Potongan 16
“Pihak kita kehilangan banyak prajurit Cai.” Suara seseorang terdengar, pandanganku masih gelap.
“Tidak perlu kau khawatirkan itu. Pasti ada jalan keluarnya,” suara lain membalas.
“Tapi ini diluar kewajaran. Aku tahu orang-orang berjubah memang selalu melakukan penyerangan tiba-tiba. Tapi yang ini sungguh melenceng dari kebiasaan mereka, perkiraan kita akan kedatangan mereka meleset jauh,” suara yang lain lagi ikut dalam pembicaraan. Percakapan mereka membuyarkan pandangan gelapku. Kelopak mataku bergoyang, aku membuka mata.
Cai Nir yang pertama kali kulihat. Ia menghembuskan napas prihatin. Di depannya ada dua pemuda. Terra dan rekan bertarungnya. Aku mencoba berdiri dari perbaringanku. Sesuatu terasa nyeri di bagian perutku, aku mengaduh, kembali membaringkan diri.
“Rupanya kau sudah bangun,” Cai Nir melangkah ke arahku, ia sepertinya mendengar desahanku. Terra dan rekan bertarungnya mengikut di belakang Cai. Terra tetap saja tersenyum jail–entah itu disengaja atau memang begitu– sementara rekannya itu tersenyum sewajarnya.
“Aku sempat melihat sekilas caramu bertarung. Kau hebat,” rekan Terra memulai pembicaraan. Ada rasa agak senang yang kurasa, tapi lalu perutku kembali nyeri. Aku mengaduh.
“Jangan terlalu banyak gerak. Disanjung begitu saja kau sudah salah tingkah seperti itu,” Terra menyahut sambil tertawa tipis. Aku tidak memerdulikannya.
“Teman-temanku dimana?” aku menoleh Cai Nir yang seperti mempersiapkan sesuatu.
“Kau tidak perlu khawatir. Ketiga temanmu itu baik-baik saja. Apalagi yang bernama Krift itu. Dia suka sekali bergurau. Harusnya kau mengkhawatirkan dirimu sendiri. Dibandingkan mereka, kondisimu yang paling parah,” Cai Nir mengoleskan sesuatu pada luka di perutku. Aku meringis. Lalu ia berpindah mengolesi sesuatu itu pada lengan, pipi, bahu, dan betisku.
Aku mengingat-ingat kembali kejadian itu. Memang banyak luka yang kudapat. Terbanting di dinding istana, tersabet keping logam, tendangan keras di punggung, tancapan keping logam di bahu dan berbagai luka lainnya yang sulit kuingat.
“Lantas bagaimana dengan Lesta, apakah perubahan besinya berhasil mencegah tusukan pedang,” aku teringat Lesta.
“Ia tidak apa-apa. Perubahan besinya memang tidak sempurna, hanya berhasil membentuk tubuh setengah besi. Tapi setidaknya perubahan itu dapat menahan tajam pedang itu, ia terluka karena tekanan dari pedang itu, apalagi tubuhnya semakin lelah.” Cai Nir masih sibuk mengobatiku. Sesekali ia mengambil kain basah untuk mengelap bekas darah yang tidak ia lihat saat pengobatan pertama.
Aku menengok bingkai pintu. Terra dan rekannya itu telah berjalan pergi dari kamar pengobatan ini. Di ruang ini hanya terisi satu ranjang, dipan yang kutiduri. Jelas sekali ini bukan seperti ruang pengobatan di kelas desa-desa yang setiap ruangan diisi tujuh sampai sepuluh ranjang. Ini ruang pengobatan kerajaan.
“Orang yang selalu mengikuti Terra itu siapa Cai? Apa setiap Pelindung mempunyai rekan bertarung?” aku bertanya saat Cai Nir merasa telah selesai dengan pengobatannya.
“Kau salah. Terra-lah yang selalu mengikuti orang yang kau pertanyakan itu. Ia Pangeran Mess, orang yang dilindungi Terra.” Cai Nir berkata biasa sambil membereskan peralatan pengobatan, keluar dari ruang ini. Mulutku sedikit menganga, tidak percaya apa yang dikatakan Cai barusan. Pangeran ikut bertarung bersama Pelindungnya?
***
“Kau terlalu memaksakan diri, Wet. Lihat, sekarang kami yang harus memaksakan diri untuk menjengukmu.” Krift yang terakhir kali datang mendudukkan dirinya di salah satu kursi kayu. Teman-teman datang menjengukku, Lesta dan Retoni sudah tampak lebih bugar.
