerpa tengkuknya, membuat leher Nolan berputar secara otomatis.
Makhluk itu sudah ada di sampingnya.
Hantu bungkuk bermata semerah darah dan berwajah meleleh. Kulitnya meletup-letup seperti jenang yang mendidih, mengeluarkan asap putih susu yang berbau lemak terbakar. Seluruh tubuh Nolan bergetar tanpa kendali. Ia tidak bisa bergerak. Yang bisa ia dengar di telinga hanya suara degup jantungnya sendiri. Mendentum bertalu-talu.
Tepat pada saat tangan Hantu Hitam itu bergerak hendak mencengkeram, terdengar suara letusan yang dahsyat. Suara kembang api yang meledak. Entah bagaimana, suara itu membuat makhluk di depannya terpelanting ke belakang.
Kemudian Nolan merasakan tangannya disentakkan dengan kasar ke belakang.
Bahunya sakit. Sendi tangannya sakit. Dan paru-parunya seperti terbakar. Nolan diseret kasar melintasi hutan. Gadis itu baru saja hendak berteriak ketika menyadari bahwa ia ditarik menjauh dari tempatnya sembunyi barusan.
Udara malam terasa dingin, tetapi juga panas di saat bersamaan. Daun-daun dan ranting menggores pipinya selagi ia berlari mengikuti orang yang menyeretnya. Segala hal terlihat gelap. Nolan bahkan tidak kuat untuk melawan. Ia hanya mengikuti saja ke mana dirinya dibawa. Suaranya hilang ditelan kelumpuhan yang mendadak.
Sesuatu lagi-lagi menyergapnya dalam kengerian, membuat kepala Nolan seperti ditarik menoleh ke belakang. Hal yang kemudian disesalinya karena ia melihat itu.
Hantu itu.
Siluman itu.
Makhluk itu.
Monster itu.
Atau apa pun namanya, itu mengejar mereka. Kini bukan dengan dua kaki dan tubuh membungkuk seperti yang sudah pernah dilihatnya, melainkan menggunakan lutut dan siku, berlari kencang seperti predator mengejar mangsa. Nolan menjerit ngeri, dan kehilangan seluruh tenaganya. Ia terjatuh lemas.
Orang yang menariknya ikut berhenti, melihat juga ke belakang, dan menjulurkan tangan ke depan, melewati kepala Nolan.
Suara kembang api itu terdengar lagi, memekakkan telinga.
Tidak. Bukan kembang api.
Sekarang Nolan menyadarinya. Itu suara pistol.
Ia mengangkat wajah, melihat pada si penembak yang berdiri di sampingnya. Wajahnya melongo kaget ketika mengenali siapa orang yang dari tadi menggeretnya berlari.
Itu Marco.
Pria tua itu menembak sekali lagi. Wajahnya setenang dan sedingin biasa, seolah yang dihadapinya hanya anak kurang ajar dalam gudang jerami.
“Bangkit sekarang! Atau kutembak kepalamu dan kuserahkan pada monster itu!” perintah Marco.
Nolan berusaha bangkit, tetapi tubuhnya tidak mau menurut. Ia terjatuh lemas ke atas tanah.
Marco mendecak, melihat bahwa monster hitam yang mengejar mereka ternyata tidak bisa mati. Makhluk itu justru merayap di tanah dengan cara yang sangat menjijikkan, menimbulkan suara menggeleser.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Marco segera berlutut di samping Nolan, lalu melakukan hal yang sama dengan yang pernah dilakukan Jose. Ia menggendong gadis itu di punggung, dan membawa Nolan berlari meninggalkan hutan.
Nolan bahkan tidak sempat memikirkan bagaimana pria setua Marco bisa menggendong orang lain dan berlari menyusuri medan yang terjal. Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu hal. Ia tidak mau mati. Ia tidak mau ditangkap.
Nolan bisa mendengar derap langkah makhluk itu di belakangnya. Kemudian ada sesuatu yang dingin mencengkeram kerah bajunya. Nolan ditarik ke belakang. Ia menjerit. Marco mengumpat.
Kemudian, semuanya jadi gelap.
***
Back | Index | Next