BAB 9
LETICIA LEE
“Kau nenek buyut-buyutku,” ujar Dom setengah kagum.
Letty mengangguk membenarkan. “Halo, Dom.”
Yang dipanggil sendiri masih belum bisa berkata-kata lebih jauh lagi. Ia terlalu terpana. Kenyataan bahwa ia bisa bertemu dengan seseorang yang terpisah hampir satu abad usianya terasa begitu sulit dipercaya—jauh lebih sulit dari memancing bersama kakek yang sudah meninggal, atau mendengar keberadaan kakak perempuan yang belum pernah ia ketahui dimilikinya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Letty dengan nada khawatir. Sepertinya ia menangkap gelagat aneh Dom.
Anak laki-laki itu kembali berpendapat bahwa ia tengah bermimpi. Mungkin Dom saat ini sebenarnya sedang tidur siang di pangkal sebatang pohon, karena kelelahan setelah berjalan berputar-putar di hutan selama setengah hingga satu jam.
Tapi aroma kue yang ia hirup begitu nyata. Juga kursi yang didudukinya. Juga meja tempat ia melipat kedua tangannya, dapur tempat ia berada sekarang, radio yang masih menyiarkan lagu-lagu lama, serta kehadiran Letty dan suara lembut wanita tua itu.
Semuanya terasa begitu nyata, sehingga akan sangat menyakitkan jika itu semua tak lebih dari mimpi.
“Nak, kau baik-baik saja?” tanya Letty lagi.
Dom memaksakan seulas senyum. “Ya. Cuma terkejut.”
Letty membalas senyumnya. “Sepertinya painya sudah siap. Ambilkan pisau di konter sana itu, Nak, dan potong menjadi delapan bagian. Kau tahu caranya? Aku akan mencuci tangan dulu.”
Dom patuh. Ia bangkit berdiri, mengambil pisau yang dimaksud, lalu dengan hati-hati memotong pai seperti yang selalu ditunjukkan oleh kakeknya.
“Benar begitu,” komentar Letty. “Nah, nah, siapa yang mengajarimu? Potonganmu bagus.”
“Pop,” jawab Dom bangga. “Maksudku, Anton. Aku memanggilnya Pop. Dia yang mengajariku.”
“Pop? Itu panggilan Anton untuk suamiku.”
Dom tidak tahu harus merespon apa lagi selain tersenyum lebar.
“Sekarang tolong ambilkan piring-piring dari rak di sana, Nak. Punggungku sudah tidak bisa lagi dipakai membungkuk,” lanjut Letty.
Dom sekali lagi patuh. Dia mengambil dua buah piring berukiran menarik dari rak rendah di sebelah konter, lalu membawa piring-piring itu kepada Letty. Setiap piring kemudian diisi dengan sepotong pai oleh Letty. Satu piring diserahkan kepada Dom, dan satu untuk wanita tua itu. Mereka kemudian duduk saling berhadapan sambil makan pai.
“Bagaimana dia dulu?” tanya Dom tiba-tiba. “Po—uh, maksudku Anton.”
“Dia anak manis,” jawab Letty. “Dunia sedikit tidak adil padanya, tapi dia anak yang kuat. Aku selalu mengatakan itu padanya—pada semua orang yang melihat Anton lemah dan menganggap dia pantas diperlakukan semena-mena.”
Dom berhenti mengunyah. “Semena-mena?” tanyanya dengan mulut setengah penuh dan kening mengernyit.
Letty memberikan tatapan menegur.
“Maaf,” sahut Dom lagi, lalu buru-buru menelan makanan yang ada di mulutnya. “Kenapa dia diperlakukan semena-mena?”
Kali ini giliran Letty yang memperlambat kecepatan mengunyahnya. Ia menaruh garpunya ke atas piring, seolah tidak tertarik lagi untuk menghabiskan pai di sana.
(Rasa pai itu memang luar biasa enak, ngomong-ngomong—Dom bahkan sudah menghabiskan setengah porsinya saat ini, dan berharap bisa mendapat porsi kedua. Ia makan dengan cepat sekali.)
“Seperti yang kubilang,” ujar Letty kemudian, “Dunia sedikit tidak adil padanya. Dia bukan anak kesayangan semua orang, Anton kecilku. Tapi aku menyayanginya lebih dari apa pun. Aku selalu meyakinkan dia akan hal itu. Dia memerlukannya, Nak. Dia memerlukan seseorang mengatakan itu padanya.”
“Dan aku yakin dia percaya,” sahut Dom, setelah menelan suapan terakhirnya. “Po—uh—Anton sangat menyayangimu. Dia banyak bercerita soal pai-pai buatanmu. Dia bahkan pernah bilang, alasannya menikah dengan Nana adalah karena Nana bisa membuat pai hampir sama baiknya dengan dirimu.” Usai berkata begitu, anak laki-laki itu kembali menjejalkan lebih banyak pai ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan bersemangat.
“Nana?” tanya Letty.
“Nenekku.”