“Memaksakan diri bagaimana?” aku bertanya sambil membuka mulutku, Lesta menyuapku dengan sepotong roti. Awalnya aku menolak, bilang aku dapat melakukannya sendiri. Tapi saat mencoba untuk menjawil roti itu di samping ranjang, rasa sakit terasa di bahuku yang terluka. Akhirnya walau geli, aku menerima saja tawaran Lesta, perutku yang luka butuh banyak nutrisi.
“Yah seperti mencoba teknik baru pada orang berjubah yang terakhir kau lawan itu. Hampir saja kau tewas karena ulah cerobohmu itu."
“Tidak ada cara lain. Itu adalah cara terakhir yang dapat aku lakukan, aku kehabisan air. Lagi pula kenapa kau tidak membantuku?” aku membela diri sambil sibuk mengunyah apel.
“Kau kira hanya satu orang berjubah yang ikut melakukan penyerangan? Hanya orang yang kau lawan itu? Bukan! Banyak yang aku hadapi. Beruntung aku lebih lincah dari kau, jadi aku tidak terluka seperti itu,” Krift menunjuk luka di perutku dengan gerakan kepala. Andai saja lenganku tidak sakit karena luka di bahu, pasti sudah kutimpuk ia dengan buah apel.
“Sudahlah. Bukankah sekarang kita sudah berkumpul kembali? Beruntung sekali kita tidak tewas dalam penyerangan itu.” Retoni yang tadi berjalan pincang masuk mencoba menyelisihi. Lesta di sampingku mengangguk-angguk, menyetujui. Aku masih merasa bersalah pada Retoni.
“Lukamu sudah sembuh, Ret?” aku menatap Retoni. Ia malah tertawa.
“Lukaku tidak seberapa, Wet. Ramuan yang diberikan tabib kerajaan sangat ampuh. Rasa sakit menusuk sudah lebih mendingan. Kau harusnya mengkhawatirkan dirimu. Lihat dirimu, banyak sekali bekas luka.” Retoni menjawab setelah tertawa sejenak. Ia mengatakan hal sama yang dikatakan Cai Nir tadi.
“Apakah Cai Nir seorang tabib juga?” aku menganga. Lesta kali ini menyuapku dengan potongan apel.
“Bukan,” Lesta yang kembali sibuk mengupas apel menjawab, “Cai Nir bukan seorang tabib. Menurut informasi yang kudapat dari tabib yang mengobatiku, Cai Nir adalah paman tertua di kerajaan ini. Katanya Cai Nir adalah orang yang paling disanjungi setelah Raja Gara.” Ucap Lesta, kembali menyuapku dengan potongan apel yang kedua.
Aku mencerna kata-kata Lesta beserta potongan apel. Wajar saja jika Cai Nir disegani banyak orang. Ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bisa melakukan teleportasi, melakukan pengobatan, serta sikapnya yang ramah menjadi tolak ukurnya.
“Lalu bagaimana ceritanya orang-orang berjubah itu dapat dikalahkan?” aku melempar pandanganku pada Krift. Kemungkinan besar ia adalah orang yang mengikuti pertempuran sampai berakhir. Ia tidak menjawab sejenak, berjalan memutari ranjangku dan merebut apel yang di pegang Lesta.
“Apa yang kau lakukan, Krift,” Lesta menegur sambil menyodor-nyodorkan pisau kecil. Krift mengangkat tangan seolah menyerah.
“Aku juga lapar,” jawab Krift pendek. Mendengar itu, Lesta mendengus sebal dan mengambil apel lain, mengupasnya. Krift yang berhasil menggenggam apel, menjatuhkan pantatnya di lantai ruangan, duduk melantai. Aku masih menunggunya menjawabku, ia malah asyik mengunyah apel.
“Krift...” peringatku. Krift menoleh dan menampakkan wajah tak bersalah.
“Oh, iya. Aku lupa saking laparnya. Perlawanan terhadapa orang-orang berjubah berlangsung secara normal. Pihak Kerajaan dan aku tentunya-“ Krift menaikkan sebelah alisnya, “terus melawan mereka hingga tuntas habis. Eh, bukan,” Krift seakan tersadar dari sesuatu. “Ada satu orang yang masih bertahan. Mungkin dia pemimpin dari orang berjubah. Sebelum pergi, ia mengucapkan kalimat dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Cai Nir mengetahui artinya, tapi ia hanya bilang hal itu tidak penting, hanya gertakan.” Krift menghentikan bicaranya, kembali mengunyah apel.
Aku masih menatap Krift, tapi sebenarnya mataku meraba-raba bayangan penjelasan dari Krift. Apa yang dikatakan pemimpin dari orang berjubah itu?
