
Pagi Di Rumah Danang
Pagi itu Yuni tidak terlalu sibuk, kedua anaknya memang sudah cukup mandiri untuk mempersiapkan diri mereka masing-masing. Dinda yang terkenal manjapun sudah bisa mengatur dirinya sendiri tanpa bantuan ibundanya, kalau hal yang terkait dengan merawat diri Dinda cukup bisa diandalkan. Tugas Yuni pagi itu hanya membuat sarapan untuk kedua anaknya. Satu gelas susu putih, roti bakar dan beberapa selai berbagai macam rasa sudah tesedia di meja makan. Kedua buah hatinya memang tidak bisa makan berlebih di pagi hari sehingga Yuni tidak mau memaksakan perut mereka untuk diisi dengan makanan berat seperti nasi. Beda lagi kalau suami Yuni ada di rumah, Yuni akan berubah menjadi istri yang paling sibuk sedunia. Hampir semua hal yang dibutuhkan sang suami selalu ditanyakan kepadanya. Dari kaos kaki, kemeja, dasi sampai celana dalam. Selain itu suaminya selalu meminta menu-menu makanan aneh yang selalu membuatnya cukup repot di dapur, mungkin itulah yang membuat skill masak Yuni jadi seperti sekarang. Kini suaminya sedang bertugas di luar kota sehingga dia hanya perlu mengurus kedua anaknya saja. Yuni menyadari bahwa sosok suaminya sangat dibutuhkan di keluarganya apalagi bila terjadi kejadian seperti semalam, Danang pasti tidak akan berani melakukan hal yang aneh-aneh di depan papanya.
Dinda turun dari lantai dua menuju ruang makan, Yuni tampak sedang merapikan dapurnya yang sebenarnya terlihat sudah cukup rapi namun dia tidak biasa berdiam diri sepagi itu. Dinda langsung duduk di meja makan, rasanya mulutnya agak susah untuk terbuka lalu menyapa seperti biasanya, kejadian tadi malam masih membuat hatinya sedikit canggung. Dinda mengambil roti bakar lalu dia mengolesinya dengan selai kacang favoritnya. Sebenarnya agak malas bagi Dinda untuk mengunyah sepagi itu apalagi dengan suasana hati yang masih tidak menentu.
“Kakakmu belum berangkat?” tanya Yuni yang ternyata sudah menyadari kehadiran anaknya.
“Kayaknya belum Bunda,” Jawab Dinda setelah menelan semua roti yang memenuhi mulutnya.
“Tumben kakakmu belum keluar dari kamarnya,” kata Yuni sedikit basa-basi karena jelas-jelas Yuni tahu bahwa kejadian tadi malam akan membuat tingkah anaknya berbeda.
Baru saja dibicirakan suara langkah kaki Danang yang turun dari lantai dua sudah terdengar, namun Danang tidak nampak berbelok menuju dapur namun dia langsung bergegas menuju pintu depan. “Danang berangkat Bun,” kata Danang seraya pergi begitu saja. Yuni lalu mendekati anaknya yang masih sibuk memasang kaos kakinya.sambil duduk di sofa ruang tamu.
“Kamu tidak sarapan dulu?” tanya Yuni, Wajah Danang terlihat datar tanpa ekspresi. Tidak terlihat senang, tidak juga terlihat marah.
“Danang enggak laper Bun,” jawab Danang datar.
“Apa kamu tidak mau bicara dengan Bunda tentang masalah kemarin?” tanya Yuni seraya duduk tepat di samping Danang yang sudah hampir selesai memakai kaos kakinya.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Bun” jawab Danang menegakkan badannya. Danang melirik bundanya dengan tatapan kosong namun Yuni tetap bisa melihat beban di mata anaknya.
“Banyak yang harus kita bicarakan Nang, salah satunya tentang kamu yang suka dengan Mona, padahal dia sudah punya pacar,” cecar Yuni tanpa basa-basi. Yuni berharap, dengan berbicara langsung menuju topik permasalahan akan membuat anaknya lebih terbuka kepada dirinya.
“Itu masalah pribadi aku Bun, tidak semua hal harus aku bicarakan ke bunda,” jawab Danang dengan nada yang mulai terdengar kesal. Tatapan pemuda itupun mulai berubah. Mendengar kakaknya yang terdengar sedikit emosi Dinda yang tadinya berada di ruang makan langsung melangkah menuju ruang tamu namun dia hanya berdiri di dekat sofa yang agak jauh dari kakak dan ibundanya.
