PoV Aska
“Aku tinggal ke depan dulu ya, Nek,” kataku setelah menyelimutinya dengan kain batik tipis yang selalu dipakainya tidur.
Ia hanya tersenyum sambil mengangguk. Lalu dengan gerakan tangannya mengusirku keluar dari kamarnya, menuju kursi-kursi di ruang tamu.
Gerimis turun perlahan dengan jutaan jarum-jarum air yang terlalu ringan untuk jatuh dengan lugas. Melayang tertiup angin, terhempas membasahi dedaunan dan jalanan dengan anggun. Membuatku hanya ingin merapatkan jaketku dan meringkuk berselimut di dalam rumah.
Masih bulan Oktober, tapi hujan sudah hadir dengan beringas di Batu. Membuat penghuninya beku. Membuat segalanya sendu.
Aku lupa memberitahu siapa pun bahwa hari ini aku tak bisa sekolah, harus mengurusi Nenek di Batu. Pagi tadi, tepat ketika aku mau berangkat, aku mendapat kabar dari Om Erwin. Tetangga sebelah menelponnya, mengabarkan bahwa Nenek baru saja jatuh di kamar mandi. Ia minta aku membawa Nenek ke dokter atau rumahsakit selagi ia masih belum bisa pulang ke Batu hingga beberapa minggu lagi.
Seandainya... ah, seandainya aku boleh melakukan itu.
Aku teringat pertama kali bisa melakukan hal-hal di luar nalar. Kelas lima SD, umurku belum genap sebelas. Di kelas, ada anak yang pernah dua tahun tidak naik kelas. Badannya jauh lebih besar dari yang lainnya. Ia tahu semua sudut-sudut sekolah, membuatnya merasa bagaikan raja. Setiap hari dia minta uang jajan kami.
Pernah pada suatu ketika dia minta uang jajanku. Aku tak pernah punya banyak uang. Ayah dan Ibu sudah tidak ada sejak aku balita, meninggal di kecelakaan kereta. Om Erwinlah yang harus membanting tulang untuk menghidupiku dan Nenek. Waktu itu Om Erwin masih muda, pekerjaannya juga belum tetap. Aku tidak mau memberikan uang jajanku yang sedikit karena aku mau menabungnya. Aku mau ketika kenaikan kelas nantinya aku bisa membantu Om Erwin membeli tas atau sepatu baru untukku.
Singkat cerita, aku menolak memberikannya uang jajanku. Ia lalu memukulku berulang-ulang, hingga aku kesakitan. Kemudian ia menendangku di perut, membuatku harus menahan perih hingga bel pulang berbunyi. Itu, dan rasa sakit hati karena uang jajanku akhirnya diambilnya juga.
Lalu ketika kelas sudah sepi, aku menghampirinya yang masih menunggu dijemput orangtuanya. Aku balik menendang perutnya dengan marah, dengan sekuat tenaga. Ia melayang jauh dan jatuh menabrak pot-pot tanaman di depan sekolah.
Persis seperti yang dilakukan Joel dan teman-temannya, jika yang dibilang Kei benar.
Ketika aku pulang dan menceritakan hal itu pada Om Erwin, dia marah besar. Hal pertama yang disuruhnya mengingat adalah bahwa manusia tak akan bahagia hidup tanpa berbagi dengan sesamanya. Hal kedua adalah bahwa dendam adalah racun terburuk yang bisa menggerogoti hati kita. Yang terakhir, dia menyuruhku untuk tidak pernah melakukan hal itu lagi: apa pun itu yang membuatku bisa menendang orang hingga terlempar bermeter-meter jauhnya.
Aku mengiyakannya karena Om Erwin selalu benar. Biarpun, jujur saja, aku tak paham sama sekali makna wejangan-wejangannya.
Setahun kemudian, aku tanpa sengaja mengiris jariku saat membantu Nenek di dapur memasak untuk sebuah acara selametan. Entah bagaimana, di tengah rasa sakit yang sangat, aku meniup-niup jariku yang berdarah-darah dan tiba-tiba luka itu lenyap begitu saja. Om Erwin yang waktu itu baru kembali ke dapur sehabis mencarikanku plester, obat merah, dan perban menatapku dengan ekspresi ketakutan di wajahnya.
Ia lalu kembali memintaku berjanji untuk tidak melakukan hal itu lagi. Hal ajaib yang tak wajar itu.
Waktu itu aku sempat protes karena aku bahkan tak berniat melakukannya. Om Erwin bilang nanti pelan-pelan aku akan tahu bagaimana cara mengendalikannya. Tapi ia memohon agar aku tak mencobanya lagi, meskipun aku sedang sendirian pun. Katanya, orang-orang jahat akan berusaha menangkapku kalau mereka tahu aku bisa melakukan itu.
