The Third Eye
Part 114
Perbedaan Pendapat
Nasri segera mendekat ke arah Roni dan memegangi tubuhnya yang kini terbaring di tanah, darah segar masih mengalir dari mulutnya saat itu. Roni tampak sudah tidak sadarkan diri dan terkulai lemas tidak berdaya. Hal yang membuat ngeri adalah pocong yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua maju ke arah depan dengan melompat-lompat, pocong ini kemudian berkata kepada Nasri, "Nas! Ini aku! Kau tidak lupa kan, Nas?" bisik pocong ini pelan.
Nasri benar-benar tercekat mendengarkan suara yang baru saja ia dengarkan, rasanya ia kenal dengan suara itu. Suara ini milik Topan, teman mereka di masa kecil dulu, Nasri kemudian mengingat-ingat apa yang mereka bicarakan di pos satpam beberapa hari yang lalu saat menemukan wanita cantik yang pingsan di depan rumahnya sendiri. Roni pernah membahas, bahwa yang menjadi pocong itu adalah sahabat mereka sendiri Topan.
"Kau ... kau Topan?" ujar Nasri terbata-bata. Tanpa sadar tangan Nasri sudah lepas dari tubuh Roni dan berusaha menjauh dari pocong ini dengan cara mundur kebelakang. "Mau kemana, Nas? Tolong aku, Nas! Di sini panas!! Aku tidak tahan, Nas!" erang Topan sembari tubuhnya yang terbalut kain kafan berwarna putih bercampur lumpur itu bergetar dengan hebat.
"Apa yang bisa aku bantu, Pan? Kau sudah mati! Tidak mungkin aku membantumu untuk menemanimu di alam kematian? Aku masih mau hidup, Pan! Tolong jangan sakiti aku!" pinta Nasri sembari mengiba kepada pocong Topan. Topan hanya tersenyum sembari menunjukkan deretan giginya yang berwarna putih, namun yang membuat Nasri ngeri adalah wajah Topan yang berwarna hijau dengan muka yang hampir menyerupai tengkorak dan beberapa belatung yang jatuh dari bola matanya yang sudah berlubang membusuk berbau anyir.
Lutut dan kaki Nasri sudah mati rasa, bahkan untuk berlari ataupun kabur dari tempat ini ia sudah tidak sanggup lagi. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan harus bertemu dengan hantu Topan sahabatnya di masa lalu dulu. Namun bukanlah pertemuan dramatis antara seorang sahabat yang terjadi, malah pertemuan mengerikan seperti ini yang terjadi, "Nas! Kau bantu aku bukakan tali pocongku ini! Ada orang yang menjahati aku, ia tidak membuka tali pengikat pocongku dan membuatku menjadi seperti ini, Nas! Bantu aku, Nas!" erang pocong Topan.
Nasri benar-benar diam tanpa suara, lidahnya kelu untuk sekedar menjawab permintaan pocong Topan barusan. Bagaimana mungkin, ia harus membuka tali pocong Topan yang kini ada di hadapannya. Nasri bahkan tidak yakin, bahwa pocong Topan ini adalah benar-benar temannya di masa lalu. Masih terbayang beberapa film horor yang pernah ia tonton, ketika sang tokoh utama membantu makhluk gaib maka yang akan terjadi selanjutnya adalah sang tokoh utama atau figuran akan segera menjemput ajalnya.
Melihat keraguan yang besar di tubuh Nasri, pocong Topan kemudian melompat lagi sebanyak dua langkah dan kini sudah ada di hadapan Nasri yang masih menggigil hebat karena ketakutan, "Kenapa kau takut padaku, Nas? Aku tidak akan mencelakaimu, sampaikan saja kepada keluargaku agar melepas tali pocongku yang masih terikat di kuburanku. Aku minta tolong kepadamu, Nas! Apa kau tega melihatku bergentayangan seperti ini?" pinta pocong Topan mencoba meyakinkan Nasri.
Namun hal yang terjadi selanjutnya adalah Nasri sudah terkencing-kencing di celana, hal ini terlihat dengan kucuran air seni yang mengalir dari sela selangkangan celana satpamnya malam itu dan kemudian tubuhnya limbung tak sadarkan diri. Nasri terjatuh di tanah bersama dengan Roni yang sebelumnya terpelanting dengan muntah darah yang keluar dari tubuhnya. Pocong Topan kini menatap dari tempatnya berdiri yang sebenarnya ia tidak menyentuh tanah. Pocong Topan hanya melayang di udara dan kemudian terdengar suara parau dari pocong ini, "Kau mencoba untuk lari dari aku, Topan? Haha ... kau terlalu naif! Bukankah kita sudah berjanji untuk membalaskan dendammu yang lalu? Kenapa sekarang kau meminta agar orang lain melepas tali pocongmu? Kau ini bodoh, Topan!" terlihat pocong Topan berbicara sendiri dan kemudian menghilang di balik gelapnya malam.
