Aku melihat lilin yang banyak, ada suara nyanyian ulang tahun. Kemudian lilin-lilin itu ditiup, mungkin oleh Kouta, dan segalanya jadi gelap. Sangat gelap.
“Chiaki-san, kau bisa dengar aku?”
Aku mengerang, tersedak. Siapa yang memanggilku Chiaki-san? Suara lelaki. Apa itu Kouta? Lucu sekali dia memanggilku Chiaki padahal namanya juga Chiaki. Lagipula, sejak kapan suara Kouta jadi sebesar itu? Apa dengan suatu cara, adikku yang dewasa itu benar-benar jadi dewasa secara fisik?
Ini konyol.
“Chiaki-san, tolong bangun sekarang.”
Ah, suaranya memerintah. Kouta memang selalu begitu, karena dia adalah satu-satunya anak lelaki di keluarga Chiaki. Dia kadang jadi sok memerintah.
“Buka matamu sekarang, Chiaki-san!”
Aku mendengar suara decit mobil dan derap langkah orang. Rasanya berat sekali membuka mata, tapi entah kenapa aku menuruti permintaan menyebalkan itu. Kouta jelas akan mendapat satu jitakan dariku.
Tapi ketika membuka mata, wajah yang kulihat terlihat berbeda meski tetap terasa familiar. Bukan wajah lugu tapi nakalnya yang biasa. Kouta entah bagaimana memang berubah besar. Eh, tidak. Itu memang bukan wajah Kouta. Bibirku terasa kering. Aku menatap kedua bola mata yang hitam pekat itu dengan bingung, “Nakamura... kun... ?”
Akito mendesah lega, bahunya yang tegang merosot turun.
Sekelilingku terlihat gelap. Aku mengerutkan kening. Apa yang kulakukan di luar? Di mana aku? Seluruh tubuhku terasa sangat sakit. Nakamura Akito menatapku dengan penuh syukur. Aku sendiri sedang terbaring di atas aspal. Aku bisa merasakan batu-batu di bawah punggungku. Sementara itu kepalaku terasa nyaman berada di atas sesuatu yang empuk. Aku menoleh, menyadari itu adalah tangan Akito. Dia membantuku duduk. Alam raya masih gelap. Hanya ada lampu temaram di tiap sepuluh meter jalan.
Aku menatap semua itu dengan kaget, kembali teringat apa yang kami hadapi. Apa yang menanti kami.
Akito mengusap kepalaku lembut, lalu dia berbalik dan berjalan maju menjauhiku. Aku ingin berteriak. Aku ingin memanggil namanya, mencegahnya pergi. Tapi tenggorokanku sakit, seperti terkail.
Di hadapan Akito, Imai dan Peter melangkah mantap.
Penampilan mereka kini acak-acakan dan mengerikan. Peter bahkan terpincang. Mata Imai berdarah sebelah, ditutup dengan perban yang bernoda bercak.
Rupanya kelelawar Akito berhasil membuat mereka terluka. Atau mungkin mereka terluka karena sebab lain yang tidak kutahu. Tidak masalah, yang penting mereka terluka.
Akito bergerak menjauh dariku. Aku menatap punggungnya dengan hampa. Apa yang bisa kulakukan dari sini? Apa yang bisa kulakukan untuknya? Apa kami harus berpisah seperti ini?
Akito benci kerusuhan. Meski menyebalkan dan juga dingin, dia tipe pribadi yang suka damai. Kalau tidak, kenapa lagi memangnya dia repot datang ke sekolah? Kenapa dia harus ikut campur setiap kali ada penindasan di kelas? Kenapa juga dia mendorongku untuk melupakan soal mayat di gang dan melanjutkan hidup? Dan bukankah dia tadi juga membelokkan mobil, menjauh dari jalan besar yang menuju kota? Bahkan meski dia menatap dengan sinis, dan bermulut ketus.
Aku menyadari, mau dia vampir atau manusia, atau bahkan penyihir sekalipun... pribadi Akito sangat baik. Dia bukan orang yang jahat. Aku mengerjap, membiarkan airmataku jatuh ke dagu.
Lalu sekarang, apa yang akan dia lakukan? Bukankah tenaganya sudah habis karena berkali-kali memanggil kelelawar? Bisakah dia memanggilnya sekali lagi?
Sekarang Akito berhadapan dengan jarak dua meter dari mereka. Di sisi kirinya ada dua buah mobil yang ringsek. Aku mengenali mobil sedan dan juga Camaro kami. Kap depannya berasap.
