Kami berhenti di rest area. Akito mengisi bensin otomat sementara aku berjalan masuk ke minimarket, membeli botol air dan juga roti untuk sarapan. Akito bilang dia tidak lapar, jadi aku membeli bekal untuk diriku sendiri. Lagipula uangku memang terbatas.
Mobil Buick putih itu masih terparkir di tempat teduh— sebenarnya lebih tepat disebut gelap karena tersembunyi di parkiran paling pojok. Aku membuka pintu mobil dan melihat Akito menempelkan kening pada kemudi.
“Aku belikan kamu minum,” aku menyodorkan botol air mineral padanya.
Akito cuma menggeleng.
“Tapi kamu bisa dehidrasi.”
“Aku sudah minum tadi,” dia beralasan. Padahal aku mengawasinya dari dalam minimarket dan tidak melihat dia minum apapun.
“Oke, aku taruh di dasbor. Kalau haus ambil aja, itu punyamu.” Ucapanku hanya disambut dengan anggukan singkat olehnya.
Sedikit aneh melihat Akito bahkan tidak menyentuh botol air mineral yang kuberikan. Maksudku, dia ‘kan habis memanjat pohon, akrobat, serta lari-lari? Aku tidak terlalu pintar pelajaran eksak, tapi yang jelas aku tahu bahwa tubuh manusia akan kekurangan ion kalau beraktivitas terlalu giat. Butuh pengganti ion dalam tubuh.
Tapi memang Akito tidak terlihat kekurangan cairan. Dia masih seperti baru saja bangun tidur— sedikit pucat tapi teduh. Rambutnya berantakan dan kusut, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa dia masih Akito yang sama dengan yang kulihat di sekolah. Misterius. Seolah dia menebar huruf-huruf di sekeliling tubuhnya yang memerintahkan orang lain untuk tidak mendekat.
“Aku ada paman di Toshima,” aku menyebutkan alamatnya.
“Itu di Kota.” Akito mengangkat sebelah alis.
“Yah, yang terdekat cuma itu.”
“Oke, aku antar kamu ke sana. Setelah itu tolong aku sekali aja,” Akito menoleh, menatapku dengan sungguh-sungguh, “tolong jangan ikut campur soal ini lagi. Jangan cari tahu rumahku. Kalau ketemu aku di jalan, anggap aja kita nggak pernah ketemu sebelumnya.”
Ini terlalu mendadak, dan terlalu drama. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya, tidak mau berjanji. “Tapi kenapa?”
Mata Akito berkilat kesal, “Setelah semua ini kamu masih nanya kenapa? Apa cita-citamu untuk hidup biasa itu cuma omong kosong?”
Rasa panas merambat cepat menjalari kedua pipiku. Aku yakin wajahku sekarang pasti semerah tomat.
“Kamu belum kasih aku penjelasan apa-apa,” sahutku pelan. “Aku rasa ini nggak fair. Aku berhak tahu apa yang terjadi karena ini juga mempengaruhi hidupku.”
“Ada orang gila berlagak jadi Van Helsing! Apa itu belum cukup buatmu?” Akito mengerang, “Kamu bikin aku frustasi beneran! Apa aku harus menjelaskan kata per kata, menyuapi kamu dengan berbagai macam penjelasan dulu baru kamu ngerti?”
Aku tahu dia mulai kesal padaku.
“Kamu tahu sesuatu tentang hilangnya ingatanku,” ujarku, “dan aku mau kamu jawab tentang itu.”
“Kamu kerasa kepala sekali ya, soal itu?”
“Aku perlu tahu apa yang terjadi. Aku janji setelah itu nggak akan usik kamu lagi.”
“Sebenernya kenapa kamu terobsesi dengan satu bagian itu? Itu bagian yang nggak akan mempengaruhi hidup kamu.”
“Mempengaruhi atau enggak, bukan hak kamu untuk memutuskan,” ucapku tajam. “Maaf merepotkanmu soal ingatanku, tapi kunciku cuma ada di kamu. Dan setelah mengetahui soal itu, aku sendiri yang bakal mutusin ke depannya mau gimana, tanpa melibatkan kamu.”
Akito tertawa kering. “Tanpa melibatkan aku? Bisakah?”
“Maksudmu?”
“Gimana kalau ingatanmu yang hilang itu tentang aku?”
