Potongan 11
Cai Nir bertepuk tangan, menyambut kehebatanku dalam membuat taktik menyerang.
“Astaga! Aku benar-benar tidak menduga kau berhasil mencuri batu itu,” ia berjalan sambil tetap membenturkan telapak tangan, “Padahal aku mengira paling maksimal kau mengetahui kelemahanku, tapi ternyata kau malah berhasil merebut batu itu. Hebat betul kau,” Cai Nir terus memujiku.
“Eh-, kau tidak perlu menyembunyikan batu itu. Kau sudah lolos dalam tantangan ini,” Cai Nir memperjelas. Aku di depannya berekspresi tidak mengerti. Ia tidak terlihat kelelahan sama sekali, malah bugar, setetes keringatpun tidak ada yang merembesi bajunya. Dia sendiri yang bilang aku harus membuatnya kewalahan melawanku.
“Aku hanya bergurau soal itu,” ia berjalan lebih dekat denganku. Aku melangkah mundur, masih mengira tantangan ini belum selesai. Tapi ia tidak mempermasalahkan itu, tetap berjalan ke arahku dengan sunggingan senyumnya. Melihat senyum ramah itu, aku mulai mengerti.
“Bagus sekali, akhirnya kau sudah mengerti,” ia berucap saat aku berhenti dan menyodorkan dua batu itu. Ia mengambilnya, lantas memasukkannya ke dalam saku.
“Selamat anak muda! Kau lolos di tantangan ini!” ia kembali mengucapkan itu sambil menepuk-nepuk bahuku, memelukku. Aku yang masih belum mengerti menerima saja perlakuan itu.
“Tapi...” aku ingin mengucapkan sesuatu.
“Yah. Aku memang bergurau soal itu,” Cai Nir kembali menjelaskan, “Kunci dari tantangan ini adalah kemampuan mengidentifikasi kekurangan musuh. Dan kau melakukannya lebih dari itu, kau berhasil memojokkanku dengan mengambil batu api itu. Tentu aku tidak akan dapat melakukan manipulasi api jika sumber api tidak ada.” Cai Nir tersenyum.
“Dan rupanya kita punya kesamaan. Sama-sama membutuhkan objek manipulasi yang tidak bisa di bawa kemana-mana,” ia melepas pelukannya.
“Tapi setidaknya kau dapat membawa batu api itu dan membuat api sesukamu dengan kedua batu itu,” aku membalas kecut. Jelas, Pemanipulasi Api lebih mudah memperoleh objek manipulasi daripada Pemanipulasi Air. Cai Nir terkekeh tipis. Aku menoleh. Kenapa ia tertawa?
“Justru itulah tugas pentingmu. Bukannya itu seru?” ia berkata enteng. Seru? Apa ia tidak salah? Melihat ekspresi keberatan dari wajahku, Cai Nir kembali menjelaskan.
“Kau tahu? Justru aku ingin sekali di posisi Pemanipulasi Air. Aku ingin mencari cara yang paling tepat untuk mengatasi keterbatasan objek manipulasi itu. Pasti membanggakan kalau sampai aku menemukan caranya,” Cai Nir berjalan ke tengah lapangan. Tanpa disuruh, aku mengikutinya.
“Tapi semua sudah ditentukan. Aku bersyukur dengan kekuatan manipulasi api ini. Dan aku serahkan keinginan besarku itu untuk kau jalankan. Aku ingin melihat cara apa yang kau temukan agar keterbatasan objek itu kau atasi,” Cai Nir terus berbicara tanpa pernah berbalik melihatku. Aku di belakangnya merasa diberati dengan permintaannya itu. Tak lama, ia kemudian memutar kakinya, berbalik.
“Jangan kecewakan aku, Wethen.” Cai Nir tersenyum. Syahdu menyebut namaku. Bagaimana ia bisa mengetahui namaku? Tidak pernah sekalipun selama berjumpa dengannya aku menyebut namaku. Aku membuka mulutku, hendak menanyakan itu. Tapi kalimatku seperti tertahan di tenggorokan saat Cai Nir kembali menjentikkan jari. Suasana lapangan rumput kecil-kecil itu menghitam, seperti di selimuti awan gelap. Perlahan dan pasti, mataku hanya menangkap gelap.
***
Tanpa kuketahui apa yang sebenarnya terjadi, aku sudah tiba di tanah hutan perbatasan. Aku menolehkan kepalaku. Di samping kananku berdiri Lesta dan Krift dan Retoni di samping kiriku. Posisi kami berbaris, seprti telah diatur memang. Mereka juga tampak kebingungan.
