Bab 66 - Ini Gawat
Jose tidak benar-benar ingin berkuda. Ia hanya menggunakan kegiatan itu sebagai cara untuk melarikan diri dari Rolan. Ia sudah muak pada ketidakjujuran paman-pamannya. Mereka jelas sedang membebankan sesuatu pada Jose, sesuatu yang penting, tetapi tidak ada yang memberitahunya apa hal penting itu. Mereka bermain rahasia dan menyuruhnya duduk menunggu seperti anak yang penurut.
Seperti boneka.
Jose tidak mau. Ia tidak sudi menjadi alat yang diperintah dan dikendalikan sesuka hati seperti ketiga kakaknya. Jacob mungkin sudah memiliki kehidupan sendiri sekarang, lepas sedikit dari cengkeraman nama Argent, tetapi Jose melihat sendiri bagaimana mengerikannya kehidupan yang dijalani oleh kakak-kakaknya. Hidup yang tidak bisa dikatakan hidup. Mereka hanya melakukan apa yang diperintahkan atau disenangi oleh Marco, Edgar, atau pun guru-guru di Bjork.
Mereka seperti robot. Lebih buruk lagi, seperti zombie. Seperti boneka kayu.
Tetapi bahkan Pinokio pun bisa memilih kehidupannya sendiri. Pinokio memiliki keinginan untuk hidup dan menjadi manusia yang bebas.
Jose adalah manusia bebas, dan ia tidak mau diperlakukan seperti Pinokio.
Ia bisa melihatnya pada mata Rolan tadi, sebuah keinginan untuk mendominasi. Pamannya yang itu juga mau melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Marco. Mereka berniat menggunakannya sebagai alat belaka.
Jose berbisik pada telinga Run, kudanya, membuat binatang pintar itu berlari lebih kencang lagi, kemudian meloncat tinggi. Jose menggenggam tali kekang, memejamkan mata. Ia merapatkan bibir saat kudanya menapak tanah. Tubuhnya terguncang dalam gelenyar yang biasa ia rasakan. Angin membelai seluruh tubuhnya, memercikkan sedikit keringat yang menetes dari rambut.
Kini ia berada di pinggir tebing, menatap pada dataran luas yang membentang di bawahnya. Bjork memang terletak agak tinggi, berada di dekat bukit pegunungan yang terjal.
Jose beranjak turun dari kuda. Napasnya terangah. Ia membelai surai Run dengan sayang, menyandarkan pelipisnya pada leher binatang itu.
Gerhana matahari tinggal tiga hari lagi. Pada saat itu, Jose menebak akan ada hal buruk terjadi. Hal yang melibatkan Sir William. Banyak hal bisa terjadi pada titik pertemuan antara matahari, bumi dan bulan. Banyak hal mistis bisa bangkit. Dan itu tidak bisa dibiarkan, lepas dari apakah Jose memercayai hal semacam itu atau tidak.
Angin berdesir lembut membelai rambutnya, membuka mata Jose. Ia berjalan dua langkah ke depan dan menatap ke bawah tebing, ke arah dedaunan hijau yang merupakan pucuk pohon. Kakinya sedikit geli berada di ketinggian itu, tetapi ia tidak merasa ngeri. Bahkan kudanya juga tidak mundur.
“Kau pemberani, Run,” bisiknya sambil mengusap surai Run. Binatang itu mendengus lembut sebagai jawaban.
“Menurutmu, kalau jatuh dari sini, manusia akan mati?” Jose berjongkok, menatap jauh ke bawah. “Manusia akan mati. Pasti. Bagaimana dengan vampir? Bagaimana dengan hantu?”
Ia mempertimbangkan pertanyaannya barusan dalam-dalam, mencoba mengoreksi sendiri kata demi kata. “Bukan vampir,” ucapnya pelan. Matanya menatap mata Run yang hitam. “Sejenis. Seperti. Setipe. Mirip, tetapi bukan. Aku sendiri tidak tahu, Run.”
Jose menuntun Run menjauh dari tebing, membiarkannya merumput di daerah yang masih hijau dan segar. Ia memikirkan William, kemudian Nolan, lalu Maria.
Gadis itu sudah kelihatan lebih sehat saat bersamanya di festival semalam, tidak selelah dan sepucat sore harinya. Ia jadi lebih tenang setelah mengantar Maria pulang. Namun satu hal yang mengganggu di mata Jose adalah cara William menatap gadis itu.
Itu bukan tatapan yang biasa. Itu tatapan yang ... posesif.