“Bagaimana kalau kita membahas tentang kamu yang membuat tangan adikmu memar dan meneriakinya dengan keras?” tanya Yuni kembali, dia terus mencerca anaknya dengan kesalahan yang dibuatnya.
“Kamu mengadu?” ucap Danang penuh kekesalan, matanya dengan tajam memandang adiknya yang dari tadi telihat agak ketakutan.
“Jangan salahkan adikmu. Bunda yang memaksa adikmu bicara, karena bunda melihat beberapa kali adikmu mencoba menyembunyikan lengannya di depan bunda. Tangan adikmu sampai memar oleh sikap kasarmu,” kata Yuni. Suara Yuni terdengar bergetar saat membicarkan luka Dinda yang disebabkan oleh kakaknya sendiri. Danang bisa mendengar kekecewaan dari nada bicara ibundanya sehingga dia memilih untuk tidak memperpanjang masalah.
“Aku minta maaf, aku tidak sengaja,” jawab Danang seraya mamandang adiknya walau wajah penyesalan tidak tampak pada wajah pemuda itu.
“Tidak bisa hanya dibicarakan seperti ini sayang, Tidak Bisa,” protes Yuni. Kekerasan yang dilakukan anaknya tidak bisa ditolelir begitu saja hanya dengan ungkapan maaf yang tidak tulus.
“Lalu harus gimana lagi bunda? Aku ga bisa mengulang kejadian itu dan merubahnya!” bentak Danang yang entah kenapa langsung tersulut emosi hanya dengan sedikit tekanan dari ibundanya. Yuni menarik nafas lalu melepasnya pelan agar dia bisa berfikir lebih jernih.
“Ya sayang, kata-katamu memang benar, yang terjadi memang tidak bisa diualang, tapi kamu harus tahu bagaimana takutnya adikmu saat melihatmu sekarang. Kamu harus tahu bagaimana sedihnya adikmu kerena ulahmu kemarin,” ucap Yuni. Dinda yang tadinya berdiri kini melangkah mendekati ibundanyaa lalu duduk disampingnya, posisi itu sangat pas untuk menghindari kontak mata langsung dengan kakaknya.
“Tapi dia juga salah,” ketus Danang sambil memalingkan muka, wajah marahnya tidak mau dia tunjukkan di depan ibunya.
“Bunda tahu kamu kecewa, bunda juga tidak membenarkan perbuatan yang dilakukan adikmu. Dia salah tapi tindakanmu tidak bisa dibenarkan Nang. Sikapmu sudah sangat keterlaluan,” tekan Yuni, namun reaksi Danang masih tidak berubah dia masih tidak terima dengan kata-kata ibundanya.
Danang lalu menatap kearah Yuni, dengan wajah yang memerah dia langsung mendebat ucapan ibunya, “Dia sudah merusak semuanya Bunda, dia sudah merusak citra aku di depan Mona, wajar aku kesal kepada dia!” kata Danang dengan nafas tidak teratur. Yuni tersenyum dan menatap anaknya dengan teduh
“Bukan adikmu sayang, tapi kamu sendiri yang merusak cintramu sendiri. Ketidakdewasaanmu itu yang merusak semuanya,” kata Yuni pelan namun langsung menusuk kehati siapapun yang mendengarnya.
“Semua tidak akan erjadi, Kalau dia tidak membuat acara makan-makan itu. Yopa tidak akan sok di depan aku. Apalagi sok baik di depan Bunda, dia mempermainkanku di dalam rumahku sendiri!” suara Danang masih keras. Nada Danang sudah tidak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara dengan ibunya. Yuni menahan kesedihannya, dia harus tampak tenang di depan Danang.
“Sayang, ini bukan masalah Yopa ataupun Mona tapi ini adalah masalah kamu sendiri” Yuni terus menekankan kata-kata itu kepada Danang agar Danang tidak membenarkan kesalahannya dengan mancari kesalahan orang lain.
Danang berdiri dari duduknya, pemuda itu sudah tidak tahan dengan pembelaan ibunya kepada Yopa, “Kenapa semua orang sekarang menyerangku? Semua orang berpihak kepada Yopa bahkan keluargaku sendiri,” teriak Danang, kini selain amarah nampak raut kesedihan d iwajah pemuda itu.