“Kenapa tiba-tiba aku ada di sini?” Retoni menyahut. Ia menoleh kepadaku. Lesta dan Krift di sampingku sudah bergerak dari posisi awal. Memilih duduk dan menghela napas.
“Aku juga tidak tahut Ret,” aku hanya membalasnya begitu lantas juga memilih menjatuhkan pantat di permukaan tanah. Hari ini sudah beberapa kali kami berlari, menyerang, memukul, diracuni, berlari lagi, menyerang, memukul, berpikir keras dan pekerjaan lelah lainnya. Entah tantangan apalagi yang akan kami hadapi selanjutnya.
“Padahal aku baru saja hampir memukul wajah laki-laki yang menjengkelkan itu,” Krift mengiyakan pertanyaan Retoni. Aku kemudian memperhatikan mereka. Baju mereka kotor dengan keringat dan debu, sama sepertiku. Retoni mengelap keringat di dahinya, dan aku melihat goresan di pelipisnya. Mereka pasti juga telah melewati tantangan “Kenali Musuh”.
“Bisa kalian ceritakan kepadaku tentang tantangan kalian tadi. Aku jadi penasaran dengan penguji kalian. Mereka pemanipulasi apa?” aku bertanya. Mereka, walau tidak bersamaan, menghela napas berat. Seperti lelah mengingat kejadian tadi.
“Pengujiku adalah seorang Pemanipulasi Besi. Benar-benar lawan yang tidak cocok denganku. Dia dengan mudah meletuskan gelembung-gelembung dengan jarum-jarum kecil hasil manipulasinya. Gerakan dia juga gesit, membuatku kewalahn membentuk gelembung pelindung kala ia menyerang.” Retoni menjawab.
“Tapi sebelum ia berhasil mengurungku di balik kerangka besi, suasana di sekitar kami menggelap dan tak lama sudah tiba di sini. Beruntung.” Lanjut Retoni.
“Malah hal itu merugikanku Ret,” Krift menyela, “peristiwa yang membawa kita ke sini itu membuatku gagal memukul Pemanipulasi Anging itu. Aku benar-benar kesal dengannya. Berkali-kali ia menerbangkanku.” Krift berapi-api menjelaskan, jengkel. Aku dan Retoni hanya mengangguk-angguk.
“Sementara kau Lesta? Daritadi hanya diam,” aku beralih menegur Lesta. Dari tadi ia hanya diam.
“Menjengkelkan,” singkat Lesta menjawab.
“Menjengkelkan bagaimana?”
“Pengujiku bukan salah satu dari empat orang itu. Entah bagaimana caranya, malah pemuda genit itu yang muncul di hadapanku,” terang Lesta. Pemuda genit?
“Apa si Mata Lentik,” Krift cepat menyela. Lesta tidak bergeming, memilih diam.
“Diam berarti iya, hahaha!” Krift tertawa, “Malang betul nasibmu, hahaha!” Krift kembali tertawa. Aku dan Retoni sebenarnya hendak tertawa juga, tapi melihat wajah Lesta yang mendongkol membuatku hanya bisa menahan tawa. Tapi sebenarnya kami butuh hiburan setelah melewati tantangan itu.
“Entah hanya perasaanku atau tidak,” Lesta kembali menyahut, “Tantangan kali ini lebih aneh dari yang pertama,” Lesta akhirnya merilekskan kepalanya, mulai menoleh kepada kami, “Bagaimana bisa seseorang dapat memindahkan kita berempat di tempat yang berbeda?”
“Kau salah Lesta,” aku menyelanya, “Di Pihak Kerajaan memang terdapat beberapa orang yang dapat memperoleh kekuatan yang tidak pernah kita lihat. Tergantung dari pribadi dan usaha mereka masing-masing,” aku menjelaskan. Akhirnya ada satu hal yang tidak diketahui gadis itu.
“Tapi kenapa harus hanya di Pihak Kerajaan?” Lesta balik menanyaiku kritis. Aku diuji oleh gadis itu. Tidak apa. Lihat saja, siapa yang akan tercengang.
“Itu karena Pihak Kerajaan punya Permata Merah hasil dari pengorbanan Raja Neje. Permata itu sumber kekuatan supranatural yang cukup kuat. Aku tidak tahu bagaimana mekasnismenya. Tapi yang jelas, dengan Permata Merah itu beberapa penghuni kerajaan dapat memperoleh kekuatan baru. Tapi perlu ditekankan, hanya beberapa dan sangat langka terjadi.” Tandas aku menjelaskan. Di sana, Lesta tampak tidak terima dan kembali diam.
