“Kamu masih belum jawab pertanyaanku,” ujarku pelan. Kami masih di dalam kedai ramen karena di luar terlalu dingin dan Akito tidak mau pindah ke tempat lain, kafe di seberang kedai misalnya. Akhirnya kami pindah dari bar ke meja di dekat jendela yang mengarah ke luar. Dia memesan satu cangkir kopi panas dan aku teh hijau. Di luar mulai mendung. Mungkin sebentar lagi hujan.
“Aku sudah jawab, Chiaki-san, aku nggak tahu apa maksudmu,” sahut Akito pelan. “Coba saja lihat mataku dan bilang kalau aku bohong.”
Tidak. Jangan lihat matanya!
Aku mengerutkan kening. Heran kenapa perasaanku begitu kuat untuk menahan agar mata kami tidak bertatapan. Padahal aku sudah diberi kesempatan. Kapan lagi bisa menatap ke dalam mata hitam itu tanpa sembunyi-sembunyi? Cewek-cewek di kelas, terutama Onoda, mereka pasti bakal melakukan apa saja untuk berada di tempatku sekarang—semeja berdua dengan Akito, saling menatap. Eh, tidak. Aku tidak menatap matanya, sih.
“Aku jadi penasaran, kenapa kamu masukin aku dalam daftar hal yang membuatmu bingung? Memangnya apa yang aku lakukan?” Akito mengaduk kopinya.
Di sekeliling kami makin banyak orang berdatangan, hawa dingin mengundang mereka masuk. Aku menoleh ke samping, menatap pada kaca jendela yang berembun. Bagaimana aku akan menjelaskannya pada Akito?
“Aku merasa kamu tahu sesuatu,” mulaiku. Kutatap wajahnya secara keseluruhan, terlalu takut untuk hanya fokus pada satu titik di manik matanya, “Lagi pula kamu berhutang satu penjelasan sama aku. Tentang kejadian di rental video.”
Akito melempar tatapan teduh. “Maaf aku melibatkanmu di sana, tapi aku sendiri nggak tahu apa yang mereka bicarakan.”
“Mereka gila,” ucapku. Dia mengangguk. “Orang gila kayak mereka, apa bakal menyerah gitu aja membiarkan kamu kabur? Aku rasa enggak.”
“Tapi itu yang terjadi.” Akito mengedikkan bahu. Dia menatapku tajam. “Apa kamu percaya apa yang mereka bilang?”
“Aku sekarang lagi dalam keadaan nggak bisa percaya sama siapapun,” keluhku, “bahkan pada diriku sendiri.”
“Krisis kepercayaan yang besar sekali.”
“Aku merasa kamu ada hubungannya dengan semua ini.”
“Semua ini? Maksudmu apa? Serius, aku bahkan nggak tahu kamu lagi ngomong apa.” Akito tertawa pelan, “kalau cuma ini yang mau kamu bicarakan, Chiaki-san, aku pamit pulang.”
Aku menggigit bibir, tidak tahu bagaimana cara menahannya. Apa yang harus kulakukan? Tadi aku begitu ingin bicara dengannya, tapi saat ia sudah ada di depanku, aku tidak tahu harus menanyakan apa.
“Kamu aneh!” semburku sebelum dia pergi.
Akito berhenti. Ia kembali duduk, menatapku dengan sorot mata penasaran, “Apa anehnya?”
“Kenapa kamu nggak merasa apa-apa!? Ada orang mukulin kamu, anggap kamu vampir, orang-orang itu bawa pistol dan nggak segan buat nembak kamu, tapi kamu tetap tenang! Kamu bahkan nggak mau lapor polisi, itu nggak wajar!” jelasku panjang.
“Kamu bahkan nggak lapor polisi. Kamu jalan dengan tenang di tengah keramaian seolah nggak pernah terjadi apa-apa. Kamu lihat Paman Masao? Dia ketakutan! Dia bahkan sampai langsung banting pintu di depan kita. Dia langsung pergi hilang dari kota ini!”
“Kalau gitu,” Akito menarik napas. “Kamu juga aneh, kan?”
Aku menatapnya. Dia menaruh kepalanya di atas kepalan tangan, sorot wajahnya terlihat penuh pengertian.
