Bab 73
You are My Home
Lima Setengah Tahun Kemudian
Tokyo
Tidak ada alasan untuk meninggalkan Tokyo pada musim gugur. Itulah masa terbaik untuk menikmati warna-warni indah dari Daun Maple yang satu per satu berguguran di beberapa sudut taman kota Rikugien.
Abinaya menikmati hari terakhirnya di Tokyo. Ia menyusuri taman terindah sekaligus terbesar di Kota Tokyo tersebut bersama seorang gadis Jepang bernama Yuki. Abinaya mengenalnya saat melamar pekerjaan sampingan di sebuah restoran ramen. Kebetulan Yuki juga seorang pegawai di sana, dan keduanya pun mulai berteman. Yuki sendiri adalah gadis yang sangat manis. Kulitnya seputih salju dan bibirnya seranum strawberry segar yang baru saja dipetik. Ia bagitu anggun dan sopan, khas wanita Jepang pada umumnya. Abinaya suka pada penekanan kalimat yang diucapkan oleh Yuki. Terdengar tegas, meski diucapkan dengan lembut. Dan jika saja boleh, ingin sekali ia berkhianat pada Cinta dan mencoba peruntungan untuk menjadi kekasih Yuki, apalagi gadis itu memang menyukainya sejak awal mereka bertemu.
Di balik sikap lemah lembut dan sopan santun yang begitu tinggi, Yuki adalah gadis pemberani. Dia pernah menyatakan perasaan pada Abinaya, tapi Abinaya menolaknya. Abinaya memperlihatkan sketsa wajah Cinta yang pernah dibuatnya pada Yuki. Ya, Abinaya membawa sketsa wajah itu ke Jepang. Dia menjelaskan kepada Yuki, bahwa gadis dalam lukisan itulah yang ia sayangi. Hatinya telah dicuri dan tak pernah dikembalikan lagi. Beruntung, Yuki tidak tersinggung dan bisa menerima keputusan Abinaya, bahkan kini mereka berteman baik.
Keduanya melintasi jalan setapak yang menjadi penghubung antar taman. Di tengah-tengah taman tersebut terdapat sebuah kolam besar yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan hutan buatan.
Abinaya dan Yuki melintasi Jembatan Togetsukyo yang menjadi jalur penyeberangan antara taman satu ke taman lain yang terpisah oleh jalur kolam. Keduanya kemudian memutuskan untuk istirahat dan berhenti di kedai teh Tutsuji No Chaya yang berhadapan langsung dengan kolam.
Pada musim gugur seperti saat ini, Taman Rikugien menjadi tempat favorit yang dikunjungi oleh warga Tokyo, bahkan beberapa warga yang berasal dari luar Tokyo pun tak segan untuk datang ke taman tersebut dan menikmati warna warni Daun Maple yang menjadi daya tarik utama di taman itu.
Duah gelas teh hijau tersaji di atas meja. Abinaya meniup tehnya yang panas sebelum meminumnya, dan Yuki menyodorkan sesuatu padanya. Alis Abinaya terangkat. Ia mengambil benda mungil tersebut, dan menaikan sebelah alisnya, seolah bertanya apa ini pada Yuki.
“Besok kau akan pulang, dan aku memberikan gantungan kunci ini sebagai kenang-kenangan,” ucap Yuki dengan senyum di wajahnya.
“Arigatao, Yuki.” Abinaya memasang gantungan kunci berbentuk miniatur Tokyo Tower pada ranselnya. Gantungan kunci itu dipasang pada resleting yang sama di mana terdapat gantungan kunci pemberian Cinta. “Maaf, aku tidak punya apa pun yang bisa kuberikan untukmu.”
Yuki menggerakkan tangannya. Ia merasa Abinaya tidak perlu melakukan hal itu. Yuki memberikannya dengan tulus, dan melihat gantungan kunci pemberiannya tergantung di ransel Abinaya sudah membuatnya puas dan senang.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan setelah ini? Katanya kau ingin mencari sesuatu untuk Cinta di taman ini.”
“Ya, ada. Tapi, setelah kita menghabiskan tehnya.”
“Baiklah. Kita habiskan dulu tehnya.”
Setelah teh keduanya tandas, Abinaya membayar untuk dua gelas teh hijau tersebut dan mengajak Yuki mencari sesuatu di taman tersebut. Yuki tidak mengerti apa yang tengah dicari Abinaya di antara rontokan Daun Maple yang bertebaran di jalan setapak yang mereka lalui. Pandangan Abinaya pun terus menunduk, dan sesekali Abinaya berjongkok dan memilih-milih beberapa lembar Daun Maple.
“Apa yang sebenarnya kau cari?” tanya Yuki penasaran.
“Kau percaya mitos mengenai Daun Maple sabagai lambang cinta sejati?”