Tentu, dia tidak tahu bahwa aku beberapa kali mencobanya setelah kejadian itu, sebelum akhirnya benar-benar berhenti karena merasa bersalah membohonginya. Om Erwin memohon, bukan memerintah, itu yang membuatku merasa harus mematuhinya.
Tapi seandainya saja aku berani melakukannya... aku tahu cara membuat Nenek sehat dengan cepat.
Aku melihat ke luar jendela dan menyaksikan jalanan yang mendadak nampak bergelombang tak rata, dengan rintik-rintik hujan yang arahnya menjadi berantakan tak seragam. Terdengar sebuah bunyi berisik seperti yang terdengar ketika kita memutar tuner untuk mencari-cari stasiun radio favorit.
Semua ini... sesuatu sedang terjadi.
Aku mendengar ponselku berbunyi di dalam tas yang kugeletekkan di atas meja. Dari salah satu anak di kelas, mungkin. Dari Kei, mungkin.
Aku mengambil ponselku dan membacanya. Seperti yang kuduga, sebuah pesan dari Kei.
Ka? Kemarin kita ada acara perpisahan Bu Nuna di sekolah?
Aku telah mengetik “Nggak, kan kemarin pulang pagi,” tapi mendadak menghapusnya. Aku terdiam sejenak. Untuk apa Kei menanyakan ini? Perpisahan Bu Nuna ketika orangnya ditemukan tak bernyawa pagi-pagi di sekolah? Biarpun Kei agak ngawur, tak mungkin ia membuat lelucon tentang kematian seseorang yang kami berdua sama-sama hormati.
Jangan-jangan itu terjadi lagi. Seseorang melakukannya lagi. Karena itulah sempat ada anomali yang barusan kulihat dengan mata kepalaku.
Iya, kenapa emang?
Akhirnya itulah yang aku kirimkan padanya. Sebuah kebohongan.
Tak sampai semenit kemudian, aku menerima balasan dari Kei.
Serius? Aku ga inget. Bukannya kemarin kita pulang pagi karena ada kabar Bu Nuna ditemukan ga sadar di kelasnya?
Sekali lagi, aku menuliskan sebuah kebohongan yang kuharap selaras. Aku cukup terlatih soal ini.
Nggak, bukannya Bu Nuna pindah? Anak-anak datang ke acara perpisahan semua?
Kali ini butuh waktu lima menit hingga Kei menjawab pertanyaanku. Aku sempat melirik jam. Sudah waktunya kelas pertama dimulai. Jangan-jangan ponselnya disita karena ia memakainya waktu pelajaran.
Tapi kemudian, ia membalas.
Iya, semua, padahal kemarin aku inget pulang sama Toni. Tapi katanya aku kemarin juga di aula? Aneh bangettt.
Jawaban itu membuatku melemparkan ponselku di kursi. Mustahil. Jadi ini terjadi juga pada Kei. Ia mulai mengalaminya. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku harus segera bertemu Om Erwin untuk mendiskusikan ini.
“Aska?” suara Nenek terdengar dari kamar.
Aku menghampirinya. Ia tengah terduduk di ujung ranjang, bersandar pada dipan. Aku hampir memarahinya karena seharusnya dia berbaring dulu. Tapi senyumnya menunjukkan bahwa dirinya kuat, bukan hanya sekedar pura-pura kuat.
“Nenek sudah sehat ini Le, sudah mau lari-lari lagi ini rasanya,” ia terkekeh sambil menatapku lembut. “Udah, kamu pulang aja sekarang. Hari ini bolos sekolah, toh?”
“Tapi, Nek...” aku membantah.
“Sudah, Ka. Wong Nenek sudah sehat gini, nanti kasih tau Bu Dewi aja kalo kamu pulang, biar nanti dia sama anaknya yang ngurusin Nenek,” ada yang memaksa di senyumnya yang halus. Sesuatu yang tegas dan tak bisa dibantah. “Eman-eman itu sekolahmu, Le. Dapat beasiswa kok ya nggak niat. Daripada kamu nungguin Nenek di sini, mendingan kamu ngecengin cewek di sekolahmu. Masa kamu seleranya keriput kaya Nenek ini.”
Aku tak bisa menolak tertawa mendengarnya, tak bisa menyangkal bahwa ia akan baik-baik saja. Aku ikut duduk di ranjang dan memeluknya.
Aku tak pernah benar-benar ingat orangtuaku, tapi aku menyayangi perempuan tua ini habis-habisan.
“Makasih ya, Nek,” ujarku sambil tersenyum.
Pertama kali aku sadar bahwa seseorang – atau sesuatu – mengubah realita dan tak ada orang yang menyadarinya, aku panik dan memberitahu Om Erwin sambil menjerit-jerit. Kelas 1 SMP, beberapa bulan sejak kejadian penyembuhan luka iris itu. Aku yang bersekolah di Surabaya menelpon Om Erwin yang waktu itu di Batu. Panik. Merasa gila.
