-
-
-
***
Pamulang, Tangerang Selatan.
Rabu, 2 Agustus 2017.
Pukul 11.58 WIB
Empat belas hari sebelum kunjungan. .
Suara magazine pistol yang di isikan ulang memasuki senjata bukannya mengalihkan pikiran, namun malah menambah rasa gundah pria tersebut. Lengan panjang kemeja yang berwarna biru langit itu ia gulung sebatas sikut. Bila hanya sekilas saja, setiap orang tak akan mengerti bahwa di balik tatapan tajam sepasang mata coklat tersebut, terdapat tumpukan beban pikiran yang menyarangkan diri di seluruh akal pria berusia dua puluh sembilan tahun itu. Tangan kiri pria itu memegang bekas luka yang menyilang, memanjang di leher bagian kirinya. Ia berhenti sejenak sambil memandang fokus jauh ke papan-papan yang bergerak menyamping ke kiri dan kanan di depannya. Rambut berombak dengan panjang sedang yang disisir rapi di belahan sampingnya, seperti kebanyakan pemain sepak bola masa kini, sedikit bergoyang ketika pria yang bernama Bara itu menggelengkan kepalanya.
Bara Sabda Raja adalah orang kedua yang bergabung dengan organisasi ini. Tubuhnya jangkung, standar eropa malah. Karena ia mantan juara renang tingkat propinsi sewaktu SMA, apalagi disertai dengan latihan - latihannya saat ini, otot - ototnya tak perlu di ragukan lagi. Tak berlebihan, namun pas dengan kebutuhannya agar selalu bisa bergerak gesit, menghadapi pertarungan jarak dekat, maupun membawa senjata-senjata perbekalan di tiap misi yang ia jalani. Brewok dan kumisnya tersambung dengan rapi dan tipis, Bara selalu merawat dan merapikannya tiap minggu pagi sebelum jogging. Kulitnya cokelat karena terbakar matahari namun terlihat bersih. Rahangnya persegi, menggambarkan bahwa ia seseorang yang prinsipil. Tetapi, di organisasi ini ia adalah orang paling ramah setelah kaptennya dan termasuk humoris. Bara hanya tak suka basa basi dan sama sekali tak tersenyum bila sedang bertugas.
Bara mengangkat kemudian membidikkan pistolnya. Sorot matanya tajam, terkonsentrasi penuh ke depan. Bunyi ledakan mesiu terdengar nyaring berkali kali. Papan-papan sasaran bergambar manusia putih setengah badan yang terbuat dari kayu murahan tersebut berlubang di bagian gambar kepala, tertembus pelor - pelor dari Bara. Ia lalu berhenti sejenak, kemudian mencopot pelindung suara yang berbulu abu - abu kusam dari kedua telinganya. Pistol G2 elite kaliber 9mm buatan PT. Pindad tersebut kemudian ia letakkan di meja, ia berniat menyudahi latihan menembaknya. Ia tak lagi bisa berfikir jernih. Ia sebenarnya tak ingin keluar dari organisasi ini. Ia sudah menganggap mereka semua sebagai keluarga. Namun, mau tak mau, ia tak ingin lagi merasa kehilangan seperti kehilangan kedua orang tuanya di masa lalu. Dua hari lagi dia akan berangkat ke Sorbonne, Perancis, untuk mendaftar sastra S2 di sana. Cepat atau lambat, kehilangan pasti akan terjadi. Ia hanya tak ingin merasa bertanggung jawab lagi atas kehilangan apapun di hidupnya. Walaupun hal itu sama sekali bukan keinginannya, ia yang kala itu menjabat Perwira Pertama, Letnan Satu di Batalyon Kandang Menjangan Solo, tak mampu mencegah terbunuhnya ibu dan ayahnya. Semenjak itu, ia tak ingin kehilangan orang - orang di dekatnya lagi.
Seorang pria paruh baya tegap yang nampak berwibawa datang menghampiri sembari menghisap rokok. Ia memakai kaos polos putih berlengan pendek yang tampak di setrika dengan rapi. Celana hitam berbahan kain yang membalutnya pun juga tak kalah klimis. Rambut beruban sepanjang bahu yang telah memenuhi kepala pria itu terikat dengan karet murah berwarna merah muda yang ia pungut di meja dapur tadi.
