Potongan 13
Tanpa perlu disuruh, Krift spontan melakukan gerakan manipulasi, membentuk benteng besar di depan kami. Orang-orang itu kembali menyerang kami dengan sesuatu, tapi bukan anak panah. Sedetik hanya desahan sakit Lesta yang kami dengar, aku hendak berjalan ke Lesta waktu itu. Namun dengan cepat, sangat cepat, terdengar ledakan dari belakang benteng yang dibuat Krift. Benteng itu rubuh, perlahan berjatuhan dan siap menimpa Lesta.
“Lesta!” teriak kami panik. Reruntuhan itu tidak dapat kami cegah, jatuh menimpa Lesta. Dengan terburu-buru kami berusaha mendekati timbunan tanah itu. Di baliknya ada Lesta yang terluka dan sekarang malah tertimpa reruntuhan tanah. Tapi langkah kami tertahan, salah satu dari orang berjubah itu kembali menyerbu kami dengan benda yang berbentuk bulat. Kami melangkah menjauh, sudah pasti itu peledak atau sejenisnya. Benda itu pula yang tadi mereka lemparkan.
Dan benar. Tidak lama setelah benda bulat itu mendarat, tanah di sekitanya berlubang, menimbulkan asap dan percikan-percikan ledakan. Aku terkena percikan itu.
“Kau urus saja ketiga anak ingusan itu. Mereka lemah, mudah kau kalahkan. Buktikan kalau kita dapat menyerang siapa saja yang mencoba membantu Pihak Kerajaan,” kalimat salah satu di antara mereka kudengar. Sial. Mereka sangat meremehkan kami.
Lalu mereka meninggalkan kami. Menyisakan satu orang berjubah di depan kami sekarang. Dengan masih memegang lengan yang terkena percikan, aku mengarahkan tanganku ke arah samping. Di sana ada danau yang sempat kulihat tadi sebelum mendengar teriakan Lesta. Retoni dan Krift sepertinya juga mengerti dengan kondisi ini. Mulai mengambil kuda-kuda bertarung.
Maaf Lesta, kami harus mengurus orang yang berlagak ini.
Aku memanipulasi air yang sekarang mengambang di atasku menjadi berpuluh es-es meruncing. Mengarah pasti ke orang berjubah itu. Orang itu tidak bergeming dari tempatnya, benar-benar merendahkan kemampuan kami.
Aku menghentakkan tangan ke depan, puluhan es meruncing itupun melesar cepat ke arah orang berjubah. Sekali lagi orang itu tidak menggeser sesentipun kaki dari tempatnya. Aku benar-benar geram dibuatnya. Ia begitu sombong.
Hingga kemudian, dari tempatnya berdiri tadi, debu-debu tanah menguar. Dari balik saputan debu itu dapat kulihat bayangan seseorang karena terterpa sinar rembulan. Tapi bayangan itu tidak bergoyang, tetap kokoh berdiri. Sampai debu itu menghilang, orang itu masih berdiri dengan tegap. Di depannya, es-es runcing yang kukirim tadi menancap di permukaan tanah. Bagaimana bisa ia melakukan itu, orang macam apa yang dapat menghindar segesit dan seakurat itu?
Tanah kering berukuran besar terlempar keras menuju orang itu. Krift melakukan serangan tanpa menunggu orang itu bergerak. Dan mudah orang itu menghindar. Benar-benat cepat, bahkan aku tidak dapat melihat gerakannya menghindar, seperti menghilang.
Retoni tidak tinggal diam, ia mengeluarkan gelembung peledak dengan kecepatan yang ia usahakan. Dan memang gelembung itu bergerak lebih cepat dari biasanya. Tapi itu sama saja, orang yang kami lawan sekarang mempunyai kecepatan di atas rata-rata. Gelembung itu meledak percuma. Hanya meledak di atas tanah yang tadi dipijaki orang itu. Orang itu bergerak sangat cepat. Sekarang ia selangkah lebih dekat dengan kami.
Ia mulai berjalan mendekati kami, perlahan saja, karena ia sangat yakin dapat mengalahkan kami. Kami melakukan gerakan manipulasi, memprediksi hal apa saja yang harus kami lakukan. Namun tiba-tiba langkah orang itu terhenti, sebelumnya terdengar pukulan yang keras. Lalu ia tejatuh.
Wajah dan tubuh besi Lesta tertampak setelah orang itu jatuh. Namun perubahan tubuh itu sebentar saja. Sedetik kemudian tubuh Lesta kembali menjadi tubuh awalnya dan jatuh tersungkur. Luka dibetisnya membuat perubahan itu tidak sempurna. Meski ia seorang Pemanipulasi Tubuh tetap saja luka namanya luka, tidak bisa diobati dengan memanipulasi sel-sel tubuh.