Yuki bengong, namun kemudian ia mengangguk. “Hampir semua gadis di Jepang memercayai hal itu.”
Abinaya tersenyum pada Yuki. Ia mengambil selembar Daun Maple dan menunjukkannya pada Yuki.
“Aku ingin mencari yang terbaik untuk kuberikan pada Cinta.”
Yuki tersenyum lebar dan mendekati Abinaya. Bersama, keduanya mencari Daun Maple terbaik yang akan Abinaya berikankan untuk Cinta.
Samarinda
“Gimana, udah datang belum?” tanya Widya panik.
“Belum, sabar dikit, Wid … kejebak macet kali. Samarinda kan nggak kayak dulu yang jalannya plong bebas hambatan,” sahut Dani ngedumel, lantaran gadis yang sudah menjadi istrinya tersebut sudah menanyakan hal serupa berkali-kali.
“Ih, Cinta gimana sih?! Aku udah ngingatin dia dari minggu lalu supaya dia itu datang sehari sebelum hari H, biar nggak kayak gini,” oceh Widya yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Bibirnya meringis, merasakan kontraksi kecil pada perutnya, lantaran si jabang bayi sedang bergerak-gerak di dalam sana.
“Tuh kan, dedenya ngambek kalau kamu ngomel mulu. Sabar dikitlah,” bujuk Dani sambil mengusap perut istrinya.
Widya mengatur napas untuk mengurangi rasa nyeri karena kontraksi kecil tadi, lantas ia mencari ponselnya di dalam tas. Setelah menemukan apa yang dicari, ia segera mencari kontak Cinta. Setelah menekan simbol hijau pada layar ponselnya, Widya menempelkan ponselnya ke telinga. Terdengar suara merdu operator telepon menjawab pangggilannya, membuat kekesalan yang sejak tadi dipupuknya tumbuh subur bak rumput liar.
“Pake acara nggak aktif lagi! Ih, Cinta bikin aku stress tahu nggak?! Masa dia nggak ada antusiasnya sama sekali sih buat nyambut kedatangan Abinaya. Dia kan pacarnya, seharusnya dia dong yang lebih antusias, bukannya kita.”
Dani tak ambil pusing mendengar omelan Widya yang terus berlanjut. Memang, sejak mengandung 8 minggu hingga usia kandungannya memasuki minggu ke tiga puluh dua ini, sikap Widya jadi berubah. Begitu sensitif. Mudah menangis dan mudah marah. Awalnya Dani sempat syok melihat perubahan hormon istrinya yang seperti itu, tapi makin ke sini ia sudah mulai terbiasa dan akhirnya menjadi biasa saja.
“Pesawat Abinaya berangkat jam berapa dari Jakarta? Kira-kira dia udah di mana ya?”
“Ya elah, Yang, cerewet amat sih. Udah deh, kita tunggu aja ya. Sebentar lagi Cinta datang, begitu juga dengan Abinaya. Tugas kita di sini cuma menunggu.”
Widya mendengus. Dari kejauhan tampak mobil Pak Rusli berjalan lambat kemudian berhenti di depan pagar rumah Abinaya. Wajah Widya berubah cerah karena sosok sahabat lama yang sejak tadi ditunggunya sudah datang.
Dani langsung menghampiri mobil tersebut, dan ketika salah satu pintunya terbuka, spontan Dani berseru.
“Woi kunyuk!!!”
“Woi, My man,” balas Abinaya yang langsung menubruk dan merangkul Dani. Mereka berpelukan, tertawa-tawa, dan tak henti-hentinya saling menghina sebagai wujud kangen keduanya. Sesaat Dani memerhatikan penampilan Abinaya yang tak banyak berubah.
“Gila kamu, Bin … lima setengah tahun di Jepang, ternyata cuma gini-gini doang. Nggak ada yang berubah.”
“Emang maunya aku kayak gimana?”
“Ya, kali aja kamu balik ke sini berubah jadi salah satu tokoh anime gitu.”
“Costplay maksudnya? Kagak deh … nggak doyan-doyan amat.” Sejenak perhatian Abinaya tertuju pada Widya yang berdiri di teras rumahnya.
“Waduh, Wid … napa tuh perut?! Kamu diapain sama Dani sampe kayak gini? Wah, kacau kamu, Dan … bini dibiarin sampe cacingan gini.”
“Woi, siapa yang cacingan? Aku lagi hamil tahu!”
Abinaya cekikikan, begitu juga dengan Dani, dan setelah itu ia langsung memeluk Widya. Tidak lama, karena setelah itu Abinaya mulai merasa ada yang kurang.
“Cinta mana?”
“Tahu deh, belum dateng. Tadi pagi aku telepon katanya udah di Sangatta, seharusnya sekarang udah sampe, tapi nggak tahu nih.”
