The Third Eye
Part 121
Isi Surat Wasiat
Pov Hardy Van Hallen
Aku adalah seorang Pengacara dari salah seorang anak keluarga kaya yang berdomisili di Singapura. Jonathan sudah menjadi klienku selama kurang lebih 5 tahun belakangan ini, ia terakhir kali bertemu denganku beberapa bulan yang lalu dan berniat untuk membuat sebuah surat wasiat.
Ketika aku menanyakan untuk apa ia membuat surat wasiat itu? Jonathan hanya menggeleng dan berkata, “Kita tidak pernah tahu tentang umur seseorang Har! Aku hanya mencoba untuk menuliskan apa yang sebenarnya sudah menjadi hak untuk penerusku,” raut wajah Jonathan di kala itu tersenyum penuh arti, tapi aku tahu bahwa sebenarnya ia sedang berduka.
Jonathan memiliki seorang anak yang pernah ia tinggalkan di belahan Negara lain bernama Indonesia. Ia pernah menceritakan tentang kisah hidupnya sebelum ia bisa berada di Belanda, tentang bagaimana hubungannya dengan istri sebelumnya yang tidak akur dan kemudian diminta untuk pindah ke Negeri ini karena paksaan dari kedua orangtuanya. Ia meninggalkan seorang anak kepada seorang tua di sebuah daerah pinggir kota, sampai sekarang ia sangat ingin kembali ke Indonesia dan menemukan anaknya yang ia titipkan itu.
Aku tidak pernah menyangka umur Jonathan akan sependek ini di usianya yang baru menginjak 40 tahunan ia sudah harus meninggal dan tugasku sebagai orang yang memegang amanat dari Jonathan adalah membacakan surat wasiat atau pesan terakhir itu di hadapan keluarga besar itu malam ini.
Aku mulai melangkah ke arah dalam rumah besar ini, di sisi kiri dan kanan terlihat beberapa penjaga dan juga para maid yang bertugas membersihkan setiap sudut rumah, kebanyakan dari mereka berpakaian hitam dan putih. Aku yang sudah terbiasa dengan pemandangan rumah besar ini segera melangkah ke dalam sembari menenteng sebuah tas hitam yang berisikan berkas-berkas yang diperlukan untuk menerangkan tentang isi surat wasiat.
Sesampainya di dalam rumah, aku mulai bertemu dengan semua anggota keluarga dari klienku Jonathan. Aku berjumpa dengan Bobi, orangtua dari Jonathan, mantan istri, anak Jonathan dan beberapa kerabat dari Jonathan sendiri.
“Bagaimana apakah acaranya bisa kita mulai, Pak Hardy?” ujar Bobi dengan sopan ke arahku.
“Boleh ... aku sudah membawa semua yang diperlukan,” balasku dengan cepat.
Tidak lama kemudian, aku mulai membuka tas hitam yang kupunya dan mengeluarkan berkas yang berisikan surat wasiat. Aku segera membuka map itu dan kemudian duduk di tengah-tengah meja pertemuan dan mulai menjelaskan isi dari surat wasiat tersebut.
“Selamat siang, saya Hardy Van Hallen selaku Lawyer Pribadi dari mendiang Bapak Jonathan hari ini akan membacakan isi dari surat wasiat yang pernah ia buat bersama saya dan juga sudah ditanda tangani di hadapan notaris,”
SURAT WASIAT
Pada hari ini, Selasa tanggal 23 Juni 20** bertempat di Netherland. Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Jonathan
Tempat/Tanggal Lahir : Indonesia /22 januari 1965
Alamat : Jln. Sisingamangaraja No. 148 Rt. 5 Rw. 7 Jakarta Selatan.
No. KTP : xxxxxxxxxxxxxxxx
Bersama ini menerangkan hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa, saya adalah pemilik yang sah atas harta kekayaan di bawah ini :
Sebuah Tanah dan rumah Hak Milik seluas 30 ha dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 234/3456 atas nama Jonathan Jln. Sisingamangaraja No. 148 Rt. 5 Rw. 7 Jakarta Selatan.
Sebuah Ruko Hak Milik dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 1342/25643 atas nama Jonathan Jln. Sisingamangaraja No. 148 Rt. 5 Rw. 7 Jakarta Selatan.
- Sebuah tabungan deposito yang berada di dua Bank berbeda yaitu De Nederlandsche Bank dan Bank Mandiri di Indonesia dan Belanda.
Sebuah kendaraan roda empat merek Toyota Alphard nomor BPKB 54673825 nomor STNK 256743567812
Bahwa, harta kekayaan saya tersebut sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, pada saat ini tidak sedang terlibat dalam sengketa hukum apapun, tidak sedang dijadikan jaminan jenis hutang apapun, dan tidak sedang berada dalam penyitaan pihak Bank dan Instansi manapun.