“Oh. Maksudmu Bella. Bagaimana kabar dia, ngomong-ngomong? Kami tidak sempat bertemu dengannya—aku dan suamiku. Bella datang ke kehidupan Anton setelah kami berdua tidak ada. Sangat disayangkan. Dia sepertinya gadis yang menarik.”
Dom merasa aneh mendengar neneknya disebut ‘gadis’, jadi dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan menghabiskan suapan terakhir painya, kemudian meletakkan garpunya ke atas piring seperti yang dilakukan Letty.
“Kau tampak lapar sekali,” komentar wanita tua itu, tersenyum geli.
“Maaf,” ujar Dom malu-malu.
“Tidak, bukan. Anton dulu memiliki semangat makan sepertimu. Dia tidak pernah cukup makan dengan satu porsi pai. Kau mau tambah?”
Dom mengangguk bersemangat.
“Nah, ambil saja sendiri. Aku akan mengambilkan minum.”
Tidak perlu diperintah dua kali, Dom sudah kembali mengisi piringnya dengan porsi lain dari pai stroberi. Sambil makan ia menunggu Letty mengisi gelas-gelas dengan air, lalu menyerahkan salah satunya untuk Dom. Setelah wanita tua itu duduk kembali dan Dom mengosongkan kerongkongannya dengan beberapa teguk air, anak laki-laki itu bertanya lagi, “Soal Anton, kenapa dia diperlakukan begitu? Maksudku, aku juga bukan anak favorit semua orang, tapi...”
Dom tidak tahu bagaimana ia harus melanjutkan. Letty sendiri hanya tersenyum. Senyumnya sedih, membuat Dom jadi bertanya-tanya apa dia telah mengajukan pertanyaan yang salah.
“Katakan padaku, Nak, apa kau percaya tuhan?”
Pertanyaan balik ini membuat Dom terdiam sejenak.
“Sejujurnya? Aku... tidak tahu,” sahut anak itu akhirnya, dengan suara paling pelan dan paling ragu yang bisa dilakukannya.
“Orang tuamu tidak mengajarkanmu agama?”
Dom memikirkan Adrian dan meringis, lalu ia memikirkan Sarah, dan ringisannya berkurang sedikit. “Ibuku mengajariku. Sedikit. Tapi... entahlah. Aku tidak tahu percaya atau tidak.”
Letty memberinya tatapan tidak senang, tapi tidak berkata lebih jauh lagi. Wanita itu hanya menghela napas panjang.
“Kami cukup konservatif, aku dan suamiku. Dan aku memastikan untuk menurunkan hal tersebut pada putriku. Nah, Dom, kau harus tahu, mengajarkan sesuatu kepada anak yang senang memberontak bukanlah sesuatu yang mudah. Memastikan agar putriku tidak melakukan kesalahan dalam hidupnya adalah hal yang sangat sulit. Tapi mungkin itu yang jadi kesalahan kami—memastikan dia tidak melakukan kesalahan apa pun sama sekali.”
Dom masih mendengarkan sambil melahap porsi kedua painya.
“Pada akhirnya putriku melakukan kesalahan, tentu saja. Pemuda itu adalah kesalahan. Boleh kubilang, kesalahan terbesarnya.”
“Pemuda?” tanya Dom dengan mulut penuh.
“Ayah dari kakekmu.”
Dom sekali lagi berhenti mengunyah. Dia menunjukkan ekspresi kebingungan yang amat kentara.
“Anton adalah anak haram, Dom. Dia lahir dari hubungan yang tidak sah.”
Sambil mengunyah perlahan, remaja enam belas tahun itu berusaha mencerna ucapan terakhir Letty.
“Jadi maksudmu... Pop adalah kesalahan?” tanyanya kemudian, setelah minum beberapa teguk air lagi untuk membantu menelan makanan dalam mulutnya. “Berarti aku adalah kesalahan?”
Letty diam saja. Dom tiba-tiba kehilangan minat pada painya. Dia sekali lagi meletakkan garpu ke atas piring, berhenti makan.
“Itu tidak adil,” protesnya kemudian. “Pop tidak salah apa-apa. Dia bukan kesalahan! Dan orang-orang memperlakukannya semena-mena karena itu? Persetan dengan mereka. Pop orang terhebat yang pernah kukenal, dan yang kau ucapkan tadi tidak berarti apa-apa.”
Letty tersenyum sedih. “Aku setuju denganmu, Nak. Anton bukan kesalahan. Tapi dia lahir dari kesalahan, dan sayangnya hanya itu yang bisa dilihat semua orang, termasuk ibunya sendiri, serta ayah tirinya.”
Dom tersenyum hambar. “Yah, seperti yang kubilang—persetan mereka.”
“Nah, Nak, aku mengizinkanmu mengucapkan kata kasar itu sekali di dapur ini, karena aku tahu kau perlu mengeluarkannya,” Letty mengernyit tidak senang. “Tapi aku tidak bisa membiarkanmu mengucapkan kata itu terus-menerus. Sekali lagi kau berbicara begitu, aku akan memintamu untuk pergi.”
