The Third Eye
Part 122
Pencarian Sang Keponakan
Pov Bobi
Aku masih sibuk berkutat dengan berkas-berkas perkerjaan yang menumpuk di atas meja kerjaku saat ini. Aku sebenarnya mulai lelah mengurusi banyak urusan dari setiap lembar berkas yang harus kupelajari dan re-check ulang tentang proposal ataupun pengajuan penunjang bisnis lainnya, bahkan sampai saat ini aku juga belum mengerjakan permintaan dari mama untuk mencari anak dari Kak Jonathan, tampaknya hari-hariku benar-benar akan sibuk belakangan ini.
Tidak lama kemudian seorang wanita dengan blazer berwarna cream, rambut yang dicepol ke atas dengan riasan make up yang terlihat natural memasuki ruangan kerjaku ini, ia tersenyum ke arahku dan kemudian menyerahkan beberapa berkas yang harus aku tandatangani setelahnya.
“Selamat pagi, Pak Bobi! Saya membawakan beberapa berkas yang harus bapak pelajari dan ditandatangani hari ini, berkas ini berisi tentang hasil rapat Direksi beberapa hari yang lalu dan juga pengajuan proposal untuk produk kita selanjutnya,” ujar wanita ini ramah.
Wanita yang barusan itu tadi adalah Magdalena, ia adalah sekretaris pribadiku di kantor ini, jikalau aku sedang tidak berada di kantor, maka wanita inilah yang akan menghandle beberapa perkerjaanku nantinya. Aku hanya tersenyum dan kemudian meminta wanita ini meletakkan berkas-berkas tersebut di atas meja kerjaku.
Belum sempat wanita ini meninggalkan ruangan kerjaku ini, aku segera memanggilnya kembali, “Mag, aku kemungkinan akan tidak masuk kantor untuk beberapa hari ke depan. Aku harap kamu bisa menghandle beberapa perkerjaan yang tidak bisa aku lakukan. Ada pertanyaan?”
“Memangnya Pak Bobi mau pergi kemana?” tanyanya dengan raut muka setengah terkejut.
“Aku ada urusan keluarga, tolong kosongkan semua jadwal untuk 1 minggu ke depan dan jika memang ada yang urgent silahkan hubungi aku nantinya,” pesanku kepada Magdalena sekretarisku ini.
“Baiklah kalau seperti itu, pak!”
Tidak lama wanita cantik ini segera berlalu dari dalam ruangan kerjaku, tinggal aku sekarang yang mulai kembali fokus mengerjakan beberapa deadline yang harus segera diselesaikan hari ini juga, karena mulai besok, aku akan memenuhi permintaan mama untuk mencari keberadaan keponakanku yang tidak lain adalah anak dari Kak Jonathan.
Langit tampak indah hari ini, sinarnya cukup cerah hingga membuat silau ketika mata harus memandang ke arahnya. Aku mulai beringsut bangun dari atas tempat tidurku dan segera melihat ke arah jam dinding yang tergantung rapi di dalam kamar.
“Argh ... sial! Aku kesiangan,” umpatku kesal ketika melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 Wib.
Dengan langkah gontai, aku segera menuju ke dalam kamar mandi dan mulai membersihkan setiap jengkal tubuhku ini. Aku segera menyudahi mandiku pagi itu dan bergegas berganti pakaian setelah semuanya selesai. Aku segera membuka berkas yang telah diberikan oleh Hardy Van Hallen yang merupakan Pengacara pribadi Kak Jonathan, kebetulan ia telah memberikan alamat yang dibutuhkan untuk menemui di mana kakakku menitipkan anaknya kepada seorang lelaki tua di daerah pinggiran kota.
Aku segera menghidupkan mobilku dan segera meluncur ke tempat yang dimaksud, tidak butuh waktu lama sekitar 2 jam perjalanan akhirnya aku tiba di sebuah perkampungan di sudut kota, setelah bertanya ke sana ke sini, akhirnya aku tiba di depan rumah yang dimaksud. Aku hampir tidak yakin, bahwa ini adalah rumah yang dimaksud, rumah ini terlihat seperti tidak dihuni selama beberapa waktu, rumah yang cukup kumuh dengan dinding-dingin kayunya yang mulai keropos karena lapuk termakan usia. Aku juga menjumpai pintu pagar yang sudah bisa tertutup dengan semestinya dan mulai berkarat. Aku berniat menemui seorang lelaki tua yang merupakan pensiunan TNI, menurut isi dari pesan yang dititipkan kakakku kepada Hardy, bahwa keponakanku itu tinggal di rumah ini.
Aku segera mengetuk pintu ini beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Aku masih terus mencoba hingga tidak lama kemudian ada suara dari dalam rumah ini yang terlihat sangat gelap, entah apa yang dipikirkan sang pemilik rumah hingga tidak menyalakan lampu rumah di keadaan rumah yang gelap gulita seperti ini.
“Waalaikum salam, siapa di luar?” sahut suara seseorang dari dalam rumah.
“Aku Bobi, aku mencari Pak Purnadi, apakah beliau ada di dalam?” tanyaku sopan.
Tidak lama kemudian seorang anak muda berumur sekitar 15 tahun keluar dari dalam rumah ini dengan mukanya yang masih tampak kucel seperti bangun tidur, namun dibalik itu semua aku terkesima dan tidak bisa berbicara apa-apa lagi, anak ini benar-benar mirip dengan mendiang kakakku Jonathan.
“Maaf ... kakek sudah meninggal beberapa hari yang lalu, kalau boleh aku tahu paman ini siapa ya?” tanya anak ini kepadaku.
“Namaku Bobi, aku adalah adik dari Jonathan, beberapa belas tahun yang lalu kakakku menitipkan seorang anak kepada Pak Purnadi, anak itu dibekali dengan beberapa uang, emas dan juga sebuah kalung liontin berwarna perak, nama anak itu adalah Hanes dan tampaknya aku sudah bertemu dengan apa yang aku cari,” ujarku cepat.
Begitulah pertemuan singkatku dengan anak yang aku cari selama ini, anak yang merupakan penerus dari perusahaan kedua orangtuaku dan juga penerus dari kakakku, sedangkan aku sendiri? Aku belum menikah dan mempunyai anak, bahkan berpikiran ke arah sana pun tidak. Aku masih suka untuk bergerak bebas di usiaku yang mulai menginjak angka 32 tahun saat ini, tapi mungkin dalam waktu dekat aku juga merindukan seorang anak dan juga keluarga, apalagi setelah aku melihat Hanes anak dari kakakku ini. Aku seperti bernostalgia dan melihat kembali wujud kakakku ketika kami masih kanak-kanak.
Bersambung