Anak ini cerewet sekali sih," Imai berkata sambil menunjukku—aku duduk bersandar di tembok, ada di sebelah Akito yang ditodong pistol perak oleh Peter. Mendadak aku menggigil. Seluruh tubuhku begetar ngeri. Meski aku memeluk kedua lututku erat-erat, rasa dingin itu tidak mau pergi. Ini bukan soal cuaca.
"Siapa dia? Kau yakin kenal orang tuanya?" kali ini Imai bertanya pada Pemilik Rental yang masih meringkuk di sudut ruangan.
Orang tua itu mengangguk takut,
"Yaaa, aku kenal mereka. Ayahnya sudah meninggal, dia hidup dengan Ibu dan adiknya..."
Aku melotot. Atas ijin siapa orang tua itu membeberkan kondisi rumahku!?
"Kau bilang dia dan adiknya sering ke sini? Kapan? Apa saat matahari masih ada? "
Pemilik berpikir sebentar. Bersama dia, aku ikut berpikir. Terakhir kali aku mampir ke sini bersama Kouta sudah lama sekali. Kami tidak lagi sering menyewa atau membeli DVD untuk menonton film.
"Tidak, dia datang setiap kali sore..."
"Itu karena aku dan Kouta cuma punya waktu luang berdua di sore hari!" bentakku marah.
Imai mengerutkan kening. Matanya tertuju pada Akito. "Mencurigakan. Dia juga patut dicurigai. Aku tadinya sempat takut kita menghajar orang yang salah, tapi karena kesaksiannya datang dari orang yang juga meragukan seperti dia, aku jadi percaya diri lagi."
Peter menengok pada rekannya dan memberi gelengan pelan,"Kita tidak salah, Imai-san."
"Ya, lagipula kita pernah memergokinya berkeliaran di sekitar rumah vampir itu. Dia memang mencurigakan."
Aku menatap mereka semua dengan raut wajah terluka."Aku jujur! Aku mengatakan yang sebenarnya! Kalian ini kenapa!? Kebanyakan nonton film ya!?"
"Diam sedikit." Peter memalingkan wajah padaku, memberi ancaman dengan wajah bercodetnya yang menyeramkan. Airmataku kembali mengalir hangat dan aku mulai terisak.
"Tenang saja," bisik Akito sambil menggerakkan kepalanya sedikit."Kita bukan vampir, kita pasti aman."
"Hooo, jantan juga kau, nii-chan." Peter menoyor pelipis Akito dengan moncong pistolnya.
Tentu saja aku jadi melotot ketakutan, tapi kata-kata Akito barusan sedikit memberi kekuatan bagiku. Ya, aku bukan vampir. Fakta itu membuatku mampu sedikit tersenyum. Aku tidak akan diapa-apakan. Aku cuma tinggal menunggu sampai besok pagi, lalu semuanya usai.
Senyumku membeku. Aku bukan vampir. Akito juga bukan.
Tapi Akito sudah dihajar sampai babak belur. Siapa jamin mereka tidak akan ngamuk begitu tahu tebakan mereka salah? Siapa tahu mereka justru ingin melenyapkan kami supaya tidak dilaporkan ke polisi?
Seketika aku kembali menyesali ancaman-ancaman bodoh yang kukeluarkan tadi.
Tidak ada jaminan. Aku terjebak dalam situasi tanpa jaminan bersama orang-orang gila.
"Aku tidak ingat pernah bertemu kalian! Aku bahkan tidak tahu di mana rumah Nakamura-kun!" seruku mulai frustasi. Kepalaku terasa penuh. Mulai dari segala penyakit amnesia partial dadakan, lalu ada kumpulan orang aneh ini. Sebenarnya ke dunia mana aku terdampar?
"Diam, Non, jangan membuat tetangga bangun." Peter mengancam,
"atau aku akan terpaksa menyumpal mulutmu."
Aku terisak,
"Kenapa kalian melakukan ini? Paman! Paman kenal aku, kan? Aku sering lewat sini dan Paman selalu membalas salamku!"
Paman Pemilik gemetar di cangkangnya, cepat-cepat menggeleng ketika dua pria aneh itu menoleh padanya untuk mengkonfirmasi. Dasar bekicot pengecut.
"Tenang, Chiaki-san...," bisik Akito pelan, "kita pasti bisa keluar dari sini."
"Dia mungkin bisa, nak," Imai menukas marah, "tapi kau tidak akan bisa! Kau pikir kami lupa siapa yang membunuh rekan kami!? Kau meledakkan kepalanya di gang itu!"
Aku terkesiap kaget.