“Kamu berkeliaran tengah malam, datang ke rental video di jam segitu. Teman sekelasmu dipukuli di depanmu, ada pistol ditodongkan ke kepalamu, setelah malam yang aneh itu, kamu tetap berangkat sekolah seperti biasa. Mengerjakan pekerjaan rumah, bicara dengan keluarga dan teman-teman, semuanya kamu lakukan seolah nggak ada apa pun yang terjadi padamu.”
Aku menganga, “Enak saja!” desisku karena takut ditegur Pemilik Kedai lagi. “Kamu nggak tahu apa yang aku rasakan! Aku merasa kacau! Aku nggak ingat banyak hal! Aku merasa deja vu hampir setiap hari! Banyak orang bilang mereka melakukan atau mengatakan sesuatu padaku, padahal aku nggak ingat! Ada hari-hariku yang hilang! Semua orang berbeda baik di depan maupun di belakang! Aku nggak bisa percaya pada siapapun. Aku bahkan nggak bisa percaya sama diriku sendiri!” Airmataku mengambang. “Ada kilasan-kilasan buram yang datang ke kepalaku tapi aku nggak tahu apa maksudnya! Kamu bilang aku bersikap biasa saja?! Kamu nggak ngerti apapun, Nakamura-kun. Nggak ngerti!”
Aku terisak, pelan-pelan menarik tisyue dari kotaknya di tengah meja dan mengusap pipiku yang basah.
Akito memutar cangkir di atas meja, menatapku dengan wajah lembut. “Aku nggak ngerti, katamu?” bisiknya, “lalu kenapa kamu bersikap seolah kamu ngerti apa yang kulakukan atau rasakan? Kalau kamu bukan orang aneh seperti yang kutuduhkan, kenapa aku harus jadi orang aneh seperti yang kamu tunjuk?”
Aku tercekat.
“Kita nggak saling kenal satu sama lain, Chiaki-san,” Akito berkata pelan, “dan sebaiknya jangan. Jadi tolong, kenapa kamu masih selalu mencari tahu hal yang nggak ada hubungannya dengan kamu? Kenapa kamu nggak bisa berpaling dan terus hidup seperti layaknya orang lain?”
“Kamu tahu sesuatu,” ucapku pelan. “Kata-katamu, pandangan matamu yang kayak selalu ngawasin. Aku tau itu, Nakamura-kun. Kamu tahu sesuatu. Kalau nggak, ngapain kamu di rental video yang ada dekat rumahku? Kenapa kamu bisa sampai situ?”
“Lupakan aja itu.”
“Gimana bisa!?”
Akito menggigit bibir. Dia menatap mataku lekat. Aku balas memandang, menantangnya. Kemudian lelaki itu bangkit dari duduknya, berjalan keluar kedai dengan cepat. Aku membayar pesananku, lalu tergesa berlari keluar menyusulnya. Di luar hawa dingin menggigit. Angin bertiup kencang. Orang-orang berjalan cepat sambil mengusap-usap lengan. Para pasangan berpegangan tangan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat, menjangkau sudut-sudut jalan. Akito sudah tidak ada.
***
Suara dengung telepon terdengar agak lama sebelum akhirnya ada bunyi ‘klek’ ringan tanda telepon diangkat. Aku menempelkan gagang telepon lebih erat. Biasanya kalau ada telepon, orang pasti akan mengangkatnya dengan sapaan hangat seperti ‘Halo?’ atau ‘Selamat pagi, dengan keluarga XXX’, tapi kali ini yang kedengaran di seberang telepon hanyalah suara dingin yang seperti berbisik.
“Siapa?”
Bahkan tanda tanya di akhir kata pun terdengar samar, seolah pria di seberang sana tidak sedang bertanya.
“Nakamura-kun?” aku bertanya heran, tidak mengenali siapa orang yang bersuara di sana.
Terdengar dehem pelan, lalu orang itu menyahut pelan, “Chiaki-san, ada apa lagi?”
Aku mengerjap-ngerjap keheranan. Ternyata dia mengenali suaraku. Tapi yang membuatku lebih ngeri lagi adalah fakta bahwa Akito sudah sampai ke rumahnya.
“Kamu sudah ... sampai rumah?” aku bertanya dengan bodohnya.
“Tidak, aku ada di sekolah, membantu Sasaki-sensei memilah tugas anak-anak,” sahut Akito sarkastis.
Dia sudah ada di rumah dan bisa mengangkat telepon dengan cepat! Bagaimana bisa? Padahal aku saja barusan sampai rumah!
