“Masuk dulu,” aku memaksa, tidak tahu datang darimana keberanian ini datang.
Akito menggeleng pelan, menyandarkan bahunya ke tembok pagar. Dia bersikeras untuk tidak melibatkan polisi meski aku ngotot memaksanya melapor. Paman Masao juga tidak mau melapor. Dia gemetaran sepanjang jalan menuju flat cucunya. Ketika cucu lelakinya membuka pintu dengan wajah bingung dan mengantuk, Paman Masao hanya tergesa masuk lalu menutup pintu. Tanpa menawari kami masuk. Tanpa mengucapkan selamat tinggal atau terima kasih. Tanpa sepatah kata pun.
Itu membuatku marah. Tapi Akito cuma menatap pintu sambil tertawa pelan. Wajahnya saat itu belum pernah kulihat sebelumnya; campuran antara geli, kecewa, juga maklum.
Kami mengantar Paman Masao pulang duluan karena aku cemas pada tubuh tuanya, lagi pula dia kelihatan takut sekali kalau ditinggal berdua saja dengan Akito.
“Kita mengantar Chiaki-san pulang dulu,” usul Akito waktu itu, yang disambut anggukan lemah dari Paman Masao.
Meski Paman Masao mengangguk, aku melihat dia menatapku dengan penuh harap, seperti ingin aku menolak atau mengusulkan hal berbeda. Dia memberi kode dengan matanya, menunjuk Akito, lalu menggeleng dengan wajah ngeri— membuatku sadar bahwa dia takut ditinggal berdua saja dengan Akito setelah mengantarku pulang.
“Kita antar Paman Masao dulu, Nakamura-kun, kalau kamu nggak keberatan,” ujarku disambut desah lega Paman Masao.
Akito melirik Paman Masao dengan tatapan tak senang. “Kita bahkan nggak tahu apa rumah cucunya itu jauh apa dekat sedangkan kamu sudah kemalaman di luar.” Dia menoleh padaku dengan penuh perhatian. “Apa orangtuamu nggak cemas?”
Aku mengerjap, kembali teringat pada pertengkaran dengan ibu. Saat membuka layar, aku melihat mail kosong dan tidak ada catatan panggilan. Ibu yang biasanya overprotektif sama sekali tidak menghubungiku. Aku sudah membuatnya sangat marah dengan mengungkit soal Ayah dan membandingkan mereka berdua.
“Nggak, nggak apa, ‘kok.” Aku menghela napas dan menggeleng pelan, balik menatap Akito dengan lekat. “Kamu sendiri gimana? Kamu luka-luka, orangtuamu pasti—“
“Mereka sudah mati,” potongnya enteng, seolah itu bukan hal yang besar. Tapi bola mata hitamnya berkilat aneh, dan aku tahu perasaannya tidak seringan itu. Apalagi Akito tersenyum dengan cara yang sangat ganjil, seperti menanti sesuatu.
Setelah itu kami berjalan bersama ke flat cucu Paman Masao yang ternyata cuma berjarak dua blok dari minimarket tempat kami singgah. Ketidaksopanan Paman Masao tidak bisa kumengerti, dan aku sebenarnya ingin menanyakan apa masalahnya, tapi Akito menarikku pergi dan aku mematuhinya dengan cepat. Aku terlalu lelah untuk berdebat.
“Kamu luka-luka,” aku memaksa lagi, Akito masih menatapku dengan sinar matanya yang redup. “Dan kita nggak tahu apa orang-orang gila itu masih di sini!”
Dia menarik napas panjang, mengembuskannya pelan, lalu menepuk tangannya pelan dua kali. “Mereka sudah pergi. Mereka nggak akan ganggu kamu, percayalah.”
Sesuatu yang aneh terjadi. Dunia seperti menciut dan menggelap, hanya ada aku dan Akito dalam kegelapan itu. Suaranya menggema, seperti bicara langsung padaku lewat kepala.
“Nggak perlu cemas,” Akito melanjutkan dengan suaranya yang bergema. Aku merinding. “Jangan lapor polisi, nggak perlu cerita masalah ini ke siapa pun. Besok tasmu aku bawakan. Sekarang masuk rumah dan istirahat. Mereka nggak akan ganggu kamu.”