“Baiklah. Ayo kita lanjutkan perjalanan,” aku berdiri pertama kali. Entah karena apa, aku menjadi lebih bersemangat mengikuti Kompetisi Pelindung ini. Aku berjalan menuju bawah pohon, mengambil tas besarku. Tiga temanku malas-malas berdiri tapi tetap saja mengikutiku mengambil tas. Kami melanjutkan perjalanan.
“Tapi sebelum kalian benar-benar menghilang dari tempat kalian diuji apa kalian sempat mengetahui kelemahan penguji kalian?” aku bertanya. Dari penjelasan Retoni dan Krift, kurang memuaskanku kalau mereka kembali di sini karena telah mengetahui kelemahan penguji.
“Pernah,” Retoni menjawab, diikuti anggukan Lesta dan Krift.
“Tapi kenapa kalian tidak kembali di sini saat kalian sudah mengetahui kelemahan penguji kalian. Bukannya kunci tantangan tadi adalah mengetahui kelemahan musuh–dalam hal ini penguj?”
“Aku tidak tahu masalah kunci tantangan itu. Aku hanya mengikutinya saja. Pengujiku tadi hanya bilang baru akan kembali di tempat semula jika urusan Cai Nir selesai. Padahal jelas-jelas aku tidak mengetahui apa yang dilakukan Cai Nir,” Lesta yang menjawab. Lagi-lagi yang lain yang mengangguk. Rupanya mereka tidak tahu kalau Cai Nir yang mengujiku. Dan itu berarti aku yang memperlama pengujian mereka. Andai saja aku terlalu lama berurusan dengan Cai Nir, mungkin saja di antara ketiga temanku itu sudah ada yang terluka parah. Retoni saja sudah terkena goresan besi. Aku merasa bersalah pada mereka.
“Memangnya kau kenapa dari tadi terus menanyakan hal itu? Bukankah setelah kembali di tempat ini tantangan itu selesai dan kita lolos ke tahap berikutnya? Memang aku tidak tahu apa alasannya kita lolos begitu saja, tapi yang penting kita lolos kan?” Lesta menyerbuku.
Yah, aku tahu. Tapi sayangnya kau tidak mengerti apa yang aku tahu, jadi kau bingung seperti ini, omelku dalam hati.
Aku tidak menjawab pertanyaan berderet dari Lesta. Lesta yang di sampingku mungkin menunggu jawaban. Tapi aku tidak peduli, dan lagi pula ia sudah terbiasa dengan tabiatku yang seperti ini. Kami terus berjalan. Jalan yang kini kami lewati sudah bukan lagi semak tinggi-tinggi yang seperti tadi. Sudah semakin pendek dan tidak perlu dipangkas.
Matahari di atas kami kian menua, menjelang sore. Tapi kami tidak tahu secara pasti berapa lama lagi kami akan sampai di desa dekat kerajaan dan berjalan lagi hingga menemui gerbang istana, berbicara sopan pada penjaga dan diizinkan masuk untuk mengikuti tahap selanjutnya.
“Persediaan air kalian masih banyak?” suaraku mengganti bunyi gesekan rerumputan.
“Masih ada. Banyak malah,” Lesta yang menjawab. Kalau berbicara dalam hal frekuensi berbicara pastilah selalu Lesta yang menduduki peringkat pertama. “Memangnya kenapa?” Lesta bertanya balik.
“Tidak. Aku hanya memastikan. Persediaan airku sudah seperempat dari yang tadi,” aku menjawab santai.
“Astaga! Kau harus menghemat-hemat air Wet. Kau bisa mati di perjalanan ini tanpa air. Kenapa pula cepat sekali habis? Perasaan baru sejam lalu kita mengambil air dari pohon aneh itu, dan sekarang sudah hampir habis saja” Lesta kembali berucapt. Sudah seperti Bibi Gun si Lesta ini.
“Wajarlah Lesta, Wethen seorang Pemanipulasi Air. Kalau ia menghemat air dan memilih tidak menggunakannya pada pengujian tadi pastilah ia tidak akan seutuh ini kembali. Atau mungkin saja sudah tidak kembali, sudah dikubur oleh pengujinya,” Krift menyahut dan terkekeh. “Pemanipulasi Air tidak akan sekuat apapun jika tanpa air, Les,” Krift kembali menyahut. Sebenarnya perkataan terakhir itu agak mencolekku, tapi entah, setelah mendengar penerangan dari Cai Nir, aku dapat memaklumi hal itu.
***