" Untuk seseorang yang akan segera keluar dari sini, kamu cuma melakukan pemborosan dengan latihan itu. . Hei Nak, makan siang lah." Ucap pria tersebut pada Bara dengan suara serak dan berat.
" Kapten Jaka. ." Bara yang menyudahi latihannya tadi lalu mengambil sikap hormat.
"Si brengsek satu ini, kamu tak perlu mengambil sikap formal seperti itu. ." Jaka memicingkan matanya.
" Woy-woy orang tua, tapi jabatanmu tetap di atasku. ." Bara merapikan pistol dan amunisinya kemudian meletakkannya di loker senjata sambil tertawa.
" Kita berdua mengerti kalau kamu dan aku yang membuat semua ini Nak. . Jadi stop meributkan hal - hal sepele. ." Jaka kemudian merangkul pundak Bara.
" _Njir_, tetep aja Kapten kan yang ngajak saya? " Bara meninju enteng perut Jaka yang datar dan keras.
" Serahlah, lain kali peliharalah kucing, jangan memelihara kebodohan Nak. ." Jaka kemudian menyodorkan rokoknya dari kotak kayu kecil yang merupakan kado dari istrinya.
" Kapten, anda beruntung ya punya istri yang beliin kado tempat rokok. Lah saya?" Kata Bara sambil mencomot rokok filter dari kotak yang di sodorkan kaptennya itu.
" Istriku juga diam-diam merokok soalnya. " Jaka menyalakan rokok Bara sambil menutupi api dari korek gasnya dengan tangan kiri.
" Serius? Saya kok gak pernah tau? " Asap mulai terhembus dari mulut Bara perlahan.
" Ya namanya juga diam - diam. Hanya aku dan dia saja yang tau. " Kapten Jaka menjawab enteng sembari menjentikkan abu rokoknya ke lantai. Mereka berdua berjalan santai menuju eskalator.
" Emang rokoknya apaan? Berat kayak gitu juga? " Bara mengarahkan mata ke arah rokok Jaka.
" Lebih berat. Rokok _kulit_ soalnya. " Jawab Kapten Jaka sambil nyengir konyol.
Bara kemudian terbatuk - batuk tertawa hingga matanya pedas.
" Rokok kulit punya saya jelas lebih berat dan lebih manteb nih Kapten. Istri anda mau gak? Masih muda juga kan? Bolehlahhhhh..." Kata Bara menyeringai nakal, masih mengusap matanya yang basah dengan jari telunjuk karena di penuhi air mata kegoblokan.
"Bangsat." Jaka kemudian tersenyum sinis bercampur jengkel, lalu menjitak keras-keras kepala Bara. Bara mengelus - elus ubun - ubun kepalanya sambil bergumam tak jelas.
"Dengar, aku sudah bilang. . Kamu tak perlu bersikap penuh hor-----" Belum sempat Kapten Jaka menyelesaikan kalimatnya, Bara sudah mengibaskan tangannya dengan santai.
"Dengar juga ya Kapten, saya bakalan tetep menghormatimu di depan rekan-rekan, di depan istri anda, di depan siapapun. . Kalo di belakang mereka saya mau menjadikan anda prasmanan ejekan sepuas hati, itu beda perkara. . Jadi, gak usahlah anda nyaranin yang enggak-enggak begitu terus-terusan. ." Kata Bara sok keren sambil meniupkan pelan rokoknya dan memandang jauh ke langit - langit.
"Semoga kamu jomblo hingga modar ya Nak. ." Timpal Kapten Jaka enteng.
Bara tersedak asap rokoknya untuk kesekian kali. Dua pria tersebut kemudian bercakap - cakap sambil meninggalkan lantai bawah tanah, menuju ruang makan di lantai satu.
***
Taman kota itu terasa sepi, apalagi di hari weekdays seperti ini. Hanya ada pedagang balon yang tertidur di bangku taman yang terpayungi pohon beringin rindang, sementara sepedanya ia parkirkan di sampingnya. Beberapa anak punk jalanan sedang menyanyikan lagu-lagu milik Superman Is Dead keras - keras di dekat pagar masuk taman sembari tertawa-tawa. Angin meniup lembut rambut pendek wanita berkacamata dengan tubuh montok yang sedang berjalan itu. Cuaca sedikit mendung di iringi sepoi angin sejuk. Sang surya tak terasa terik karena terkadang ia melirik lalu kemudian bersembunyi lagi di balik murungnya mega.