Jose ingat sering melihat tatapan serupa pada kakak-kakaknya. Ketiga kakaknya memiliki sorot mata yang sama setiap kali ada salah satu yang dipuji lebih tinggi dari yang lain. Sorot mata ingin menang. Ingin memiliki. Tidak mau kalah. Itu niat kompetitif. Sama dengan saat William menatapnya.
Jose sadar, pria itu cemburu padanya.
Dan karena satu-satunya yang bisa membuat pria itu cemburu padanya hanya soal kedekatannya dengan Maria, satu hal sudah jelas. William menginginkan gadis itu.
Jose mencabut rumput-rumput hijau di bawahnya, kebiasaan yang ditularkannya pada Maria. Jose selalu melakukan itu pada saat sedang berpikir, sementara Maria melakukannya tiap sedang bingung.
Gadis itu jelas tertarik pada William, meski tidak dengan cara William tertarik pada Maria. Ada yang aneh dalam hubungan mereka. Rasanya terlalu cepat.
Jose tahu bahwa kadang cinta tidak membutuhkan banyak waktu, tetapi rentetan kejadian ini memaksanya berpikir bahwa tidak ada hal yang kebetulan. Semuanya merupakan sebab dan akibat yang saling terkait satu sama lain. Seperti domino yang jatuh.
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Jose membulatkan tekad. Ia akan memaksa Rolan mengatakan semua yang diketahuinya tentang William. Ia tahu kedua pamannya bersikap hati-hati pada pemuda itu. Kalau ada hal yang salah dengannya, ia harus tahu. Sebab nasib Maria dipertaruhkan di sini.
Ia bersuit memanggil Run. Kudanya segera berhenti merumput dan datang dengan patuh. Jose memperbaiki letak sanggurdi, bersiap menaiki Run, ketika telinganya menangkap suara gemerisik yang aneh serta suara tarikan keras yang serak. Seperti orang pilek yang berusaha untuk bernapas.
Kudanya mendadak gelisah. Jose tidak jadi naik. Ia membelai-belai surai Run, memintanya untuk tenang, sementara matanya mencari-cari arah suara.
Ketemu.
Semak perdu bergerak-gerak di arah jam dua. Run mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi, siap berontak. Jose menelan ludah. Punggungnya meremang.
“Siapa itu?!” serunya lantang, memerintah. “Keluar! Tunjukkan dirimu!”
Semak-semak bergerak lagi, kemudian seseorang terbungkuk-bungkuk keluar dari sana.
Jose menahan napas. Darahnya tersirap.
Itu Mila.
***
“Jadi, semalam Nona tidak jadi bersama dengan Tuan Bannet?”
“Tidak, kami hanya sempat bertemu sore hari, sebelum aku bersepeda dengan Jose.” Maria menguap. Ia membetulkan letak bantalnya, kemudian memejamkan mata sekali lagi.
“Nona baik-baik saja?” Susan menyorongkan jus apel ke depan Maria.
Gadis itu menggeleng, mendorong gelas yang disodorkan menjauh dari mulutnya. “Aku merasa mual, Sue. Rasanya ingin muntah. Biar aku tidur saja, ya?”
“Saya akan panggilkan dokter,” Susan memutuskan, tetapi Maria menggeret apron pelayannya.
“Tidak apa, mungkin karena mau datang bulan, badanku rasanya tidak karuan. Nanti tidak akan apa-apa, kok.”
“Ah, siapa bilang? Jangan seperti itu, Nona! Lebih baik diperiksa sekarang sebelum kenapa-napa!”
“Ya ampun, tidak apa, Sue. Kemarin aku juga begini, tapi sorenya baik-baik saja. Akhir-akhir ini, tiap pagi rasanya aku memang merasa mual.”
Susan mengerutkan kening. Ia menaruh termometer merkuri pada ketiak Maria, dan menunggu dengan sabar sambil merapikan ujung-ujung seprai yang berantakan. “Mungkin Nona salah makan? Semalam makan apa?”
“Cuma permen kapas saja, kok. Jose yang membelikan.” Maria berkata. Ia tersenyum sedikit mengingat bagaimana akhirnya ia dan Jose bisa mengobrol dengan akrab lagi. Ia sempat merasa ada yang berbeda dari mereka berdua, ada sesuatu yang berubah, tetapi tidak bisa ia pahami sepenuhnya di mana letak perubahan itu. Tadinya ia pikir itu karena kedatangan gadis kumuh yang bernama Nolan, yang masih saja tidak mau mengerti jurang status antara Bjork selatan dan utara. Tetapi kini ia mulai merasa bahwa bukan anak itu letak perbedaannya. Bukan juga masalah kedewasaan atau alasan payahnya yang diungkapkan pada Jose kemarin.