Kenapa kamu bisa seyakin itu? Kenapa nggak mau lapor polisi? Masuk dulu dan minum secangkir teh dulu! Semua hal itu muncul berebutan dalam kepala, tapi tidak ada yang bisa kuutarakan. Akito mengangguk padaku, dan semuanya lenyap. Aku balas mengangguk padanya, lalu berjalan masuk ke dalam rumah seolah tidak ada hal tak wajar yang terjadi malam ini.
Semua ingatan itu masih ada, mulai dari pertengkaran dengan ibu, kekacauan di Rental Video, pemukulan Akito, Paman Masao, dan dua orang gila itu, semuanya masih kuingat, tapi aku merasa semua itu tidak terlalu penting. Bukan lagi urusanku.
Ketika menyimpan sepatu dalam rak, Kouta muncul dari dalam kamar, lalu berseru cukup keras,
“Bu! Nee-chan sudah pulang!”
Ibu keluar dari kamar dengan cepat. Wajahnya pucat. Kedua matanya bengkak. Rambutnya berantakan. Dia berlari menubrukku, memelukku erat sambil menangis.
“Ibu?”
“Ibu nyari nee-chan dari tadi!” Kouta berkata dengan suara serak dan mata berkaca-kaca. “Kami sudah mau lapor polisi!”
Aku membalas pelukan ibu, airmataku meleleh. “Maaf, bu...”
***
Ibu tidak mengatakan apa pun semalam, hanya mengusap-usap rambutku dan mengantarku ke kamar. Kouta bertanya kenapa pakaianku kotor, tapi aku hanya bilang bahwa aku sempat terpeleset jatuh. Dia tidak perlu tahu soal malam gila yang kualami.
Kupandangi kamarku. Masih sama seperti sebelumnya. Warna biru muda mendominasi ruangan. Meja belajar dan kursi ditaruh manis di dekat jendela. Ranjangku rapi dengan hiasan bantal dekorasi serta beberapa boneka hadiah ulang tahun. Aku mendekatinya, mengambil salah satu yang berbentuk singa tapi memiliki mahkota bunga sebagai pengganti surai. Hadiah dari Ayah di hari ulang-tahunku yang kesepuluh.
Aku menghela napas lagi, mengulurkan tangan untuk menggapai ponsel yang ada di atas nakas di samping tempat tidur. Untuk beberapa lama aku hanya menatap benda itu dengan lelah.
Polisi.
Kata itu mengambang dalam benakku.
Kenapa dengan polisi? Aku merasa ada sesuatu yang penting. Apa aku harus menghubungi polisi? Untuk apa? Berbagai pertanyaan muncul lagi, menumpuk, menggangguku. Aku menutup kedua telinga dengan tangan rapat-rapat, tapi pertanyaan itu muncul dalam bentuk suara yang lebih keras.
Kenapa aku merasa harus menghubungi polisi? Ada hubungannya dengan tugas sekolah? Tidak, kurasa tidak. Aku merasa ingin menangis. Dadaku sesak. Ada sesuatu yang tidak kumengerti, dan makin lama aku makin merasa bingung.
Merasa lelah dengan semua pikiran itu, aku bangkit dari ranjang, berjalan pelan menuju jendela. Ketika mengangkat wajah ke arah luar, seluruh tubuhku menegang. Listrik seperti mengalir pada punggungku.
Di jendela, tergantung terbalik ...
... seekor tikus hitam bersayap.
***
Ada tikus hitam bersayap di kamarku semalam. Aku tahu itu. Sebenarnya tidak begitu mirip tikus, tapi juga bukan kelelawar. Badannya besar sekali dan sayapnya hitam keunguan. Mata merahnya menatapku dengan mengerikan, seolah mengawasi. Bahkan meski aku sudah menutup jendela kamarku, aku tahu makhluk mengerikan itu masih di sana, mengawasiku. Aku tidak berani membuka jendela dan mengusirnya. Bahkan untuk menutup tirai saja aku sudah ketakutan setengah mati.
Pagi ini ketika aku perlahan-lahan membuka tirai jendela, syukurlah makhluk jelek itu sudah hilang. Jantungku masih sedikit berdebar, tapi tidak ada yang berubah di luar. Semoga saja makhluk itu cuma mampir sekali.
Ketika turun untuk sarapan, Ibu dan Kouta sudah ada di meja makan duluan.
“Ohayou nee-chan,” Kouta mengangguk padaku seperti biasa, seolah semalam tidak terjadi apa-apa; seolah aku tidak habis minggat.
Ibu masih mengaduk teh di meja, menatapku dengan senyum, “Ohayou, Hana.”