“Sekali lagi ibu bilang, ini semua bukan masalah Yopa tapi ini masalah kedewasaanmu. Bertindak kasar kepada adikmu, membentak bunda di depan teman-temanmu. Ini sudah ketelaluan Nang? Apa yang kamu cari? Apa semua itu membuat kamu senang? Mencintai seseorang dan membenci keluargamu?” kata Yuni. Intonasi Yuni sudah tidak selembut tadi, nada bicara Yuni sedikit meninggi.
Danang masih tidak mau kalah, “Apa salahnya aku mencintai seseorang Bunda, aku hanya berjuang dengan cintaku. Itu saja, semua yang terjadi ini ada akarnya, ada sebabnya dan Danang tidak akan bertindak keras kalau tidak ada yang membuat masalah duluan dengan Danang,” Danang terus membenarkan apa yang dia lakukan, tidak nampak penyesalan sedikitpun.
“Bagaimana mungkin cintamu terbalas kalau kamu sendiri tidak bisa membalas cinta dari orang-orang yang mencintaimu, Cinta dari bunda, Cinta dari adikmu,” kata Yuni. Mata seorang ibu itu kini tampak berkaca-kaca, dia tidak menyangka Danang manjadi sosok yang sekeras itu.
Danang terpaku, mulutnya ingin langsung melawan argumen ibunya namun otaknya tidak memberikan satu patah katapun untuk dia bicarakan. Pemuda itu lalu langsung berpaling pergi.
“Danang berangkat,” kata Danang pergi meninggalkan masalah baru. Dinda langsung berdiri lalu berteriak dengan keras, “Aku benci kakak! Aku tidak butuh seoarang kakak lagi!” Danang sempat menghentikan langkahnya namun berapa saat kemudian Danang langsung berlalu.
Air mata Yuni jatuh, keluarganya selama ini memang terlihat tanpa masalah namun ketidakterbukaan dari anaknya tentu bagai bom waktu yang sewaktu waktu bisa meledak dan kini mungkin adalah salah satu efeknya. Danang yang cenderung pendiam, Dinda yang terlihat manja pasti menyembunyikan banyak hal yang seharunsya dia tahu sebagai seorang ibu.
****
Yopa masih was-was dengan apa yang terjad tadi malam. Walau dia dan Mona sudah seling terbuka masalah Danang namun sebagai lelaki dia tetap khawatir dengan Mona. Dia tidak ingin kehilangan kekasihnya itu, sehingga pagi itu dia mencoba kembali lebih perhatian kepada Mona.
“Makasih udah nganter aku sayang,” kata Mona saat Mona sudah turun dari motor Yopa yang dipakirkan di halaman gedung pascasarjana.
“Ya sama-sama. Belajar yang rajin ya, jangan ngerumpi aja sama Mbak Heni,” canda Yopa kepada Mona. Mona membalas candaan iu dengan senyum yang indah.
“Ya sayang. Kamu juga skripsinya segera dikerjakan ya, aku ingin melihat kamu wisuda,” kata Mona tulus, ucapan Mona tentu membuat hati Yopa sedikit sakit mengingat skripsinya sedang terpenjara dalam masalah yang tidak main-main.
“Pasti sayang,” jawab Yopa mencoba terlihat optimis di depan kekasihnya.
“Aku janji enggak akan bandel lagi, aku janji akan mencoba menghindari Danang. Aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama,” kata Mona mencoba membuat kekasihnya tidak khawatir kepada dirinya.
“Kamu tidak perlu seperti itu sayang, menghindari seseorang bukanlah sebuah solusi. Hadapi saja dan bersikap seperti biasa. Yang penting yang ada di dalam sini. Semua yang ada di dalam sini kalau bisa untuk aku.” Kata Yopa sambil menujuk Dada Mona. Yopa ingin hati Mona hanya untuknya.
“Selalu buat kamu sayang” jawab Mona senyum. Yopa membalas senyum kekasihnya.
“Kamu tidak sedang dalam masalahkan sayang?” tanya Mona. Entah kenapa hatinya menyuruhnya untuk bertanya seperti itu, ada sedikit kegelisahan yang tertanam di benak Mona.
“Kok kamu nanya begitu?” tanya Yopa pura-pura bingung.
“Aku juga enggak tahu, pertanyaan itu terlintas saja di fikiran aku,” jawab Mona jujur.
“Aku baik-baik saja kok sayang,” kata Yopa bohong.
“Nanti aku jemput,” lanjut Yopa.
“Aku sayang banget sama kamu,” ucap Mona tulus.