Aku menatap dia agak lama, mencoba menelaah apakah dia cuma sedang mengajukan pertanyaan yang sifatnya mengkritisi atau mencoba mengatakan hal jujur. Hasilnya nihil. Aku memang tidak berbakat menilai orang lain. Apalagi kalau orang lain itu adalah Nakamura Akito yang lihai berbohong dan sanggup memasang ekspresi wajah seperti apapun semudah mengenakan topeng. Raut mukanya kali ini benar-benar tanpa ekspresi dan tak terbaca.
“Aku nggak ngerti maksudmu,” akhirnya hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Kedengaran bodoh, tapi setidaknya jujur. Aku tidak tahu mau ke mana arah pembicaraan ini dibawa.
“Kamu bilang setelah kamu mengetahui apa yang kamu lupakan, kamu bakal menyelesaikan masalahnya tanpa melibatkan aku. Sekarang aku balik, gimana kalau hal yang kamu lupakan itu tentang aku? Kamu serius mau menyelesaikan tanpa melibatkan aku? Bisakah kamu janji setelah kamu tahu kamu tetap nggak akan melakukan apapun?”
Aku menggigit bibir. “Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa kalau nggak ngerti kondisinya.”
Ide tentang memiliki hal rahasia dengan Akito terdengar menggiurkan. Siapa tahu aku dan dia dulunya pacaran dan momen itu yang kulupakan? Tapi kemudian aku berubah pikiran. Kalau dia tidak mau aku mengingatnya, berarti tidak ada lagi cinta di antara kami. Lagipula dia cowok populer, tidak mungkin menyukaiku.
Aku tertawa sendiri. Apa sebenarnya yang sedang kulamunkan?
“Jadi, apa ingatanku yang nggak ada itu sebenernya ada hubungannya sama kamu?” aku memulai. Itu kedengaran masuk akal. Akito adalah kunciku. Masuk akal kalau apa yang kulupakan ada hubungannya dengan Akito. Lagipula semuanya terasa klop. Mulai dari potongan-potongan peringatan Akito yang aneh, sikapnya yang mengawasiku, perasaan tidak enakku padanya.
Tidak, ini jelas bukan soal cinta. Sepertinya ada sesuatu yang lebih kompleks antara aku dengan Akito. Kutatap dia yang masih menyandarkan kepala di roda kemudi.
“Tolonglah,” bisikku. “Nggak enak rasanya hidup tanpa masa lalu.”
“Jangan bicara omong kosong deh. Kamu kan masih ingat masa lalumu.”
“Oke deh, yang barusan memang hiperbola. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Aku juga jadi dikejar-kejar berkat kamu, masa nggak ada satupun penjelasan yang mau kamu kasih?” aku mencoba membujuk, keheranan sendiri karena dalam kondisi seperti ini, separuh dari diriku bisa tetap tenang dalam menilai masalah dan perundingan.
Akito menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan.
“Aku nggak bisa kasih tahu apa-apa karena sebenernya aku sendiri nggak tahu apa yang mau kamu tahu.”
Itu ucapan yang panjang dan membingungkan. Tapi karena tidak ingin Akito menganggapku bodoh, dan juga tidak ingin pembicaraan berhenti sampai di sini, aku mengangguk-angguk pura-pura paham.
“Kasih tahu aja apa yang kamu tahu,” ujarku, “petunjuk apapun sangat berarti. Aku cuma mau tahu apa yang terjadi dalam rentang waktu yang hilang itu.”
“Sama dengan yang kamu lakukan sekarang kok.”
“Apa?”
“Kamu nyari tahu di mana rumahku.” Akito menatapku tajam, membuatku entah kenapa jadi menunduk dengan malu. “Kamu menyelidiki ke banyak siswa tentang aku, nyari tahu di mana rumahku, dan berbohong sama tetangga kompleks rumahku untuk bisa punya alasan nyari di mana alamatku. Aku nggak tahu apa yang kamu mau. Aku sudah berkali-kali suruh kamu jangan dekati aku, tapi kamu nggak mau ngerti. Lalu kamu jadi nggak ingat apapun. Begitulah.”
Aku mengernyitkan kening. Pipiku mendadak panas lagi. Kenapa kedengarannya aku seperti stalker?
Apa aku memang menguntit rumah Akito? Atau dia cuma mengatakan itu untuk membuatku menyerah?