Kepala yang meledak? Rasanya aku merasa familiar dengan itu—malah, aku merasa bisa melihatnya dengan jelas seolah pernah menyaksikan langsung. Dalam kepalaku terbayang Akito yang menunduk dengan tatapan dingin, tangannya turun ke bawah, tepat pada sudut 45 derajat, melepaskan tembakan tanpa suara pada laki-laki besar berotot yang terduduk lemas di tanah. Aku bisa mencium bau mesiunya, bau darah dan organ tubuh yang berceceran. Aku bisa melihat serpihan tulang tengkoraknya kemana-mana. Tiba-tiba aku merasa mual. Lambungku bergejolak.
Aku menutup mulut untuk menahan muntah. Akito masih terlihat tenang di sampingku, menatap penuduh tanpa terlihat gentar.
"Itu bohong." Lagi-lagi dia menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang sedikit miring—jelas karena bibirnya robek.
"Lihat saja sampai berapa jauh kau bisa pertahankan kebohonganmu!" Peter menukas, ia memainkan pistolnya dengan lincah seperti koboy beratraksi. Mungkin maksudnya mengintimidasi Akito, tapi lelaki itu tidak kelihatan takut sama sekali.
Aku menarik napas pelan-pelan, memejamkan mata, berusaha menganggap semuanya hanya mimpi.
"Chiaki-san, aku butuh bantuanmu."
Aku membuka mata, terbelalak. Akito ada di sampingku, masih diawasi dengan ketat oleh Peter. Imai juga mengawasi kami dari jauh, mata sipitnya terlihat setajam elang.
Aku menggaruk pipi dengan heran. Rasanya tadi seperti mendengar Akito bicara. Tapi tidak mungkin lelaki itu bisa bicara tanpa membuat dirinya jadi sasaran pukul Peter. Jadi aku kembali memejamkan mata.
"Chiaki-san, tetap pejamkan matamu."
Ya, itu memang suara Akito. Dan aku membuka mata, menatap ke samping dengan heran. Keadaan masih sama, semua orang menunggu pagi dengan tegang. Akito tidak terlihat seperti barusan mengajakku bicara. Jam dinding yang menempel di atas pintu masuk menunjukkan pukul satu pagi. Aku mendesah lelah, sekali lagi memejamkan mata.
"Tolong buka simpul taliku," suara Akito muncul lagi. Dingin dan sejuk, seperti bicara langsung dalam kepala. Kali ini aku tidak mau repot membuka mata. Biarkan saja Akito dalam kepalaku menyelesaikan dulu apa yang mau dia katakan.
"Tanganmu tidak terikat, jadi lebih mudah. Sambil jatuh tadi aku sudah mengendurkan simpul utamanya, tapi aku butuh bantuan untuk menarik lepas simpulan awal."
Aku membuka mata, menoleh pada Akito dengan heran. Apa dia yang bicara tadi? Bagaimana dia bisa bicara tanpa membuat Peter marah atau curiga? Apa aku terlalu lelah dan mulai membayangkan yang tidak-tidak?
Akito menoleh sedikit, bola matanya tertimpa sinar lampu, memancarkan sedikit kilatan lembut—dan aku tahu bahwa itu tadi bukan khayalan. Entah bagaimana Akito memang bisa bicara tanpa didengar oleh Peter yang masih bermain pistol di dekatnya.
Lewat pandangan matanya, Akito mengirim sinyal yang mengatakan, "Lakukan sekarang." Tapi aku balas menatapnya dengan bola mata membuka lebar, berusaha mengirim sinyal, "Aku juga diawasi!"
Apa dia pikir gampang buatku untuk mendekat padanya, menyelipkan tangan ke balik punggungnya lalu melepas simpul entah yang mana? Asal tahu saja, meski kami duduk berjajar, tapi jarak antara kami ada 50 cm lebarnya.
Akito menghela napas. Ia memutar tubuhnya menghadap Peter, yang segera menodongkan pistol dengan waspada.
"Kalian tadi bilang soal kawan kalian yang kutembak, kan? Seperti apa rupanya?"
Imai mendengus. Ia menatap Akito dengan mata yang—kalau saja bisa—memancarkan kilatan ap. "Kenapa? Apa ingatanmu sudah kembali? Apa kau mau berhenti pura-pura tidak bersalah dan mengakui kejahatanmu?"
"Kejahatan apa?" Akito mengedikkan bahu. "Aku tidak bersalah. Hanya, kurasa aku bisa menebak seperti apa kawan kalian itu. Besar, tambun, warna kulitnya kelabu, dan kedua telinganya panjang, kan?"