Wanita dengan tinggi sedang itu mengenakan kardigan coklat muda yang menutupi kaos hitam polosnya yang kucel dan terlipat di sana sini. Rambutnya yang pendek dan agak memerah terkena matahari ia biarkan terurai. Wajah perempuan tersebut tergolong manis. Hidungnya agak mancung dan sedikit besar. Bibirnya yang sedikit tebal, ia poles dengan lipstik merah matte sehingga menimbulkan kesan seksi. Matanya bulat dan besar di iringi bulu mata yang lentik alami. Kedua alisnya panjang nan tipis, sehingga bila tak di rawat akan menyambung satu sama lain. Wanita itu diam-diam melakukan perawatan sehingga kulitnya kuning langsat, memutih khususnya di beberapa bagian seperti leher dan dada atas. Ia secara rahasia ingin tetap mempertahankan kesan tomboy namun anggun sejak ia memasuki kepala dua, setidaknya di hadapan orang lain selain sahabat-sahabat karibnya.
Perempuan tersebut bernama Kinan, Kinanti Indah Srikandi. Kinan merogoh saku celana pendeknya untuk mengambil smartphone miliknya. Pandangannya lalu tertuju pada jejeran bangku taman yang terletak di dekat air mancur. Ia pun duduk sambil menghela nafas. Tanpa misi sama sekali hampir sebulan lamanya, membosankan, pikirnya. Kinan lalu mengambil sekotak rokok mild di saku kardigannya, kemudian mengeluarkan korek dan menyalakan rokoknya. Ia menghirupnya dalam - dalam, lalu menghembuskan perlahan ke udara. Di pungutnya smartphone yang ia letakkan di bangku taman, lalu membuka kontak dan memencet logo telepon hijau di samping gambar seorang wanita berhijab yang bertuliskan "Budhe Narti". Terdengar nada tut telepon yang masuk, menunggu jawaban di seberang sana. Satu, dua, tiga bunyi sebelum terdengar gemerisik yang di ikuti suara perempuan paruh baya yang menjawab.
"Halo _nduk_?" Budhe Narti menjawab dengan ramah.
"Halo Budhe. Assalamualaikum.. Budhe sehat? Kinan kangen.." Kinan menjawab sendu sambil tersenyum.
"Wa'alaikumsalam nduk. Sehat kok.. Lha kamu piye? Sehat juga toh? Budhe sama adikmu juga kangen.."
"Sehat juga kok. . Lha Budhe lagi apa? Tumben kok sudah di rumah siang - siang begini? Apa mboten jaga di puskesmas?"
"Enggak nduk.. Ini udah pulang kok.. Kebetulan pak Badrun tadi meninggal, jadi Budhe layat. ."
"Astaghfirullah, Innalillahi. . Serius Budhe??" Kinan kaget dan tertegun. Pak Badrun adalah tetangga sekaligus tukang sayur keliling di desa Singopuran sekaligus tetangga Budhe Narti. Dulu ketika Kinan masih TK, pak Badrun sering menunjukkan beberapa trik sulap sepele di iringi guyonan dan celetukan-celetukan yang bisa membuat anak seumuran Kinan terbahak gembira ketika ia menemani budhenya berbelanja di pagi hari. Maka dari itu, Kinan merasa kaget dan kehilangan sosok seorang pak Badrun yang nyeleneh dan kocak.
"Iya _cah_ ayu. . Padahal baru tadi pagi lho Budhe beli sayur sama macem-macem. . Masih sempat guyonan malah. . Katanya batuk rejan yang menahun. . Mesakne anak dan istrinya, anaknya kan masih kecil toh. . Lha kamu kok tumben sering telepon? Baru selo atau gimana?" Tanya Budhenya dengan nada heran.
"Ya Allah. . Sampaikan bela sungkawa ke Bu Atun (istri Pak Badrun) ya Budhe. . Maaf enggak bisa dateng. . Umm, ya gitu Budhe.." Jawab Kinan dengan sedikit murung. "Hampir sebulan ini lagi sepi misi.. Jangan bilang - bilang Majid ya Budhe.. Si Majid ada?"