“Coba hubungin lagi, Wid … atau hubungin Tante Titin,” timpal Bu Marta yang sambil lalu berjalan masuk ke rumahnya.
“Udah, Te … tapi Tante Titin nggak ikutan ke sini. Katanya, Cinta berangkat sendiri.”
“Mungkin Cinta males ketemu kamu,” sahut Pak Rusli menggoda Abinaya, dan segera menyusul istrinya.
Raut wajah Abinaya seketika berubah cemas. Ia meminta Widya untuk menghubungi Cinta sekali lagi, tapi tetap sama. Ponsel Cinta tidak aktif. Dia sedikit kecewa dan kehilangan semangat, padahal saat tiba di Balikpapan tadi, Abinaya sudah mengkhayalkan pertemuannya dengan Cinta.
“Di mana ya? Kenapa dia nggak berangkat ke sini dari kemarin sih?”
“Masih di jalan kali, Bin … Sebenarnya, udah beberapa hari ini Cinta agak sibuk. Katanya di sekolah tempat dia ngajar mau ngadain acara pentas seni, jadi dia ngelatih murid-muridnya nari gitu, untuk pertunjukan.” Dani mencoba menghibur, namun demikian tetap tak membuat cemas itu lebur.
Abinaya tak mau ambil pusing, apalagi dia tengah jet lag dan butuh segera istirahat. Abinaya mengajak Dani dan Widya masuk, setelah itu ia langsung ke kamar dan merbahkan badan di sana. Dia akan menghubungi Cinta lagi jika dalam satu jam gadis itu tidak juga datang.
***
Malam kian renta saat Abinaya membuka matanya. Rasa lelah membuatnya terlelap cukup lama. Saat ia melihat langit-langit kamar yang sudah lama tak dilihatnya, Abinaya teringat bahwa dia sudah pulang. Matanya terpejam kembali, namun kembali membuka dan ia pun terduduk. Abinaya teringat pada Cinta.
Ia gegas berlari keluar kamar dan mengecek jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dani, Widya, Bu Marta, dan Pak Rusli berkumpul di ruang tengah sambil menonton acara reality show di TV.
“Cinta udah dateng?”
Dani menoleh. Ia menggaruk pelipis dan agak ragu untuk menjawab.
“Tadi sore Cinta telepon, katanya waktu singgah di Sangatta tadi, dia mampir ke rumah temannya sebentar, dan ternyata di sana lagi ada acara. Cinta ditahan dan nggak dibolehin ke mana-mana, jadi dia nginap di sana semalam. Mungkin besok dia baru ke sini.”
“Apaan, yang bener aja?! Dan, mana hape-mu? Sini, aku mau ngubungin dia.” Abinaya menghampiri Dani dan mengambil ponsel sahabatnya tersebut. Ia mencari nama Cinta pada kontak Dani, kemudian menghubungi gadis itu.
Teleponnya dijawab. Abinaya sangat kenal suara itu. Suara gadis yang ditunggunya sejak tadi. Ia berjalan kembali ke kamar dan menutup pintunya.
“Jadi acara di rumah temanmu lebih penting daripada kedatanganku?”
“Abin?!” terdengar suara kaget di seberang saluran.
“Kalau tahu gini mending aku nggak balik deh. Buat apa juga coba? Pacarku sendiri nggak nganggap aku penting kok,” ujar Abinaya lagi, tak menghiraukan keterkejutan Cinta di seberang sana.
“Abin, maaf … tapi aku bener-bener nggak bisa pergi. Mereka minta aku nginap di sini, dan aku nggak enak kalau nolak.”
“Ya, dan kamu lebih enak kalau bikin aku nungguin kamu kayak gini, gitu? Kamu nggak berubah ya, selalu mentingin yang lain ketimbang aku. Kayaknya aku cocok banget buat dijadiin tumbal, ya?”
“Ya ampun, Bin … gitu aja ngambek. Nggak usah ngambek gitu dong. Aku bisa pastiin, secepatnya kita pasti bakal ketemu.”
“Secepatnya itu kapan?”
“Ya, pokoknya secepatnya.” Hening sejenak, dan dalam keheningan itu, Abinaya mendengar suara berderit dari dalam telepon. “Coba kamu liat ke luar jendela.”
Kening Abinaya mengernyit. Ia berjalan ke arah jendela dan membukanya. Di seberang sana, tampak seorang gadis melambaikan tangan ke arahnya. Abinaya terkesiap. Detik itu juga ia kehilangan detak jantungnya. Ia kembali hidup setelah melihat senyum Cinta. Ya, gadis itu adalah Cinta, yang entah sejak kapan sudah ada di sana.
Secepat kilat Abinaya mengeluarkan sesuatu dari ranselnya dan berlari kecil keluar kamar. Ia mengembalikan ponsel Dani kepada pemiliknya sambil memaki sahabatnya itu.