Aku berlari ke tempat Lesta. Kondisinya benar-benar parah. Sekarang aku berjongkok melihat kondisi Lesta. Aku merobek lengan bajuku, menyumpal luka Lesta dengan itu. Darah keluar deras dari luka itu setelah Lesta mencabut anak panah. Beruntung panah itu tidak terlalu dalam menancap.
“Bagaimana bisa bagian tubuhmu yang lain tidak terluka? Kau tertimpa runtuhan benteng tanah?” tanyaku pada Lesta.
“Memang kau menginginkan hal itu terjadi, hah!?” Lesta menjawab sebal. Walau dalam kondisi seperti ini, ia tetap saja cetus. “Aku sempat memanipulasi tubuhku menjadi besi. Tindakan itu membuat tubuhku tidak merasakan sakit tertimpa reruntuhan,” Lesta menjelaskan meski dengan nada kesal.
Tanpa memperdulikan celoteh Lesta, aku tetap sibuk mengurusi luka di betisnya. Sesekali Lesta mengaduh karena merasakan sakit sambil mengataiku tidak becus mengobati. Tapi aku tidak peduli, tetap bergegas menyelesaikan pengobatan ini. Dari sini, orang-orang berjubah itu sudah memanjati dinding pagar istana.
“Sebaiknya kau tetap di sini, Les. Bersembunyi saja di antara bebatuan itu,” aku menunjuk bebatuan di dekat pohon yang agak besar. “Kau tidak mungkin bisa bertarung dengan kondisi seperti itu,” lanjutku. Lesta tampak tidak setuju.
“Benar yang dikatakan Wethen, Les,” Retoni mengiyakan perkatakaanku dari belakang. Lesta jadi semakin tidak suka.
“Memangnya aku gadis lemah?” Lesta berusaha berdiri, “Aku akan ikut membantu pihak kerajaan apapun resikonya. Titik!” tegas Lesta. Aku membiarkan dua detik berlalu setelah mendapat respon itu.
“Sudahlah. Biarkan saja ia ikut. Terserah dia saja nanti, mati atau hidupnya urusan dia,” Krift menyela yang membuatku dan Retoni geram dengannya. Di depan kami Lesta berekspresi ‘benar yang dikatakan Krift’. Aku menyumpahi Krift dalam hati. Kalau Lesta ikut dalam aksi ini, ia bisa menjadi umpan empuk bagi para orang berjubah yang otomatis merepotkan kami, termasuk Krift. Ibu Lesta telah menitipkan keselamatan putrinya kepada kami.
Aku dan Retoni berusaha mendebat kembali keputusan Lesta. Tapi tetap saja. Lesta adalah gadis yang keras kepala, sekali bilang ‘ya’ maka ‘ya’ seterusnya. Aku pun menugaskan Krift untuk berlari di belakang Lesta dan menjaganya. Krift sempat menolak, bilang Lesta lambat berlari. Tapi karena keputusanku dibantu Retoni, maka Krift mematuh saja.
Kami melanjutkan lari kami yang sempat tertunda. Kami melewati tubuh orang berjubah itu. Ia pasti akan sangat lama dalam pingsannya karena telah dipukul oleh tangan besi Lesta. Aku sempat menengok ke belakang melihat tubuh orang berjubah itu.
“Rasakan ini!” Krift berhenti sebentar lalu menendang kepala orang berjubah itu, cukup keras. Aku tertawa melihatnya sekaligus rasa khawatir menjalariku. Memang sekarang kami bisa menendang sepuas kami tubuh orang berjubah yang pingsan itu. Tapi bagaimana dengan orang berjubah yang sadar sesadar-sadarnya. Kemampuan orang yang tadi saja membuat kami terheran. Mereka seperti bukan manusia biasa.
Gerbang istana tertutup rapat, terkunci dari dalam. Aku berpikiran bodoh. Mana mungkin Pihak Kerajaan membuka lebar-lebar gerbang istana yang sedang diserang musuh. Aku membalikkan badan, mengajak ketiga temanku berdiskusi.
“Aku dapat membuat gelembung, gelembung yang besar untuk menampung kita berempat. Tapi aku tidak tahu cara menggendalikannya di dalam gelembung itu sendiri,” Retoni menjelaskan.
“Menurutku tidak apa-apa kita mencobanya dulu,” Lesta menggerakkan kepalanya, meminta persetujuan. Akhirnya kami sepakat untuk melakukan hal itu. Maka Retoni kemudian memajukan lingkaran yang dibentuk jarinya ke depan mulut. Karet Pohon Gelembung memang tahan selama satu hari satu malam.