"Waduh, tadi di ajak _bal - balan_ atau main ps sama temen - temennya ya? Budhe yo gak reti e nduk.. Lha trus terakhir katanya kamu habis dari Filipina? Piye ceritane cah ayu? " Tanya Budhe dengan nada semangat.
"Oalah, Njih mpun. . Nanti sampaikan aja kalau lagi santai, Majid njenengan suruh telepon saya ya Budhe. . Oalah, Filipina ya? Nggih ngoten Budhe. ." Lanjut Kinan yang kemudian bercerita tentang penyelamatan dua belas TKW yang menjadi sandera Boko Haram. Sambil menyesap rokoknya sesekali, Kinan bercerita tentang betapa menegangkan misinya bersama Bara dan dua orang temannya menyusup ke desa yang menjadi markas Boko Haram, anak cabang dari markas induknya di Afrika, dalam rangka menyelamatkan para pahlawan devisa Indonesia tersebut. Ia, Bara, dan kedua rekannya menjalani dua hari yang penuh dengan ketegangan. Tak terasa setengah jam telah melayang begitu saja. Kinan kemudian mengakhiri percakapannya dengan budhenya untuk kemudian berjalan kembali ke markas. Selain karena tampaknya hujan akan turun, perut Kinan yang memang hobi makan mulai menggerutu minta di isi.
***
Kinan berlari - lari kecil sambil menutupi atas kepalanya menuju bekas mall tua yang tampaknya sedang di renovasi. Ya, inilah markas organisasi tempat Kinan bekerja. Organisasi itu telah berdiri selama tujuh tahun. Dari yang beranggotakan dua orang, kini berkembang menjadi tiga puluh enam orang. Tujuh dari mereka adalah anggota markas (base squad) yang menetap, dan sisanya merupakan anggota non-markas (non-base squad) yang setelah jam kerja habis kembali ke tempat tinggal masing - masing. Nama organisasi swasta tersebut adalah K.A.B.U.T, yang merupakan singkatan dari Kesatuan Anti Bahaya dan Upaya Terorisme.
Ia adalah organisasi swasta yang berisikan orang - orang berkemampuan unik dengan berbagai latar belakang. Mantan narapidana, mantan mahasiswa drop-outan universitas ternama, pengangguran, lulusan-lulusan universitas luar negeri, reporter, calon akademi kepolisian, koki, mantan letnan satu TNI, broker saham, seorang maniak IT, insinyur dari luar negeri, dan sebagainya telah menjadi sebuah keluarga di organisasi ini. Solid, dan tentu saja profesional, mereka sudah merampungkan berbagai misi yang sebagian besar di anggap hampir mustahil untuk di selesaikan oleh instansi resmi pemerintahan maupun instansi lain. Tentu saja, K.A.B.U.T tak menerima misi secara sembarangan. Sesuai moto dan kode etik K.A.B.U.T, Veritas Aequitas (Kebenaran Dan Keadilan), maka misi - misi yang masuk sebagai pesanan selalu di sortir dari aspek kebaikan, kebenaran, serta kemanusiaan bila misi tersebut akan di putuskan untuk di terima atau tidak.
Para personil di markas itu terbagi menjadi tiga tim. Tim Alpha merupakan tim yang bertugas untuk mengintai dan menyelesaikan misi di lapangan (Recon and Action Team). Sedangkan tim Bravo adalah tim pengumpul informasi, penjemput, perantara K.A.B.U.T dengan klien, serta berfungsi sebagai back up dan penjemput bila situasi di luar kendali (Multipurpose Base Team). Yang terakhir, adalah tim dimana Kinan bertugas, yaitu tim Charlie. Mereka mempunyai tugas sebagai tim medis, tim pemenuhan nutrisi, serta melakukan riset untuk para anggota K.A.B.U.T (Research, Medical, and Development Team).