Rahangku hampir jatuh.
Aku menatap Akito dengan tanda tanya besar mengambang di atas kepala. Mau apa anak ini?
"Apa maksudmu?" Peter menyahut dengan suara dalam.
"Maksudku begini," Akito tertawa kecil, kini menghadapkan dirinya pada Peter sehingga aku bisa melihat jelas simpul pada tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya jadi satu ke belakang punggung.
Aku mengangguk, bisa menebak rencananya. Rencana yang beresiko.
"Jadi kalian mendeskripsikan dengan rinci apa yang kulakukan seolah kalian ada di sana dan benar-benar melihatku melakukannya." Akito melanjutkan dengan senyum tipis di wajah. "Kalian bilang aku merebut senjata kawan kalian dan menggunakan senjata itu untuk menembak kepalanya sendiri. Kesampingkan soal ada pria besar mengejar anak SMA menggunakan pistol; bayangkan situasinya: seorang yang terlatih memegang senjata seperti kalian dikalahkan oleh anak SMA kurus sepertiku? Kucing saja
akan mau percaya!"
"Apa maksudmu." Suara Peter makin merendah, kelihatannya dia mulai marah.
Maksudku, yakin partner kalian itu manusia seperti cerita kalian dan bukannya keleda——"
Tanpa basa-basi, Peter sudah menghantam rahang Akito, membuatnya terpental ke belakang dan menabrakku. Menabrak aku yang memang sudah siap menangkap Akito.
Karena kaget, aku tidak bisa menemukan mana simpul yang tadi kulihat. Tanganku meraba-raba dengan panik, menarik sembarangan tiap tali yang teraba jariku.
"Hey, tarik vampirnya! Mereka mau kabur!" bentak Imai kaget.
Peter menyadari kesalahannya. Ia menyiapkan pistol, tapi Akito sudah mengayunkan dua kakinya yang terikat, menghantam pistol sekaligus dagu pria besar itu hingga jatuh. Sementara itu aku sudah bisa mengurai tali semrawut yang mengikat pergelangan tangan Akito.
Imai berlari menghampiri kami sambil berseru marah. Peter bangkit terhuyung. Paman Pemilik masih meringkuk ketakutan, sementara itu Akito berusaha melepas ikatan pada kakinya.
Dalam kekalutanku, aku menyambar satu-satunya benda yang paling dekat—selusin VCD—dan melemparkannya kuat-kuat ke arah Imai.
Terlalu kuat, benda itu malah melambung tinggi ke atas dan menukik turun dengan bunyi "cplek" ringan. Tadinya aku mengharapkan benda itu akan terlontar jauh mengenai mata Imai, tapi bahkan penjahat itu tertawa melihat lemparanku. Akito melihat yang kulakukan tapi tidak tertawa, dia menyambar sebuah DVD bersampul mika keras di dekat kakinya, lalu ikut melempar benda itu ke atas—dan mengenai lampu neon di atas Imai sampai hancur. Secara reflek, pria itu berhenti sesaat sambil menunduk dan melindungi kepala dengan tangan.
Peter menyambar pistolnya dan mengarahkan pada kami, tapi Akito berteriak keras, "Lampunya!!! Matikan, Pak Tua!!!"
Sesuai keinginan Akito, lampu mati seiring bunyi "klik-klik" yang familiar. Terdengar suara letusan senjata api. Aku menjerit kaget.
"Jangan tembak sembarangan, bodoh! Sayang pelurunya!" aku mendengar suara bentakan Imai, disusul langkah kakinya yang menginjak berbagai benda.
"Sorry!" sahut Peter. "Gelap sekali, tapi aku tahu kau di depanku, vampire boy! Sebaiknya jangan sembarangan bergerak kalau tidak mau terluka—kalian berdua terluka."
Peter benar soal keadaan ruangan. Di sini sangat gelap. Terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat apapun, bahkan tangan atau hidungku sendiri.
Seseorang menggenggam tanganku. Aku terkesiap, dan genggamannya malah berubah jadi remasan lembut, membuatku menyadari bahwa itu tangan Akito. Dia menarikku maju—tidak dengan pelan-pelan—dia mengajakku berlari. Melesat lebih tepat. Kami melesat menyeberangi ruangan seolah tempat ini terang benderang. Yang menyeberang sebenarnya hanya Akito, aku mengikuti saja sambil tersandung-sandung.
Di belakangku, Peter dan Imai mengumpat sambil berteriak heboh. Sepertinya mereka bertabrakan ketika berusaha menangkap kami
Previous | Next