“Kalau aku ikut dengan kalian,” suara Akito terdengar jelas di tempat yang sunyi ini. “Kalian bakal membiarkan dia, ‘kan?”
Aku menelan ludah. Tenggorokanku sakit.
“Dia cuma manusia biasa,” ujarnya lagi.
“Sejak kapan kau peduli pada manusia?!” bentak Imai murka.
“Kau membunuh Takashi!” sahut Peter berang, mengokang senjata.
“Sembunyi.”
Aku mengerjap. Lagi-lagi suara Akito ada dalam kepalaku. Aku ingat pernah mengalami ini berulang kali, mendengar suaranya begini. Tanpa perlu membuatnya mengulang lagi permintaan itu, aku menyeret tubuh sedikit ke belakang, berlindung ke balik pohon baobab besar di tepi jalan.
“Hey, ceweknya kabur!” bentak Imai keras.
Jantungku mencelos. Seketika aku membeku seperti kena setrum. Aku bisa melihat dia menderap ke arahku. Sebenarnya pemandangan yang menakjubkan bagaimana orang sebesar itu bisa berlari kencang meski kakinya pincang. Tapi saat ini mangsanya adalah aku, dan harusnya aku tidak punya waktu untuk kagum.
“Nggak apa, cepat sembunyi, lindungi kepala.” Lagi-lagi suara Akito terdengar jelas. Bersamaan dengan itu, dia melompat cepat ke samping. Dia hanya seperti bergeser. Aku tidak melihatnya membuat gerakan lebar atau ancang-ancang jauh. Akito hanya seperti melangkah ke samping— padahal ia berpindah tempat sampai semeter di sampingnya.
Peter, yang sudah terlatih, menghentikan langkahnya dengan berguling ke tanah, menghindari tendangan tumit Akito. Imai mengokang senjata, melepaskan tembakan. Aku menjerit kaget, menjatuhkan diri ke tanah sambil menutup kepala. Seluruh tubuhku menggigil hebat. Setengahnya karena takut. Setengahnya lagi mungkin lapar. Perutku sangat kosong dan meliuk-liuk.
Terdengar suara tembakan beberapa kali. Aku tidak menghitung. Suara itu terlalu mengerikan. Tanah seperti bergetar karenanya. Aku mengangkat wajah, melihat Akito memelesat lagi ke belakang Imai, melayangkan pukulan. Imai sendiri sudah menghindar ke depan dengan berguling, lalu membuat tendangan menyapu. Peter menembak. Akito sudah lenyap.
“Jangan asal tembak, bodoh!” Imai membentak. “Bisa kena aku! Lagipula kita harus buat dia jatuh dulu!”
“Nakamura-kun...” bisikku ngeri.
“Sini,” bersamaan dengan bisikan itu, sebuah tangan menarik lenganku. Aku terkesiap, tapi bibirku sudah keburu ditangkup dengan tangan. Aku membelalak, menatap Akito yang memasang ekspresi memperingatkan. Entah sejak kapan dia sudah ada di situ.
Dia mengangguk padaku sebagai kode, dan aku balas mengangguk. Aku mengikutinya berlari ke dalam hutan. Kami lari menerobos semak perdu yang rapat. Suara kerosak daun dan ranting patah mengikuti kami, disusul teriakan-teriakan Imai dan Peter di belakang. Derap langkah mereka terdengar seperti gajah yang mengamuk.
“Mereka mengejar!” aku berteriak memberi tahu. Akito masih memegang pergelangan tanganku, menyeretku terus berlari meski semak-semak berduri menggores sekujur tubuhku, membuat leherku gatal. “Kita bisa ditembak!”
“Nggak, mereka nggak akan nembak.” Di luar dugaan, suara Akito terdengar jelas di sela sengal napas dan juga bunyi berisik langkah kami. Langkah kakiku maksudku. Akito bisa berlari tanpa membuat suara. Entah dia itu vampir atau ninja. “Peluru mereka tinggal sedikit. Aku menghitungnya tadi waktu mereka menembak. Mungkin sekarang tinggal tiga peluru lagi. Satu milik Peter, dua milik Imai.”
Aku tidak tahu bagaimana Akito bisa menghitung selagi dia bergerak menghindari serangan, aku juga tidak tahu bagaimana rumus dan caranya, yang jelas dia memang bisa diandalkan.
Tapi aku tidak.