Kandang K.A.B.U.T sendiri terletak di bangunan yang seolah tak dipakai dan ditinggalkan di pinggir jalan yang membentang sepanjang Pamulang. Bangunan itu dulunya adalah sebuah plaza, sejenis mall alay, kata Kinan yang memang sempat tinggal di Pamulang ketika mall itu masih menjadi Pamulang Square. Setelah mall itu bangkrut, Jaka membelinya dengan pinjaman modal dari beberapa kawan lamanya yang telah menjadi pengusaha, atasan, bos, maupun pejabat negara di tambah dengan tabungan upah misi-misi awalnya bersama Bara. Bekas mall tersebut kini menjadi markas dan headquarter organisasi ini. Untuk menjaga kerahasiaan serta keamanan K.A.B.U.T, gedung tersebut di lapisi oleh tembok kain yang mengelilingi dari depan hingga belakang, seolah - olah ada yang ingin membangun ulang mall itu namun tak kunjung selesai. Selain itu, ada beberapa orang dari Tim Bravo yang bergantian menyamar sebagai sekuriti kontraktor yang berjaga jaga di dekat gerbang. Kinan terengah - engah ketika sampai di gerbang depan. Ia menggesernya dengan sisa - sisa tenaga.
" Selamat siang, Wakil Ketua Dua. ." Terdengar suara serak dan rendah dari seorang pria. Halim, seorang lelaki yang berkumis tebal melipat halaman koran di bagian bisnis dan saham , kemudian meletakkannya di meja kecil yang terletak di dalam pos sekuriti. Ia lalu mengambil sikap hormat kepada Kinan dan memayunginya dengan payung kecil.
" Makasih pak Halim. . Lho? Kok sendirian? Mas Hudi mana?" Tanya Kinan setelah membalas sikap hormat pak Halim.
" Sedang makan siang tadi Mbak. . Mbak Kinan sudah makan? Nanti keburu habis lho kalau belum. ." Timpal pak Halim sambil berjalan memayungi Kinan.
"Waaa belum e Pak. ." Ia kemudian menghentikan jalannya, dan menyetop pak Halim "Aduh pak Halim, biasanya juga tau kan kebiasaan saya? Nggak usah di payungin. . Kayak saya nyonya - nyonya istri pejabat aja. ." Kinan tertawa meninggalkan pak Halim yang salah tingkah sambil mulai berlari kecil menuju pintu masuk utama. ID Cardnya ia gesekkan ke pengaman kunci yang setelah itu menyala dari merah ke kuning.
" Silakan scan retina anda." Suara perempuan dari komputer terdengar di speaker kecil samping pintu.
Kinan memejamkan mata kirinya dan membelalakkan mata kanannya di sensor retina yang terletak di pengaman kunci.
" Terima kasih atas identifikasinya, Kinan. Silakan masuk. " Suara perempuan tersebut di akhiri dengan bunyi pip lampu kuning yang berubah menjadi hijau, kemudian di iringi dua kaca jernih bertebal lima senti yang berfungsi sebagai pintu didepan Kinan yang kini bergeser terbuka.
" Aduh, semoga makanannya masih..." gumam Kinan.
Kinan berlari terburu-buru menyebrangi ruangan - ruangan yang dulunya merupakan toko - toko beretalase dan sekarang, telah beralih fungsi sebagai tempat pengembangan dan riset para anggota dari Tim Charlie. Setelah berbelok kiri, ia melihat pintu kaca yang menuju aula tempat makan dan rapat besar. Baru saja tangannya yang masih basah kuyup mau menarik pintu kaca besar tersebut, terdengar suara wanita yang memanggil.
" Kinan !" Panggil wanita tersebut. Wanita itu membawa laptop yang masih menyala serta tas ransel yang berisi kertas - kertas yang ia jejalkan terburu - buru. Retsleting tasnya pun hingga tak bisa tertutup rapat. Rambutnya yang lurus terurai segelap malam. Sebagai seorang yang mempunyai blasteran Batak-Frankfurt, wanita tersebut memiliki kulit yang seputih susu kental manis. Legit, dan menyenangkan bagi yang menikmati dengan indra penglihatan.
" Eh Tin? Elu belum makan juga po?" Ia ternyata adalah Tina, Rose Tina Ompusunggu, teman akrab Kinan yang bertugas sebagai anggota pengembangan teknologi di Tim Charlie.
" Belum Kin. Tadi baru ngerjain algoritma app buat ngehack, eh trus loncengnya bunyi sekali." Kata Tina sambil mendorong pintu kaca tergesa-gesa.