Om Erwin bilang jika itu terjadi lagi, aku harus diam, pura-pura tak menyadarinya, pura-pura ingat apa yang orang lain ingat.
Ia meyakinkanku bahwa ia tahu aku tidak bohong atau gila. Tapi ia juga bilang bahwa jika aku tidak berpura-pura, akan terjadi sesuatu yang sangat buruk padaku.
Karena katanya, dunia tidak menyukai orang-orang yang berbeda.
Hal pertama yang menjadi pertanda bahwa segalanya berubah adalah deja vu. Setidaknya, begitulah menurut pengalamanku.
Beberapa minggu sebelum aku memberikan tendangan super pada si tukang bully di kelas lima, aku sering mengalami deja vu. Aku sempat menceritakannya pada Nenek dan Om Erwin. Menurut Nenek, hal itu terjadi karena ada bagian-bagian dari kehidupan yang pernah kutangkap oleh pancaindera, namun tak sempat sepenuhnya terproses oleh otak. Tapi ketika Om Erwin mendengarnya, ia hanya diam. Ekspresi wajahnya berubah gelap. Waktu itu aku sempat berpikir dia marah, tapi aku sadar aku tak melakukan apa pun yang bisa menyulut emosinya.
Ketika itu terjadi untuk kesekian kalinya, Om Erwin mulai menanyaiku macam-macam. Kapan aku mengalaminya? Apakah aku yakin itu seperti deja vu ataukah aku mendapat semacam penglihatan di mimpi? Apakah aku merasakan keanehan lain? Anehnya setelah ia menanyaiku macam-macam, ia hanya memberi tahuku bahwa semua itu hanya perasaanku saja dan aku harus melupakannya.
Tepat seperti apa yang kusampaikan pada Kei. Jadi aku sebenarnya sadar, betapa menyebalkannya mendengarkan hal itu.
Aku hanya tak tahu apa lagi yang harus kukatakan padanya. Jika ini semua berujung ke jalan yang sama dengan yang terjadi padaku... mungkin seumur hidupnya, Kei harus bersembunyi.
Seperti mamanya.
Ini semua terjadi sejak hari ia tertabrak, tiba-tiba aku tersadar. Jika cerita Kei semuanya benar, Joel dan kemungkinan, kedua teman dekatnya, juga mengalami hal yang sama denganku. Dan entah karena apa, interaksi mereka mengakibatkan Kei menjadi seperti kami juga.
Hujan mendadak turun lagi. Begitu saja deras. Padahal baru sejam yang lalu gerimis berhenti. Padahal aku sedang menunggu angkot pulang ke Malang. Dan aku lupa membawa payung atau jas hujan.
Dengan segera aku berlari menuju sebuah minimarket yang berada tak jauh dari tempatku menunggu angkot. Dua orang yang juga sedang berada di pinggir jalan juga melakukan hal tersebut.
Hujan mengguyur semakin deras dalam dua menit aku menunggu di teras minimarket itu. Sementara angkot yang kutunggu belum juga lewat. Aku memutuskan untuk mencari minuman panas di dalam.
“Selamat datang,” sapa sang pramuniaga sambil tersenyum, “selamat belanja.”
Sebuah gerakan robotik yang membuatku ingin tertawa geli. Selalu. Setiap saat. Penjaga minimarket mungkin adalah contoh paling ikonik epitome betapa seragamnya dunia. Kurasa mereka semua adalah parodi. Aku yakin, pembuat konsep minimarket franchise seperti ini pasti melakukannya sebagai humor gelap atas observasinya terhadap dunia yang sama, yang selama ini membuatku resah.
Aku hanya tersenyum sekilas dan segera mencari tempat dispenser minuman panas self-service. Aku menemukannya dan segera memilih kopi susu yang rasanya cocok dengan lidahku.
Saat itulah aku menyaksikan sebuah figur yang menurutku familiar. Dari belakang, rambut panjangnya yang lurus dan berkilau kemerahan jatuh di punggung tubuh yang masih terbalut seragam sekolah. Dan tubuhnya begitu indah sempurna,
Gadis itu sedang memunggungiku, ia menghadap rak berisi batang-batang cokelat. Sekilas, terlihat ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu kepalanya mendongak ke sebuah sudut di atasnya. Kemudian, dengan gerakan cepat dan profesional, ia memasukkan beberapa batang cokelat ke dalam tas yang ditentengnya di bahunya.
Dan ia meninggalkan tempat itu begitu saja, setelah menyambar satu bungkus snack acak dari rak yang dilewatinya dan membayarnya di kasir. Melangkah dengan anggun, dengan tanpa rasa takut atau bersalah.
Gadis luar biasa dari kelas dua. Nicka.