“Wah-wah, kalian sudah berkumpul rupanya,” Cai Nir membuka pintu, lantas berjalan masuk. “Dan rupanya kalian berdua memang pasangan yang serasi,” tambah Cai Nir saat melihatku dan Lesta belepotan rasa malu, memperbaiki posisi masing-masing.
“Ah, tidak Cai. Aku hanya membantunya makan,” bela Lesta saat meletakkan kembali pisau kecil di tempatnya. Cai Nir tidak menghentikan senyumannya, menunjukkan seringai kalian-tidak-usah-malu. Krift dan Retoni cekikikan menahan tawa. Cai Nir mengambil satu kursi di pojok ruangan, membawanya di samping ranjang.
“Aku duduk di sini karena merasa kalian mungkin membutuhkanku. Mungkin ingin didongengkan?” Cai Nir berbasa-basi. Tapi kami memang membutuhkan penjelasan darinya. Kami tersenyum mengiyakan.
“Kalian mungkin terkejut dengan kedatangan orang-orang berjubah di saat kalian mengikuti Kompetisi Pelindung? Apa aku benar?” Cai Nir memutar pandangannya. Kami mengangguk.
“Memang kedatangan mereka di luar dari segala spekulasi-spekulasi yang sudah Pihak Kerajaan diskusikan. Para orang berjubah memilki rencana. Dan aku pastikan kalian juga terkejut dengan keadaan desa Kur-Kur.” Cai Nir menoleh, menyebar pandangannya melewati jendela, melihat keadaan desa Kur-Kur.
“Sungguh malang penduduk desa sana. Para manusia berjubah telah melakukan dua kali penyerangan kemarin. Penyerangan pertama ketika kalian masih sibuk berurusan dengan Terra, pemuda genit itu.” Lesta berubah ekspresi mendengar nama itu. “Saat itu Terra belum mengetahui hal itu, karena memang penyerangan itu memfokus pada desa Kur-Kur, Pihak Kerajaan tidak mengetahuinya.”
“Kami baru mengetahui peristiwa itu saat teriakan-teriakan sampai di gerbang istana. Beberapa prajurit sempat menyusul ke sana. Tapi mereka tidak pernah kembali dengan membawa nyawa. Mereka ikut tewas bersama penduduk desa Kur-Kur lainnya. Mayat-mayat mereka baru kami kebumikan saat hari menjelang siang. Aku tidak ikut dalam prosesi duka itu, aku ke tempat kalian. Untuk pengujian berikutnya.” Cai Nir menelan ludah.
“Dan penyerangan kedua–tentu kalian tahu sendiri, ialah penyerangan tadi malam. Sebelumnya kami mengutus beberapa prajurit ke desa Kur-Kur yang telah hancur lebur untuk memastikan jika terjadi kembali penyerangan, antisipasi. Penduduk desa sudah kami ungsikan ke desa sebelah hutan bagian selatan. Mereka aman di sana.”
“Dugaan kami benar. Orang-orang berjubah kembali berkunjung di desa itu. Tapi itu rencana mereka. Hanya setengah yang datang di desa Kur-Kur sebagai pengecoh. Setengah lainnya muncul di belakang istana, mencoba mengelabui kami. Beruntung kami telah siaga.” Cai Nir meraih gelas di meja kecil, meneguk airnya.
“Dan kalian muncul tiba-tiba saja, membantu kami. Padahal kalian masih mengikuti kompetisi itu. Aku sebenarnya cukup salut dengan tingkah heroik kalian. Tapi sekaligus tindakan yang terlalu berani. Kalian seperti menyodorkan diri dimakan buaya,” Cai Nir mengembalikan gelas yang kini sisa setengah air.
“Satu lagi, aku rasa kalian perlu mengetahui hal ini. Penyerangan tadi malam merupakan penyerangan terbesar mereka sepanjang satu dekade ini. Dan dari gerak-gerik mereka, rencana yang mereka buat tidak main-main. Sangat berbahaya.” Cai Nir menjelaskan tegas.
“Lalu bagaimana dengan nasib Kompetisi Pelindung kali ini?” Lesta mengajukan pertanyakan, memperbaiki duduknya, menghadap Cai Nir.
“Itulah masalahnya. Kami kesusahan mengatur kembali kerusakan yang dihasilkan orang-orang berjubah itu. Sementara kendali kami dengan peserta Kompetisi Pelindung hilang. Mereka tidak melewati jalur kerajaan, tidak ada di hutan pingggir kerajaan, juga tidak ada kemungkinan mereka menyudahi perjalanan, entah.” Aku dan ketiga temanku saling menoleh. Lalu?
***