“Dasar kunyuk, kenapa nggak bilang kalau Cinta udah datang?!”
Dani tak menyahuti, yang terdengar dari mereka hanyalah tawa karena merasa sukses telah mengerjai Abinaya.
Sesampainya di rumah Cinta, Abinaya mengetuk pintu rumah itu. Cinta membuka pintunya, dan Abinaya terdiam saat melihat wajah itu lagi dari dekat. Abinaya merasa terlalu sukar untuk memercayai matanya. Apa yang ia lihat terlalu indah untuk ia percaya. Kedua matanya dan mata Cinta saling menemukan, dan ia terdiam mematung.
“Kok diam? Nggak pengen lanjut marah-marahnya?” goda Cinta pada Abinaya.
Abinaya terkekeh dan menunduk. Sejenak ia melirik Cinta dan bertolak pinggang. “Kapan datangnya?”
“Tadi sore pas kamu tidur. Tadi mobil travel yang ngantar aku mogok di tengah jalan, jadi terpaksa harus dibaikin dulu, makanya baru nyampe sore.”
“Terus, kenapa nggak bisa dihubungin?”
“Baterainya habis, Bin … mau nge-charge di mana kalau mogoknya di hutan?”
“Di sini.” Tunjuk Abinaya pada hidung Cinta.
Cinta menepis tangan itu dan menarik Abinaya masuk. Keduanya duduk di ruang tamu dan sekilas Abinaya menyisiri ruangan itu. tak ada yang berubah. Dari letak sofa, foto-foto yang tergantung di dinding, bahkan sampai warna catnya. Semua masih sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya.
“Aku ke sini cuma seminggu dua kali. Hari sabtu minggu doang buat kuliah. Selain dari itu, rumah ini kosong. Ibu nggak mau tinggal di sini sendirian, dan ibu juga nggak mau nyewain apalagi kalau sampai harus ngejual rumah ini.”
“Ya, bagus dong. Rumah ini banyak kenangannya. Kita berdua besar di sini. Kamu ingat kan waktu kita masih kecil. Ini. Kita sering main di ruang tamu ini.” Abinaya mengingatkan tentang masa lalu. Ia duduk merapat pada Cinta kemudian memberikan sesuatu yang sudah ditentengnya sejak tadi.
“Aku sampe lupa. Ini buat kamu.” Abinaya menyerahkan barang yang dibawanya pada Cinta. Dengan sangat penasaran, Cinta membuka kertas kado yang membungkus barang itu, dan keningnya terangkat saat melihat sketsa wajahnya yang dulu pernah dilukis Abinaya.
“Ini kan punyaku dulu?”
“Iya, tapi kan kamu balikin. Jadi, sekarang aku kasih lagi.”
Cinta tersenyum. Ia menatap manik mata Abinaya yang jernih.
“Jadi ini oleh-oleh buatku setelah lima setengah tahun di Jepang?”
Abinaya menggeleng. “Bukan ini, tapi yang ada di baliknya.”
Cinta bingung, dan ia membalik sketsa wajahnya yang berbingkai kaca pada keseluruhannya. Ternyata, di bagian belakang sketsa wajah terdapat dua lembar Daun Maple berwarna merah. Cinta terharu melihatnya. Abinaya benar-benar membuktikan ucapannya.
“Sengaja aku taruh di sini untuk menunjukkan kalau daun ini adalah milik gadis yang ada dalam lukisan ini. Dia cinta sejatiku.”
Cinta tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia terharu sekali. Pelan ia meletakkan bingkai itu di atas meja, kemudian memeluk Abinaya. Cinta menemukan aroma yang dulu pernah dihirupnya dari tubuh Abinaya. Aroma yang selalu menenangkan. Pelan, Cinta membisikkan sebuah kalimat.
“Terima kasih ya, Bin karena sudah menyayangiku sampai sekarang.”
“Aku juga makasih, karena kamu selalu bersedia menjadi tempat untuk aku pulang.”
Keduanya berpelukan lama. Abinaya merasa senang dan tenang. Orang yang disayanginya ada dalam dekapannya sekarang. Menjadi miliknya dan tak akan ada lagi yang menghalanginya.
THE END
Alhamdulillah. Puji syukur, karena akhirnya cerita ini bisa sampai pada akhir. Cerita ini mungkin masih banyak kekurangan di sana-sini, dan jauh dari kata sempurna. Namun, semoga dapat memuaskan hati para pembacanya. saya sangat berterima kasih pada Novel Nusantara yang telah memberikan tempat untuk Maple. Juga pada seluruh pembaca yang sudah mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir.
Akhir kata, saya ucapkan dengan tulus dan sebesar-besarnya sebuah ungkapan terima kasih tak terhingga buat semua pembaca, teman-teman penulis, dan admin Novel Nusantara. Semoga saya bisa terus berkarya bersama kalian.