Ia sendiri yang merasa berbeda. Ia seperti melihat dunia dengan pandangan yang sedikit beda, seperti sedang berganti kacamata. Tetapi Maria lagi-lagi tidak mengerti di mana letak bedanya. Ia merasa ada yang hilang dari dirinya, tetapi di saat yang sama juga ada sesuatu yang melengkapi dirinya.
Susan selesai membereskan gaun-gaun serta pakaian yang bertebaran di lantai, sisa persiapan Maria kemarin. “Jadi,” ujar pelayan itu dengan sopan, “Ada acara khusus untuk hari ini, Nona? Nona mau pergi ke suatu tempat?”
Maria mengusap matanya yang terasa perih. “Tadinya aku mau mengunjungi Jose. Dia sudah janji mau menemaniku ke pesta Sir William nanti malam. Tapi entahlah. Aku tidak tahu lagi apa aku kuat.” Ia menenggelamkan diri ke balik selimut. “Tutup jendelanya dong, silau nih.”
“Tirainya bahkan belum dibuka, Nona,” sahut Susan heran. Ia mengambil kembali termometer, melihat bahwa suhu tubuh Maria ada dalam ukuran normal.
“Masa, sih? Silau nih. Tambahkan selapis lagi saja, mataku capek melihat matahari.”
“Mungkin Nona kelelahan. Saya akan panggilkan dokter.”
“Sue ...,” Maria merengek sebal. “Aku benci dokter, benci jarum suntik, benci obat. Jangan panggil, yaaa?”
Susan menghela napas. “Baiklah, tapi kalau siang nanti Nona belum mau makan juga, saya akan panggil dokter. Tidak peduli meski Nona merengek.”
“Kau kejam pada orang sakit,” Maria merajuk.
“Kalau sakit, saya panggilkan dokter,” tandas Susan cepat, menemukan celah. Ia menata gelas dan piring makan di atas nakas di samping tempat tidur. “Makanannya saya taruh sini saja dulu. Kalau Nona sudah merasa agak baikan, tolong makan, biar sesendok atau dua sendok.”
Maria mengangguk lemah.
Susan merapatkan selimut majikannya, kemudian beranjak keluar kamar.
“Kau mau ke mana, Sue?” tanya Maria lemah ketika melihat pelayannya membuka pintu.
“Mengambil lapisan tirai baru,” sahut Susan. “Kenapa? Nona butuh sesuatu?”
“Oh, tidak. Pergilah sana.”
Susan melihat bahwa Maria memang jadi semakin pucat. Ada lingkaran hitam di bawah mata gadis itu. Sudah tiga hari ini kondisi Maria seperti itu. Awalnya, hanya terlihat lemah, tetapi kemudian sehat. Lalu keadaannya buruk lagi, seperti kelelahan, tetapi sebelum dokter datang, Maria sudah kelihatan kembali sehat. Dan sekarang terulang lagi. Daripada terjadi apa-apa yang tidak diharapkan, Susan memutuskan untuk menelpon dokter sekembalinya mengambil kain gorden dari ruang binatu. Ia kembali ke kamar majikannya sambil memikirkan apa alasan yang tepat untuk menghindar dari amarah Maria nanti saat melihat dokter datang.
Namun semua alasan itu lenyap seketika saat melihat Maria yang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Susan menjerit kaget, memanggil pertolongan.
Bukan wajah pucat Maria yang membuatnya ngeri. Bukan juga piring serta gelas yang berantakan di atas karpet, tetapi karena keadaan Maria sendiri.
Gadis itu memuntahkan isi perutnya ke atas selimut. Terbatuk-batuk dan muntah. Airmata mengalir membasahi pipinya.
“Nona, ya Tuhan, Nona!” Susan segera menyingkirkan selimut yang terkena muntahan lalu buru-buru meraih handuk untuk mengelap mulut Maria.
“Tidak apa, Sue,” bisik majikannya lemah. “Aku cuma mual. Bau makanannya membuatku mual.”
Pelayan yang mendengar teriakan Susan segera datang tergopoh-gopoh.
Sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya, tetapi Maria mencoba tidak memikirkan hal itu. Maria menutup mulutnya untuk bicara, tersedak, kemudian muntah lagi.
***
Back | Index | Next