“Sudah puas?” dia bertanya.
“Aku masih nggak ngerti—“
“Wah sayang sekali, tapi memang cuma itu yang kutahu,” potong Akito cepat, kembali menyalakan mesin dengan caranya menggabungkan dua utas kabel.
Sekejap kemudian mobil kembali melaju melewati jalanan, menuju distrik Toshima.
Kami berkendara dalam diam. Akito asyik memperhatikan jalan sementara aku asyik dengan pemikiranku. Pelan-pelan kukeluarkan daftar hal yang membingungkan, yang masih kusimpan dalam secarik kertas. Kios buah Haruki tertulis jelas di situ.
“Nakamura-kun,” aku berkata sambil sedikit melambai untuk menarik perhatiannya. “Boleh tanya satu hal lagi?”
“Nggak sekarang, Chiaki-san,” bisik Akito tegang. “Nggak sekarang!”
“Kenapa?” aku menoleh padanya dengan heran. Akito tidak menatap padaku. Dia sedang melihat pada kaca spion. Tangannya memindah persneling, menginjak gas. Jarum di speedometer bergerak cepat ke angka 150. Aku melirik ke kaca spion, menangkap bayangan mobil van yang bergerak lurus dengan cepat menuju kami.
“Nggak mungkin!” bisikku kaget. “Itu bukan mereka, kan!?”
“Sayangnya memang mereka.” Akito menginjal pedal gas lebih dalam, ngebut melewati jembatan penyeberangan. Tokyo ada di arah lain, Buick putih ini justru menuju ke pesisir.
“Nakamura-*kun*, ini terlalu cepet!” jeritku sambil memakai sabuk pengaman dengan panik. Jari-jariku yang dingin mulai gemetaran, kesusahan mengancingkan sabuk pada pengamannya.
Akito tidak menjawab. Kami melewati banyak mobil dan motor. Banyak dari mereka membunyikan klakson keras-keras—yang terdengar sayup secepat kemunculannya. Mobil ini melaju terlalu kencang!
Seperti tidak peduli pada jalanan di hadapannya, van hitam yang mengikuti kami juga melaju ugal-ugalan. Aku berteriak kaget ketika melihat kendaraan itu menyenggol sebuah motor. Mobil berdecit dan sedikit terseok, tapi kemudian tetap mengejar kami.
“Setan!” bentakku kaget ketika melihat itu lewat kaca belakang. Mereka bahkan tidak berhenti untuk melihat keadaan orang yang mereka tabrak.
Akito memutar kemudi, membuatku menabrak kaca karena belokan yang tajam. Kepalaku berdenyut dan terasa sakit.
Itu mobil van! Harusnya van tidak akan secepat itu!
Tapi dalam sekejap mobil kami sudah berdampingan, padahal kami sudah melewati batas kota dan berada di jalan gunung. Sisi sebelah kiri jurang sementara yang kanan dinding tebing yang tinggi. Tanpa ragu-ragu sedikitpun, van hitam itu memepetkan bodinya. Bunyi logam beradu membuat musik yang gaduh.
Aku mencengkeram dasbor kuat-kuat. Hantaman berikutnya datang.
Akito menginjak rem kuat-kuat. Sabuk pengaman menarikku kuat, menahan tubuhku agar tidak terjengkal ke depan. Van itu tertipu dan masih melaju sampai sepuluh meter sebelum ikutan menginjak pedal rem dan berhenti. Sementara itu Akito sudah menggerakkan Buick berputar arah.
“Yes!” seruku sambil mengepalkan tinju. Van itu bodinya besar. Butuh waktu untuk berputar balik mengejar kami. Setidaknya kami bisa punya sedikit waktu untuk melebarkan jarak. Setidaknya itulah yang kupikirkan, sampai aku mendengar derum mesin mobil dan suara decit ban.
“Oh brengsek!”
Cuma itu yang bisa kudengar dari Akito.
Hal berikutnya yang kulihat adalah van gila itu berjalan mundur. Berjalan mundur!
Asap kenalpot bersatu dengan debu kerikil ketika melihat mobil melaju kencang seperti truk derek dalam film Cars. Sayangnya itu bukan truk derek yang setia kawan. Itu van hitam. Van hitam yang berisi orang-orang gila. Dan mereka akan menghantam kami sampai mati.
***
Previous | Next