“O ... Ohayou,” balasku pelan.
Aku tahu bahwa mereka tidak berniat mengungkit masalah minggatku semalam, tapi suasana pagi ini benar-benar canggung. Kami makan bersama di atas meja dalam diam.
“So-soal semalam ...,” Aku menaruh sendok, menatap dua anggota keluargaku yang balas menatap dengan penuh perhatian. Ini benar-benar canggung.
Apa yang akan kukatakan? Tiba-tiba aku merasa bingung. Apa soal Akito sebaiknya kuceritakan? Lantai yang penuh dengan serakan VCD dan DVD kembali terbayang dalam benakku. Di sana ada dua orang yang aneh, yang secara ajaib hilang begitu saja semalam. Aku bahkan mulai bingung kepada diriku sendiri. Kenapa kau bisa setenang ini? Apa sebaiknya aku ceritakan pada Kouta saja? Apa baik kalau mereka berdua tahu?
“Nee-chan,” Kouta meletakkan cangkir teh yang barusan disesapnya, “kalau belum siap cerita nggak apa.”
Ibu mengangguk mendukung pernyataan mereka.
Aku mengerutkan kening. Pandangan penuh pengertian mereka membuatku sesak.
“Nggak apa-apa, aku cuma mau minta maaf sudah membuat cemas,” tanganku menggenggam gagang sendok erat-erat, “nggak terjadi apa-apa, aku cuma jatuh dan terguling di jalan waktu lari.”
“Apa yang luka? Mau ke rumah sakit untuk periksa?” Ibu bertanya dengan mata basah.
Aku menggeleng. “Nggak ada yang parah, kok.”
Sebenarnya lututku sakit. Badanku juga memar di mana-mana, tapi itu tidak masalah. Tidak terlalu masalah. Aku harus berangkat sekolah—dan menemui Akito.
Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya.
Misalnya, bagaimana dia lolos dari dua orang brutal yang buas seperti itu.
***
Tadinya aku berharap akan bertemu dengan Akito, tapi dari pagi sampai pelajaran terakhir lelaki itu tidak juga datang ke sekolah. Aku mulai cemas. Dia ditendang dan dipukuli semalam. Apa baik-baik saja? Apa jangan-jangan sekarang dia di rumah sakit? Atau mungkin dua orang itu datang lagi dan mengejar Akito? Harusnya aku memang memaksanya masuk ke rumah dulu semalam, paling tidak aku bisa memastikan luka-lukanya parah atau tidak. Harusnya aku menelpon polisi semalam!
Sepanjang pelajaran aku tidak bisa konsentrasi. Apalagi Sasaki-sensei ngoceh dalam bahasa Inggris yang tidak kumengerti. Di dalam laci meja aku menggenggam erat ponsel perakku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak punya nomor kontak Akito, juga alamat mailnya.
Cuma ada satu tempat yang bisa kudatangi. Ruang Tata Usaha.
“Kemarin waktu saya bertemu dengannya, dia kelihatan sakit, jadi saya cemas.” Aku beralasan ketika menghadap Sasaki-sensei, wali kelas kami. “Lagi pula hari ini ada banyak catatan untuk ujian yang akan datang.”
Guru biasanya lebih terkesan kalau murid mengungkit soal pelajaran, kan?
Sasaki-sensei hanya tersenyum menatapku. Dia memutar kursinya, mengambil sebuah map berwarna biru dari folder yang ada di atas mejanya, lalu memilah-milah kertas di sana.
“Aku tidak tahu kau akrab dengan Nakamura-kun,” ujarnya.
“Tidak seakrab itu, kok,” sahutku cepat.
“Tidak apa, sensei bukannya ingin menggodamu, nah ini dia alamatnya. Aku masih punya jadi kau tidak perlu ke Tata Usaha.” Sensei membuat memo dari kertas yang barusan diambilnya, “Sejak awal kau tidak terlihat seperti orang yang suka bersosialisasi, makanya aku lega kalau Nakamura-kun bisa jadi temanmu. Dia memang anak yang bisa diandalkan dan dewasa, ya kan?”
“Ya ....” Aku mengangguk. “Dia memang bisa diandalkan.”
Sensei menyerahkan memo alamat padaku sambil tersenyum, “Semoga dia tidak apa-apa.”
“Semoga.” Aku berbisik pelan, tidak terlalu konsen karena alamat yang diberikan sensei.
Aku seperti tahu alamat ini.
Previous | Next