Bahwa, saya bermaksud untuk menghibah wasiatkan harta kekayaan saya tersebut sebagaimana dimaksud angka 1 di atas kepada Hanes Maydianto Jonathan, Lisha Fransisca Jonathan dan Ananda Larissa Jonathan, anak kandung saya. Berdasarkan surat wasiat ini, yang namanya disebuatkan di atas serta bagiannya masing-masing sebagaimana yang akan saya nyatakan di bawah ini :
Agar melaksanakan wasiat di atas, maka dengan ini saya mengangkat Hanes Maydianto Jonathan, Lisha Fransisca Jonathan dan Ananda Larissa Jonathan sebagai pelaksana surat wasiat ini. Kepadanya saya berikan semua hak dan kekuasaan yang menurut undang-undang diberikan kepada pelaksana wasiat, terutama hak untuk memegang dan mengurus serta menguasai semua harta peninggalan saya, sampai kepadanya diberikan pengesahan dan pembebasan sama sekali.
Untuk melaksanakan surat ini, saya menitipkan surat wasiat ini kepada notaris Rudrigue Van Hammel, S.H., Llm. Notaris di Netherland yang saya kenal, dan kepadanya saya telah meminta dibuatkan akta penitipan atas surat wasiat ini.
Demikianlah surat wasiat ini saya buat, dengan disaksikan oleh saksi-saksi yang saya percaya.
1. Hardy Van Hallen (Lawyer) (tanda tangan saksi)
2. Annisa Robert, S.H (Pegawai Notaris) (tanda tangan saksi)
Yang berwasiat Notaris
Materai Rp. 6000-,
Jonathan Rudrigue Van Hammel, S.H., Llm.
Aku segera menutup map kuning yang aku bawa dan menyudahi pembacaan surat wasiat tersebut, reaksi dari mereka yang ada di ruangan ini terlihat tidak terlalu terkejut dengan isi surat wasiat tersebut. Apalagi Bobi yang terlihat tersenyum dengan isi surat wasiat tersebut.
“Baik ... itulah isi dari surat wasiat yang dibuat oleh Pak Jonathan bersama saya dan disaksikan oleh Notaris yang berwenang, oleh karena itu saya sebagai orang yang dikuasakan oleh Pak Jonathan akan mengurus tentang hak-hak anak Pak Jonathan yang sudah ia wasiatkan di dalam surat wasiat ini, terutama beberapa anak Pak Jonathan umurnya belum sepenuhnya dewasa.”
Ibu dari Jonathan kemudian angkat bicara, “Hmm ... aku tidak ada masalah dengan isi surat wasiat tersebut dan menerimanya, lagipula semuanya adalah hak dari cucu-cucuku yang manis. Aku juga berharap kalau kau Bobi! Agar bisa segera menemukan Hanes, aku ingin melihat bagaimana kabar cucuku yang menghilang belasan tahun yang silam,”
“Oh ... kalau itu kebetulan aku mendapatkan info dari Pak Jonathan bahwa anaknya ada di Indonesia dan titipkan kepada seorang tua yang alamatnya ada denganku. Mungkin nanti Pak Bobi bisa segera mencari tahu keberadaan anak pertama dari Pak Jonathan.” Ujarku dengan cepat.
“Mama ... apa aku memiliki saudara lagi selain kak Lisha?” tanya Ananda yang waktu itu ada di sebelah sang ibu.
Wanita setengah baya itu kemudian mengangguk, “Iya dek ... kamu punya seorang saudara tiri yang bernama Hanes. Ia adalah anak dari Papamu sebelum Papa menikah dengan Mama.” Wanita ini terlihat mencoba menjelaskan duduk masalah ini kehadapan anaknya baru berusia 16 tahun tersebut.
“Hoo ... kira-kira kak Hanes itu orang yang seperti apa ya, Ma? Aku ingin bertemu dengannya.” Ujar Ananda sembari tersenyum.
“Baiklah ... aku akan segera kembali ke Indonesia guna mencari anak dari Kak Jonathan dan juga membangun kembali bisnisku yang lama kutinggalkan di Indonesia.” Balas Bobi.
“Hmm ... kau masih ingin kembali ke bisnismu yang lama Bob?” tanya sang Ibu.
“Iya ma, aku berniat kembai untuk mengurus beberapa bisnis yang aku tinggalkan di Indonesia selama aku berada di Singapura.”
“Ada baiknya kau juga mengurus bisnis keluarga kita, sepeninggal Jonathan siapa yang akan meneruskan bisnis ini? Apa aku harus berharap kepada cucuku yang belum dewasa itu?” tanya sang ibu.
“Tapi ... apa tidak apa-apa, aku mengambil alih apa yang sudah dibangun oleh kak Jonathan selama ini?”
“Aku percaya kau dapat melakukannya Bob, lagipula kau adalah orang yang benar-benar mencintai kakakmu sendiri. Aku tidak yakin kau akan tega mengkhianati mendiang kakakmu ataupun keponakanmu sendiri,” ujar sang ibu.
“Baiklah ma ... aku akan segera melakukan apa yang mama perintahkan.”
Isi dari surat wasiat sudah selesai dibacakan dan tugasku sudah selesai, aku kemudian segera meninggalkan rumah besar ini dan segera beristirahat.
Bersambung