Karena Dom merasa tidak perlu meminta maaf, jadi dia tidak melakukannya. Tapi dia juga tidak mengatakan apa-apa lagi. Setelah beberapa detik berlalu dalam keheningan, Letty kembali berbicara.
“Putriku memperlakukan Anton berbeda dari Natasha, adiknya, yang lahir dalam pernikahan yang sah. Aku tidak bisa membiarkan cucu laki-lakiku tumbuh dalam situasi seperti itu—seperti yang kubilang, aku mungkin penyebab putriku melakukan kesalahan yang dilakukannya—jadi aku menerima Anton ke dalam perlindunganku, berpikir itu sebagai jalan untuk menebus kesalahanku sendiri.”
“Aku tidak mengerti,” ujar Dom akhirnya. “Bagaimana ini bisa jadi kesalahanmu? Putrimu yang tidak bisa bertanggung jawab! Dan pemuda itu!”
Letty sekali lagi tersenyum sedih. “Habiskan paimu, Nak,” ujarnya, sementara dia sendiri kembali menyuap sepotong pai ke dalam mulutnya.
Mereka makan dalam diam selama beberapa saat, hingga kemudian wanita tua itu melanjutkan, “Kau pernah menonton pacuan kuda? Atau menunggangi kuda?”
Dom mengunyah dan menggeleng.
“Aku pernah. Sewaktu kecil dulu, aku amat menyukai kuda. Ayahku mengajariku bagaimana menungganginya. Satu hal yang kupelajari dari menunggangi kuda adalah, semakin keras kau menarik tali kekangmu, semakin kuda itu ingin memberontak menjatuhkanmu.”
Dom menelan. Raut wajahnya kembali menunjukkan rasa bingung.
“Aku terlalu keras menarik tali kekangku. Terlalu keras mengatur putriku. Aku bisa melihatnya sekarang, setelah aku menyaksikan sendiri bagaimana cara dia memperlakukan Anton. Tapi pada saat itu sudah terlambat. Aku tidak bisa lagi mengubah yang sudah terjadi, tapi aku masih bisa menyelamatkan cucuku dari perlakuan tidak adil orang tuanya. Jadi itu yang kulakukan.”
Dom kini telah kembali menghabiskan painya. Dia sekarang sudah kenyang, dan dengan perut kenyang, emosinya yang tadi sempat mereda mulai surut. Ditelannya air dalam gelas sampai habis. Letty sendiri juga menghabiskan pai di piringnya.
“Soal pemuda itu,” sahut Dom kemudian, sambil mengelap tangannya menggunakan punggung tangan, “ayah kandung Pop. Apa yang terjadi padanya?”
Letty menggeleng. “Tidak ada yang tahu. Terakhir kudengar dia ditahan polisi karena tertangkap basah merampok sebuah toko. Setelah itu, aku tidak pernah mendengar berita tentang dia lagi. Putriku juga tidak—dia tidak mau mendengar apa pun tentang pemuda itu lagi setelah ditinggalkan begitu saja dengan perut mengandung.”
Hebat, pikir Dom kemudian dengan masam, aku keturunan kriminal dan anak haram—pantas saja Adrian menghabiskan hari-harinya dengan minum-minum sampai lupa diri.
“Memang bukan orang baik, pemuda itu. Putriku sering pergi bersamanya hanya untuk membuatku kesal,” sambung Letty, masih tersenyum sedih. “Kau sudah selesai dengan piringmu?”
Dom mengangguk dan menyerahkan piring serta gelas kosongnya kepada Letty, yang membawa semuanya ke bak cuci piring. Siaran lagu di radio sudah berhenti, hanya suara statis yang kini terdengar. Dom mematikannya, lalu pamit pada Letty untuk pulang. Wanita tua itu memberikan Dom sebuah pelukan yang sangat erat, yang mengingatkan Dom pada cara Nana memeluknya ketika neneknya itu masih bisa berdiri.
Usai mengucapkan terima kasih atas pai terbaik yang pernah ia cicipi, Dom pun melangkah keluar pintu dapur, kembali berada di dalam kubah. Pintu di belakangnya tertutup sendiri dan, saat Dom mencoba membukanya kembali, pintu itu sudah terkunci.
Dom menghabiskan beberapa menit mengamati foto Letty di sebelah pintu, merenungkan semua yang telah diberitahukan wanita tua itu padanya tentang Anton. Dom teringat ucapan ayahnya di pemakaman—Dia tidak sebaik yang kau sangka! serta, Kau tidak tahu dia—dan dengan kesal menyetujui bahwa dia memang tidak mengenal Anton sebaik yang dikiranya.
Mungkin setelah ini Dom bisa mengobrol sebentar bersama neneknya. Mencari tahu lebih banyak tentang masa lalu Anton dan, kalau memungkinkan, mengorek informasi soal Rhea.
[SEBELUMNYA] – [DAFTAR ISI] – [SELANJUTNYA]