Tidak lama, tercipta gelembung besar, cukup untuk kami menumpang. Retoni masih meniup gelembung itu, dan perlahan gelembung itu membesar di sekitar kami, mengenai tubuh-tubuh kami. Lalu dengan bunyi letupan kecil, badan kami sempurna masuk dalam gelembung yang dibentuk Retoni. Ia melepas tiupannya dan gelembung itu mulai mengambang, membawa kami terbang.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” Retoni memutar pandangannya pada kami. Kami diam sejenak, membiarkan waktu lima detik berlalu.
“Kita beratkan saja bagian dari gelembung ini untuk berbelok. Kalau ingin ke arah kanan, maka kita sama-sama ke bagian kanan gelembung, agar gelembung berat di sebelah kanan dan akhirnya berbelok ke arah yang kita inginkan,” Lesta mengusulkan. Saat itu gelembung sudah mencapai ketinggian dari dinding pagar istana.
“Tidak waktu berpikir untuk menolak usulan Lesta. Lakukan saja!” putusku. Aku membaringkan tubuhku ke samping kanan gelembung. Ketiga temanku tidak lam juga mengikuti apa yang kulakukan. Sekarang kami berbaring berdekatan. Lesta sempat mendorong tubuh Krift yang begitu dekat dengannya. Tapi yang disarankan Lesta berhasil. Gelembung itu bergerak ke arah kanan, perlahan melewati dinding pagar istana yang cukup tinggi.
“Manipulasi kukumu menjadi tajam, Les,” Retoni memerintah. Kepala kami bertiga hampir bersamaan menatap Retoni.
“Kita bisa jatuh lalu patah jika aku meletuskan gelembung ini,” balas Lesta. Gelembung ini memang tidak dapat meletus dengan hanya tertusuk serpihan kayu tajam atau jarum. Tapi gelembung ini dapat meletus cepat dengan hantaman tangan berkuku tajam dari Lesta. Berbeda lagi dengan gelembung pelindung, susah ditembus. Karakter gelembung Retoni tergantung dari bagaimana Retoni mendesain gelembungnya.
“Lakukan saja,” Retoni menerbitkan wajah yakin, membuat Lesta akhirnya mengikut. Tanpa ragu, Lesta mengangkat tangannya ke atas, mempersiapkan proses manipulasi. Kuku di tangan Lesta kemudian berubah memanjang, mengeras, dan menajam. Lalu dengan gerakan cepat berikutnya, Lesta mengarahkan kuku tajamnya ke dasar gelembung. Serta merta gelembung itu meletus. Tubuh kami seketika tertarik gravitasi.
Maka saat itu, Retoni kembali meniup lingkaran yang dibentuk jarinya. Terbentuk gelembung dari tangannya dan juga tertarik gravitasi, jatuh lebih cepat daripada kami. Gelembung itu mendarat tepat di bawah kami, seperti menunggu kami jatuh di atasnya. Tanpa ada latihan gerakan sebelumnya, tubuh kami menimpa bagian atas gelembung itu. Tubuh kami terhempas, ternyata ini adalah gelembung fleksible.
Aku dan yang lain rupanya mahir dalam hal ini. Walau terhempas tiba-tiba, kaki kami sempurna memijaki tanah sekitar istana. Aku tidak pernah menduga akan menginjak tanah istana pertama kali dalam suasana penyerangan seperti ini. Suasana istana kacau, terdengar dentingan pedang, teriakan-teriakan, benturan-benturan dan kekacauan lainnya. Bahkan kami sulit menentukan arah untuk melanjutkan lari.
Kami memutuskan terus bersama, bertarung bersama. Lalu kami memilih berlari ke pintu istana. Sebelumnya dari pintu besar itu terlempar tiga prajurit dengan kondisi yang amat buruk. Tubuh mereka berdarah-darah, beruntung jika mereka masih hidup dengan membawa patah tulang. Kami memilih menolong mereka yang masih hidup, ada dua orang.
Kami menarik kedua orang itu menuju tanah yang lapang. Krift lalu membuat lubang di salah satu permukaan tanah. Tubuh kedua orang itu kami masukkan ke dalam lubang itu.
“Cai bersembunyi saja di sini, temanku itu akan menutup kembali lubang ini dengan tanah berumput tadi. Tapi jangan khawatir, temanku akan membuat lubang-lubang kecil agar Cai dapat bernapas,” jelasku pada salah satu prajurit itu. Ia hanya mengangguk.
“Kalian hati-hati,” ucap tiba-tiba Cai itu, “Mereka amat membenci orang di luar istana yang membantu Pihak Kerajaan.” Aku mengangguk mendengar itu. Tidak lama, Krift sudah menutup kembali. Aku menatap teman-temanku, memunculkan ekpresi ‘apa kalian yakin untuk melanjutkan ini?’
Dan mereka mengangguk yakin.
***