Hah. Bel sekali. Nggak ada makan siang berarti, batin Kinan. Bunyi itu mengartikan ada penawaran misi yang masuk. Kinan berniat ingin mengajukan dirinya dengan harapan bila ia tak kalah cepat dengan yang lain. Jatah orang biasanya di tentukan oleh Kapten Jaka, dan masih di bagi lagi menjadi jatah per tim.
Mereka berdua menuju ke deretan meja makan yang kini telah di penuhi seluruh anggota K.A.B.U.T kecuali pak Halim.
"Udahlah, sepele amat.. Toh gue juga udah nyisain jatah buat kita berdua kok di ruanganku.. Ayokk cepetann nyari tempaatt.." Pinta Tina sambil menggamit lengan Kinan. Mereka berdua masuk lalu duduk di bangku kayu panjang tak berlengan di pojokan aula. Dari kejauhan, suara mikrofon yang sedang di tata, membenging bergonta - gantian di speaker kanan kiri besar aula. Jaka berdiri dan mengetuk mikrofon tersebut dengan jari telunjuknya tiga kali, mengalihkan perhatian seluruh anggota yang berada di aula. Keheningan mendadak mengisi selama beberapa detik. Duh, mana aku duduk di belakang lagi, bakalan susah di notice Kapten nih, pikir Kinan gelisah.
" Saya menerima informasi bahwa pada akhirnya kita menerima penawaran untuk misi. Penawaran ini berupa video, saya terima lima menit yang lalu -- terima kasih untuk Adit tentunya -- dan kalian saya persilakan untuk melihatnya." Ucap Jaka sambil kemudian melirik layar putih sebesar delapan puluhan inci di belakangnya. Seorang pria pendek berada di meja panjang di belakang. Namanya Adit, anggota tim Bravo yang brewokan lebat dan gemuk, yang kemudian menekan beberapa tombol di laptopnya. Proyektor kemudian menyala dan menampilkan video.
" Selamat siang Pak Jaka. ." Sapa pria dengan baju kepolisian resmi NKRI. Terdengar grasak grusuk serta bisik - bisik di seluruh ruangan. Mereka semua mengerti betul siapa pria ini. Pria itu adalah Ahmadi Ez Ajra Umawy, Kapolri terpilih saat ini. Rambutnya pendek rapi, potongan resmi ala polisi. Wajahnya yang sudah lumayan tua, terlihat khawatir dan tegang, pucat.
" Tanpa basa-basi lagi, jadi begini pak Jaka..." Ia mengusapkan sapu tangan kotak-kotak ke dahinya yang berkeringat dingin sekali dengan pelan seraya menarik nafas panjang, lalu melanjutkan perkataannya.
" Kami telah kehilangan beberapa personil yang sedang kami tugaskan untuk mengintai pergerakan mencurigakan yang terjadi di Rumah Arang. Warga-warga sekitar mengeluhkan tentang hilangnya anggota keluarga mereka. Dan terakhir kali para orang yang hilang itu nampak, mereka terlihat di Rumah Arang sebelum tak ada kabar sama sekali. Maka dari itu, kami mengirimkan dua orang untuk menginvestigasinya, namun hingga kini orang kami tersebut tak kembali dan sama sekali tak ada kontak. Berikutnya, tiap kami mengirimkan personil kesana untuk menyelidiki, tak pernah ada yang kembali dengan utuh, setidaknya mereka yang utuh kembali dalam kantong mayat. Secara tiba - tiba, mereka terbaring begitu saja di depan kantor kami. Hari ini pun kami telah melakukan upaya penggerebekan,"
Pak Ahmadi berhenti sebentar, lalu suaranya terdengar kecewa.
" Namun kami malah hanya mendapati tempat itu telah kosong. Jadi tolong, pak Jaka. Kami akan memberikan hadiah yang lebih dari layak bila kalian dapat mengetahui apa yang terjadi, serta tambahan bila kalian dapat menemukan anggota kami yang hilang. Total anggota kami yang menghilang berjumlah delapan orang. Koordinat tempat, biodata para personil dan warga yang hilang, serta data otopsi dari orang-orang kami yang terbunuh akan kami kirimkan bila anda menyetujui misi. Saya memohon dengan sangat Pak, semoga permintaan misi ini anda terima. Terima kasih, pak Jaka.."