Hanes dan Della kini masih sibuk menonton film yang mereka pilih sebelumnya, keduanya masih terpaku dengan layar besar di depan mata mereka pada saat ini. Hilang sudah suasana awkward yang sebelumnya terjadi karena Hanes yang menjahili Rosita teman Della. Hanes masih sibuk dengan popcorn yang ada di pangkuanya dan juga minuman bersoda yang kini ada di sebelahnya. Della yang cukup serius dengan film yang ada di depan mereka tampaknya masih terpaku dengan scene adegan-adegan yang ditampilkan dalam film ini.
Hanes yang merasa bahwa Della sangat fokus dengan film ini hanya menatap kearah Della. Ia terlihat memperhatikan wajah Della yang sesekali terlihat karena pantulan cahaya dari layar bioskop. Della yang merasa bahwa ia diperhatikan oleh Hanes kemudian menoleh ke arah Hanes, "Hmm ... ada yang salah dengan wajahku, Yank?" tanya Della penasaran. "Hmm ... iya ada yang salah yank?" ujar Hanes dengan raut muka serius. "Hah? Apa itu? Kalau begitu aku ke toilet dulu ya?" ujar Della sembari berniat untuk beranjak dari tempat duduknya saat ini. Hanes dengan cepat menarik tangan Della dan menyuruhnya duduk kembali, "Haha ... tidak kok yank! Aku hanya bercanda, aku hanya suka melihat wajahmu yang sesekali terpantul karena cahaya dari layar bioskop ini," bisik Hanes. Hanes tidak tau saja apa yang sebenarnya terjadi, wajah Della sudah bersemu merah karena malu ketika Hanes mengodanya seperti itu.
"Kau bisa saja, Yank?" ujar Della pelan. Hanes hanya tersenyum dan kemudian mereka berdua kembali fokus ke film yang mereka tonton. Tidak lama kemudian film ini pun selesai, Hanes dan Della segera beranjak dari teater film yang mereka tonton. Hanes yang cukup kedinginan dengan derai AC di dalam teater segera beranjak ke arah toilet untuk menuntaskan buang air kecilnya, sedangkan Della juga melakukan hal yang sama. Tapi alasan yang sebenarnya adalah untuk berdandan seperti wanita pada umumnya jika berada di toilet.
Setelah selesai buang air kecil, Hanes segera keluar dari toilet itu dan duduk di salah satu sofa yang ada di depan teater. Hanes masih menunggui Della yang masih ada di dalam toilet, namun tiba-tiba sosok yang tidak asing muncul di sebelah Hanes. Wanita dengan jubah hitam, wajah cantik namun pucat itu dan rambut yang tergerai panjang kini ada di sebelah Hanes. Lysa yang muncul dengan tiba-tiba hanya tersenyum ke arah Hanes yang masih sibuk memainkan handphonenya pada saat itu, "Kau ini dasar bocah!" umpat Lysa karena kesal dengan sikap Hanes yang seolah acuh tak acuh kepada dirinya.
"Hmm ... tiba-tiba muncul dan kemudian meledek aku? Kau ini masih saja seperti itu," balas Hanes seadanya. Lysa kemudian berkata kepada Hanes, "Bagaimana kencanmu hari ini? Lancar?" tanya Lysa seadanya. "Hmm ... iya lancar, Lysa! Wanita yang bernama Rosita tadi benar-benar kaget ketika kau tiba-tiba muncul di hadapannya seperti itu," ujar Hanes cepat. "Haha ... anak itu hanya mencoba menjadi peramal ataupun cenayang, ia hanya bisa melihat namun tidak seperti anak Indigo yang memiliki penjaga. Kalaupun ia memiliki makhluk gaib di sisinya itu tidak lebih dari makhluk gaib yang terkontrak dan biasanya adalah jin jahat. Oleh karena itu, aku sepakat untuk mengerjai anak itu," terang Lysa.
Hanes akhirnya mengerti dengan maksud Lysa menakuti wanita bernama Rosita barusan, ternyata intuisi Hanes yang tidak menyukai Rosita sama halnya dengan Lysa yang merasa terganggu dengan keberadaan wanita ini. "Oh iya ... aku hampir saja lupa, bocah! Apa kau merasa ada yang kau lupakan mengenai hubunganmu dengan Della?" tanya Lysa pelan. Hanes terlihat berpikir dalam diamnya dan ekspresinya seolah tidak tahu apa yang sebenarnya harus ia lakukan saat ini, "Hmm ... aku tidak tahu, Lysa? Memangnya apa yang lupa aku lakukan?" tanya Hanes cepat. Lysa hanya menggeleng dan berkata, "Memang laki-laki itu sejak dari jaman batu sampai jaman modern seperti ini sama saja, sama-sama tidak peka dengan keadaan sekitar ...," belum selesai Lysa menyelesaikan perkataanya barusan, Della tiba-tiba muncul dan Lysa segera berhenti untuk berbicara kepada Hanes.
Hanes yang menyadari adanya Della kemudian tersenyum, walau sebenarnya di dalam otak kecilnya ia sedang berpikir, apa yang sebenarnya lupa ia katakan atau lakukan kepada Della. "Ayo kita pulang, Yank!" ajak Della. Lysa segera menghilang sembari tersenyum ke arah Hanes yang sekarang sedang binggung dengan perkataan Lysa barusan.
Bersambung