Seluruh tubuhku menggigil. Rasanya seperti ada banyak es batu ditempelkan di punggungku sekarang ini. Ketakutan, aku menutup telepon dengan cepat.
***
Aku mengaduk teh pelan-pelan, menatap pusaran air yang kuhasilkan dalam gelas kecil itu. Ada suara pintu dibuka dan ditutup di belakang. Aku tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang pulang. Pasti Kouta. Ibu tidak mungkin pulang jam segini. Biasanya Ibu baru pulang pukul tujuh ke atas.
“Nee-chan, nggak ke cram school?” benar saja, Kouta melongokkan kepalanya ke dalam.
“Nggak hari ini libur.” Aku memutar cangkir tehku. Kouta menaruh tongkat baseballnya di dekat tiang mantel, lalu ikut membuat teh untuk dirinya sendiri.
“Ne, Kouchan,” kuamati adikku yang berambut terang karena matahari itu. Dia memang masih kelas lima SD, tapi kadang pemikiran maupun sikapnya bisa melampau orang dewasa mana pun yang aku kenal. Aku merasa lebih nyaman dan percaya ketika bicara dengannya.
“Apa?” dia menuangkan air panas ke dalam mug kesayangannya yang berwarna biru tua.
“Kalau misalnya ada sesuatu yang sebenernya nggak terlalu berguna, hal yang kalau kita biarin pun nggak akan ngaruh banyak ke hidup kita ke depannya, tapi hal itu bikin resah, menurutmu apa yang sebaiknya dilakukan?”
Kouta menatapku kosong, dan aku tahu dia pasti tidak paham apa yang aku bicarakan. “Nggak jadi deh, nggak usah dipikirin,” lanjutku cepat.
“Maksud nee-chan soal hilang ingatan itu?”
Kouta selalu bisa memahamiku. Kadang aku sampai berpikir kalau dia lebih cocok jadi kakakku daripada adikku. Dia duduk di hadapanku, mengaduk-aduk gula dalam tehnya sampai larut.
“Ya, maksud kakak memang itu. Ada orang yang bilang kalau sebaiknya nggak usah dipikirin. Dia nanya kenapa kakak masih mikirin itu bukannya berpaling dan terus lanjutin hidup kayak yang dilakukan orang lain,” aku mendesah, “lalu kakak jadi mikir, mungkin dia memang bener. Buat apa kakak repot ngurusin hal yang sebenernya nggak terlalu berhubungan dengan kakak? Kakak malah jadi terlalu menarik perhatian—“
“Menarik perhatian siapa?” potong Kouta.
“Temen-temen sekelas, para guru.”
“Memangnya itu hal buruk?”
“Yah, nggak tahu juga,” Aku mengedikkan bahu. “Kakak cuma pengen hidup biasa aja, menjalani hidup dengan biasa, jadi orang biasa. Kakak nggak suka menarik perhatian kalau nggak perlu. Itu prinsip hidup kakak sebenernya, makanya orang yang suruh kakak untuk nggak usah ngotot nyari tahu itu, kakak rasa kata-katanya nggak kontra dengan apa yang kakak lakukan selama ini. Kakak jadi bingung.”
Kouta mengambil kerupuk senbe di tengah meja, menggigitnya pelan-pelan. “Kenapa harus nurutin orang itu?”
“Belum nurutin juga, kan kakak lagi tanya pendapatmu, menurutmu gimana.”
“Kalau aku,” Kouta menatap lurus ke dalam mataku, “aku pikir nee-chan sebaiknya jalani apa yang menurut nee-chan baik. Orang lain ‘kan nggak tahu apa yang nee-chan rasakan. Ingatan itu milik nee-chan dan akan selalu jadi hak penuh nee-chan untuk nyari atau berhenti nyari. Orang itu atau bahkan aku boleh-boleh aja kasih pendapat atau saran, tapi eksekusi finalnya tetep hak nee-chan. Masalahnya bukan pada seberapa penting ingatan atau seberapa berarti ingatan itu, tapi nee-chan ‘kan lagi cari jawaban kenapa ingatan itu bisa hilang?”
Aku menarik napas pelan-pelan. Kouta benar. Ini bukan soal apakah aku bisa terus maju tanpa menengok ke belakang atau diam berhenti di tempat. Masalahnya, aku sedang mencari jawaban.
“Makasih, Kouchan,” bisikku sambil mengangkat gelas. Kami bersulang.
***
Previous | Next