Cahaya di layar raksasa tersebut kemudian mengecil sekejap, mati.
Pandangan tajam Jaka menyapu ke seluruh aula yang terdiam.
" Ya, kalian telah mendengarnya. Saya bahkan tak bisa menentukan level bahaya misi ini. Bisa jadi level tiga, atau malah top secret. " Kedua tangan Jaka bertumpu di podium, badannya condong ke depan.
" Maksudnya top secret apaan sih? " Tina berbisik dengan tangan kanannya menutupi separuh wajahnya ke Kinan pelan.
" Gimana ya? Emm.. Elu gak tau apa yang terjadi di misi itu, kenapa itu terjadi, bahkan hasil akhir misi bisa berbeda dari yang kamu atau kita perkirakan. Kurang lebih kayak gitu. " Jawab Kinan, yang tangan kanannya bergetar tegang. Tina melongo, kemudian bergidik ngeri.
" Kita baru kali ini mempunyai tawaran seperti ini," Jaka melanjutkan, "serta belum pernah mempunyai misi dengan kemungkinan tingkat bahaya yang bahkan tak kita ketahui. Ketika kita mempunyai informasi tentang keadaan dan sasaran di misi - misi level tiga seperti misi - misi sebelumnya, sebahaya apapun, kita dapat menyusun strategi, persiapan, serta mengambil pertimbangan - pertimbangan yang matang. Namun, misi kali ini berbeda. Pikirkanlah dahulu sekarang sebelum mengajukan diri. Satu menit." Jaka kemudian menyalakan rokoknya dan berdiri menunggu seraya ikut berpikir, menentukan langkah yang harus di ambil.
Diskusi pelan dan obrolan - obrolan terdengar di seantero aula. Bara hanya terdiam, ia berdiri di pojokan ruangan sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, fokusnya melayang memikirkan Perancis. Lusa ia akan berangkat kesana. Ia sudah tak peduli lagi dengan misi apapun yang akan di terima K.A.B.U.T. Hatinya sudah mantap. Bara menyesap rokoknya yang telah memendek sebelum membuang dan menginjaknya. Tak mungkin ia mencalonkan dirinya untuk misi ini. Walau misi itu terdengar mustahil sekalipun bagi K.A.B.U.T, ia hanya dapat bersimpati pada para korban yang hilang atau terbunuh, serta teman - temannya yang akan menjalani misi ini.
" Pak," Pria tionghoa pendek berambut spike bermata sipit mengangkat tangannya.
" Ya Peter? " Sahut Jaka ke depan mikrofon.
" Ehm, " Peter berdehem. " Kira - kira berapa profit yang akan kita dapatkan bila misi ini selesai?" Tanyanya.
" Tiap - tiap dari kalian mungkin akan mendapatkan tambahan ratusan juta, tanpa pajak, mungkin bisa lebih. Dan tentu saja, bonus khusus bagi mereka untuk yang mengambil misi." Jawab Jaka tanpa basa basi.
Peter menyeringai. Selama tujuh tahun K.A.B.U.T berdiri, misi paling berbahaya kemarin adalah di Filipina. Ia, Bara, Roger dan Kinan saja "hanya" mendapatkan bonus delapan puluh juta di tambah pembagian rata seluruh pendapatan untuk personil K.A.B.U.T yang tak mengambil misi. Itu saja dia sudah sangat berterima kasih bisa pulang dengan anggota tubuh lengkap. Tentu saja, siapapun yang berhasil menyelesaikan misi akan memakmurkan K.A.B.U.T luar dalam.
" Oke, terima kasih Pak. " Si pria tionghoa itu terduduk kembali.
" Memang kau mau ambil ini misi? " Roger, pria berkulit hitam dan botak dengan logat khas timor timur, berkata pelan pada Peter yang duduk di sampingnya.
" Nggak, misi ini udah di luar akal. Aku ngandalin gaji bulanan sajalah buat rencana buka restoran. " Peter nyengir gugup sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
" Kau mau buka restoran pakai duit gaji bulanan yang cuma lima jutaan? Sampai kau jadi hitam sepertiku pun, kau tak akan bisa. " Roger menjawab sinis.
" Mending aku nunggu duduk diam dapat rejeki sambil berdoa daripada hilang.." Peter tersenyum sedih.