Kakiku tersandung akar pohon dan tubuhku terjungkal ke depan. Wajahku duluan membentur tanah, membuat banyak lumut dan humus masuk ke dalam mulut. Aku terbatuk dan tersedak. Rasanya sakit untuk bernapas ataupun batuk. Selain rasa terbakar yang panas dalam paru, keram di pinggang, serta perih di sekujur tubuh, aku juga merasakan denyut mengerikan di kepala.
Di belakang, suara tapak langkah Imai dan Peter terdengar keras.
Akito berjongkok di sampingku, menelusupkan tangan ke sisi tubuh dan mengangkatku dari tanah. Aku terbatuk.
“Nakamura-kun,” bisikku kaget, tersengal. Mataku mengisyaratkan supaya ia lari duluan, tapi Akito menggeleng.
“Gomen, mungkin bakal sakit. Aku lari lebih kencang, ya.”
Aku mengangguk, menjerit kaget ketika tubuhku seperti terlontar ke belakang.
Aku merasa seperti meluncur tajam, bukannya digendong sambil berlari. Ini mungkin hampir menyamai kecepatan mobil kami barusan. Semak-semak dan pepohonan lewat seperti bayangan— tidak, sebenarnya kami yang melewati semua itu. Tumbuhan perdu menggores kakiku yang terjulur. Aku memejamkan mata, berusaha tidak terlalu memerhatikan tiap kali ada yang melukai.
“Pegangan padaku,” perintah Akito sambil berlari. Suaranya terdengar jelas meski sedikit tertiup angin. “Jangan bicara, nanti lidahmu tergigit!”
Aku memang sedang tidak mau bicara. Angin bertiup kencang karena gesekan udara, membuat rambutku menari acak. Kucir kudaku terayun liar di belakang.
Penasaran pada apa yang mengejar kami, aku melongokkan kepala ke belakang— terkejut melihat Imai dan Peter tetap masih terlihat. Mereka ini sebenarnya apa!? Aku mulai berpikir bahwa dua orang itu sebenarnya bukan manusia, mungkin sejenis juga dengan vampir.
Maksudku, kalau mereka memang manusia biasa, bagaimana mungkin bisa tetap mengikuti Akito yang berlari seperti setan?
Peter membuat gerakan yang aneh, sedikit menunduk. Aku menganga, tahu apa yang akan terjadi.
“Mereka menembak! Nakamura-kun!”
Akito tidak perlu mendengar teriakanku sebenarnya. Berbisik saja aku pasti sudah bisa membuatnya mendengar. Tapi melihat apa yang ditodongkan Peter dari jauh, mau tak mau aku menjerit panik. Mencengkeram bahunya kuat-kuat.
Sekejap kemudian Akito berbelok tajam. Tidak, dia tidak berbelok. Lebih tepatnya seperti melempar diri sendiri ke kanan. Dia melempar dirinya ke kanan dan berlari diagonal. Aku barusan hampir terlempar dari gendongannya. Sebenarnya akan lebih mudah berlari kalau dia menggendongku di belakang daripada gaya pengantin baru seperti ini. Tapi aku tahu bahwa Akito mencemaskanku. Dia pasti tidak mau ambil resiko aku tertembak kalau menggendongku di punggung.
Dia berlari secara zig-zag, menembus hutan makin dalam.
Aku melihat dia sama sekali tidak terlihat capek. Wajahnya kaku dan lempeng. Bahkan matanya berubah kosong. Apa ini mode vampirnya? Atau dia cuma mencoba berkonsentrasi?
“Mereka masih mengejar,” bisikku memberi tahu ketika melihat dua sosok hitam berlari setengah terseok mengejar kami.
“Kita nggak bisa lari terus.” Aku berkata padanya. Atau mungkinkah bisa? Bisakah kami membuat mereka kecapekan berlari dan pergi? Pertanyaan paling inti sebenarnya adalah, apakah dua orang itu bisa merasakan capek? Bahkan Akito pun harus mengisi kembali tenaganya setelah menggunakan kelelawar. Tapi bagaimana dengan dua orang itu sendiri?
Mereka sama sekali tidak kenal menyerah, terus-terusan mengejar seolah badan mereka terbuat dari robot. Akito masih tidak mau mengatakan apapun. Dia hanya menatapku sekilas dengan pandangan teduh, sepertinya berusaha menenangkan tanpa kalimat. Melihat itu, aku memang merasa sedikit tenang. Sampai kemudian terdengar suara letusan pistol.
***
Previous |
Next