" Tapi benar juga ucapan kau. Matipun lebih mending daripada hilang macam itu.. " Sambil berdecak, Roger mengelus jenggotnya yang kasar dan kecil - kecil tajam.
Terdengar suara mikrofon diketuk.
" Satu menit habis. Ada yang ingin mengajukan diri? " Tanya Jaka.
Seluruh aula tetap hening, hanya ada gerakan - gerakan tak nyaman. Beberapa dari mereka bergeleng, ada yang pula yang menunduk, serta ada yang masih berdiskusi dengan temannya di samping kanan - kiri.
" Baiklah, ini adalah misi yang sangat krusial. Kita tak bisa membiarkan para polisi serta warga - warga tersebut hilang dan kehilangan lagi. Menimbang dari aspek kebaikan, kebenaran, serta kemanusiaan, maka..." Jaka bersuara serak pelan namun tegas.
Kata-kata Jaka tersebut adalah kalimat khas K.A.B.U.T yang di gunakan sebelum memastikan apakah sebuah misi akan diterima, atau ditolak. Para hadirin terduduk diam dengan seksama, tegang mendengar keputusan berikutnya.
" Misi ini kita terima. "
Ramai, aula tersebut mendadak riuh ribut. Beberapa orang mengangkat tangannya termasuk Kinan dan Tina. Bukan, bukan untuk menerima misi, namun untuk menanyakan berbagai hal yang telah penuh sesak di benak mereka. Penerimaan misi tanpa ada yang mengajukan diri seperti ini baru pertama kali terjadi di K.A.B.U.T. Jaka kemudian mengangkat tangan kanannya untuk mendiamkan anak-anak buahnya.
" Tenang dan silakan tetap tertib, saya, tentunya telah berpikir matang-matang. Kita harus tetap mengirimkan orang untuk misi ini. Saya sendiri yang akan memilih siapa yang akan dikirim." Ucapan Jaka terdengar dalam dan hati - hati. " Kita tentu saja tak ingin kehilangan beberapa orang dari kita sekaligus, mengingat betapa gelapnya pengetahuan kita tentang misi. Maka dari itu, tentu saja saya hanya akan mengirim satu orang untuk misi ini. " Tukasnya.
Sinting, Kapten Jaka udah gak waras.. Satu orang tanpa back up dan tim medis sama sekali? pikir Kinan sambil bertukar pandangan seraya menggelengkan kepala dengan Tina. Kini, ia berharap tak ingin terlibat dalam misi ini. Duit ya duit, nyawa ya nyawa, batin Kinan. Dan kini, Kinan berharap bahwa seseorang yang lain tak terpilih.
Bara mulai berjalan untuk keluar dari aula. Tangannya sudah ingin menarik gagang pintu kaca aula.
" Bara Sabda Raja, silakan melapor ke ruangan saya setelah ini. " Panggil Jaka. Gerakan Bara mendadak berhenti. Ia merasakan pusat pandangan dan perhatian seluruh teman - temannya terasa di punggungnya. Mata Kinan membelalak, tak berkedip sama sekali. Hal yang ia takutkan terjadi. Tina masih melongo. Bara membalikkan badan perlahan, mengangguk pelan kepada Jaka.
" Anda akan di tugaskan di misi ini. Terima Kasih. Veritas Aequitas.." Tutup Jaka, yang mengambil sikap siap, lalu meletakkan tangan kananya di dada kiri.
" Veritas Aequitas.." Jawab semua orang yang sempat teralih perhatiannya tadi sambil mengambil sikap yang sama.
Bara adalah yang pertama kali berjalan keluar dari aula. Ia tak mau melihat Jaka yang meninggalkan podium. Bajingan tua, batinnya. Bahkan, ia tak mau memandang teman-temannya. Perasaan dan pikirannya bercampur aduk. Marah, kesal, gelisah, serta bingung. Kenapa Jaka memilihnya? Lusa ia telah berangkat, dan semua orang mengetahui ini. Tentu saja, harusnya Jaka yang paling sadar. Gigi Bara gemeretak, darahnya mendidih. Pikirannya melayang antara Sorbonne dan Jakarta. Ia lalu mengambil payung yang tergeletak di dekat pintu masuk aula, lalu berjalan - jalan sendirian di taman kota di bawah hujan.
***